Bab 4: Pertemuan Takdir

Bagian I – Langkah ke Medan Perang

Senja telah merunduk di balik cakrawala ketika Siora dan Livia tiba di tepi kota yang hancur. Udara terasa berat, dipenuhi aroma asap dan debu yang mengaburkan bayang-bayang masa lalu. Di jalanan yang sunyi itu, terdengar suara gemuruh yang semakin mendekat—seperti derap langkah pasukan dan raungan makhluk yang berasal dari dunia kegelapan.

Siora menatap sekeliling dengan mata biru tuanya yang penuh pertanyaan. Setiap langkahnya dipenuhi keyakinan yang tumbuh di tengah ketakutan. Di sampingnya, Livia berjalan dengan langkah lebih perlahan, sesekali menggenggam tangan Siora dengan erat, seakan ingin menyalurkan kekuatan persahabatan di tengah hiruk-pikuk yang akan datang.

"Kita harus berhati-hati, Siora," ujar Livia dengan suara lirih, namun tegas. "Aku merasakan getaran yang aneh di udara. Sesuatu yang… tidak wajar."

Siora mengangguk pelan sambil menatap ke depan. "Aku juga merasakannya, Livia. Rasanya seperti alam sendiri bersiap menghadapi sesuatu yang besar. Dan entah mengapa, hati ini terus memanggil… seolah-olah ada rahasia yang harus kupahami."

Mereka melangkah menuruni jalan yang berliku, di mana reruntuhan bangunan dan sisa-sisa masa lalu menjadi saksi bisu peradaban yang pernah berjaya. Tanpa mereka sadari, di suatu sudut jalan, terdengar suara raungan yang makin keras. Dari balik bayang-bayang, muncul segerombolan makhluk mengerikan—monster-monster yang tampak seperti hasil persilangan antara bayangan hidup dan kegelapan dunia bawah.

Bagian II – Awal Pertempuran

Tak lama kemudian, di tengah jalan yang sempit, tiba-tiba langit seakan pecah oleh teriakan dan suara ledakan sihir. Di sisi lain jalan, sekelompok penyihir ksatria dengan baju zirah berkilau dan jubah bergema memasuki medan perang. Mereka, yang dikenal sebagai Prajurit Aetherius, telah dipanggil untuk melindungi kota yang kini menjadi medan pertempuran antara kekuatan kegelapan dan cahaya.

Siora terhenti sejenak. Di benaknya berkecamuk pertanyaan—bagaimana mungkin takdirnya kini terikat pada konflik yang begitu besar? Sementara Livia dengan cepat menggenggam lengannya, "Ayo, kita harus berlindung!" serunya.

Namun, sebelum mereka sempat melarikan diri, segerombolan monster mengerikan maju dengan cepat, dipimpin oleh sosok penyihir ksatria yang berkhianat, yang tampak tersenyum sinis sambil mengangkat tongkat sihir. "Pertarungan telah dimulai!" teriaknya, suaranya menggema di antara reruntuhan.

Dalam kekacauan itu, Siora dan Livia terjebak di tengah medan pertempuran. Ledakan sihir dan raungan makhluk saling bertubrukan, menciptakan simfoni kehancuran yang menghancurkan keheningan senja. Siora, yang selalu merasa terhubung dengan Koin Kegelapan di pergelangan tangannya, maju dengan tekad walaupun ketakutan menggerogoti hatinya.

"Siora, kau harus mundur!" teriak Livia, tetapi Siora menggeleng, matanya menyala dengan keberanian yang tak terhingga. "Aku harus tahu, Livia… apa yang terjadi di sini. Aku harus mencari jawabannya!"

Siora melangkah maju, mencoba menghindari serangan monster yang datang silih berganti. Di satu sisi, ia berhasil mengelak ledakan sihir, namun di sisi lain, sebuah serangan dari penyihir ksatria yang berkhianat mendekat. Tiba-tiba, bayangan hitam menyelimuti tubuhnya; sebuah mantra yang kuat menguncinya, membuatnya lumpuh seketika.

Dalam sekejap, ledakan energi menghempaskan Siora ke tanah. Ia merasakan tubuhnya terasa berat, setiap detik seolah-olah merupakan tarikan maut. Livia yang berada di dekatnya berteriak panik, "Siora!" namun suara itu tenggelam di antara kebisingan pertempuran.

Siora berjuang untuk mengangkat kepala, tapi kesakitan dan kelelahan mulai menguasai dirinya. Mata biru tuanya yang penuh tekad perlahan redup, dan di tengah raungan sihir dan dentuman ledakan, Siora akhirnya terkulai ke tanah.

Bagian III – Kematian dan Keheningan

Di tengah kekacauan yang semakin memuncak, waktu seakan berhenti bagi Siora. Tubuhnya terbaring lemah, darah mengalir di antara reruntuhan, dan mata yang dulu menyala kini mulai kehilangan cahayanya. Livia berlari ke sisinya, menangis dengan pilu, "Siora, jangan tinggalkan aku! Kau harus bertahan!"

Namun, di medan pertempuran yang kejam itu, kekuatan kegelapan tampak merenggut nyawa Siora. Dalam keheningan sesaat, dunia seolah menunduk untuk merasakan kehilangan yang mendalam. Hening sejenak menyelimuti area itu, seolah alam pun menyedihkan kepergian seorang jiwa yang berani mencari kebenaran di tengah kehampaan.

Di kejauhan, di antara reruntuhan dan bayang-bayang, bisikan yang dingin terdengar kembali—suara yang begitu familiar, namun kini terdengar lebih berat. "Seseorang telah memanggilku…" suara itu menggema, menyusup melalui setiap celah kehampaan.

Bagian IV – Hadirnya The Void

Dalam kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran, tiba-tiba langit seolah terbelah oleh kilatan cahaya gelap. Dari balik bayangan yang kian pekat, sosok The Void—Heze—muncul dengan kehadiran yang menggetarkan. Rambut panjang putihnya berkilau meski ditiup angin, dan matanya yang merah menyala memancarkan kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terbantahkan.

Livia, yang masih menangis di sisi Siora, menatap sosok itu dengan campuran takjub dan ketakutan. Di antara jeritan pertempuran yang masih berkecamuk, The Void melangkah mendekati tubuh Siora yang tergeletak lemah. Dengan gerakan yang lambat namun pasti, ia meraih tangan Siora yang masih terkulai.

Suara The Void terdengar seperti gema dari kedalaman dimensi, lembut namun penuh otoritas. "Kau tidak akan mati…" ucapnya dengan nada yang seolah-olah mengubah hukum alam. Livia terdiam, matanya membesar karena takjub dan sedikit takut pada kekuatan yang mengalir dari makhluk itu.

The Void menundukkan kepalanya, dan dengan mata merah yang menyala penuh misteri, ia berkata, "Sejak kau memiliki Koin Kegelapan, kau adalah milikku. Aku telah mencatat setiap detik perjalananmu, setiap penderitaan dan pencarian yang kau lakukan. Kini, kau harus kembali—untuk melanjutkan takdirmu."

Dalam sekejap, energi gelap yang melingkupi The Void mengalir ke tubuh Siora. Cahaya samar menyelimuti tubuhnya yang terbaring, seolah-olah jiwa yang sempat pergi itu sedang dipanggil kembali dari ambang kematian. Tubuh Siora mulai bergetar, luka-luka perlahan menutup, dan napas yang tadinya terhenti perlahan kembali memenuhi paru-parunya.

Livia menahan napas, menyaksikan dengan mata berkaca-kaca saat Siora perlahan bangkit dari kegelapan. Siora membuka matanya yang sebelumnya redup; kini, di dalamnya tampak secercah cahaya baru—sebuah aura yang tak pernah ada sebelumnya, seolah-olah kehadiran The Void telah mengubah nasibnya.

"Siora…" bisik Livia dengan suara gemetar, "kau kembali… bagaimana bisa?"

Siora menatap Livia dengan mata yang masih penuh kebingungan, namun ada ketenangan yang berbeda di dalamnya. Ia mendengar suara The Void bergema dalam benaknya, "Kau tidak akan mati, karena sejak kau memiliki Koin Kegelapan, kau adalah milikku."

Bagian V – Kebangkitan dan Janji Takdir Baru

Di tengah medan pertempuran yang masih bergemuruh, para prajurit dan penyihir ksatria terhenti sejenak, terpana oleh keajaiban yang baru saja terjadi. Siora, yang kini bangkit kembali, berdiri dengan tubuh yang masih gemetar karena luka, namun matanya memancarkan tekad yang lebih besar daripada sebelumnya. Ia merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui nadinya—sebuah kekuatan yang seolah berasal dari dalam kehampaan itu sendiri.

Ravenna, yang sempat mendengar kabar dari medan pertempuran melalui bisikan dari para pengawal kuil, segera memerintahkan agar pasukan mereka bersiap. "Biarkan pertempuran ini menjadi saksi! Siora telah kembali, dan kehadirannya adalah pertanda bahwa takdir belum selesai dituliskan!" seru Ravenna dengan suara yang menggetarkan jiwa.

Di sisi lain, para penyihir ksatria yang tadinya memimpin pasukan musuh kini menyaksikan perubahan di medan perang. Seorang penyihir ksatria, dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan, berbisik kepada rekannya, "Apa maksud keajaiban ini? Mengapa The Void memilih untuk menghidupkan kembali gadis itu?"

Rekannya menggeleng pelan, "Aku tidak tahu, tetapi jelas bahwa Koin Kegelapan bukanlah artefak biasa. Ia mengikat nasibnya pada sesuatu yang jauh lebih besar. Mungkin, di balik setiap bisikan kegelapan, tersimpan rahasia yang akan mengubah pertempuran ini."

Sementara itu, Livia memeluk Siora dengan lembut, air mata haru bercampur dengan senyuman penuh harapan. "Kau kembali padaku, Siora. Aku selalu percaya bahwa kau lebih kuat dari apa yang kau bayangkan," ucapnya penuh kehangatan.

Siora, dengan suara yang terdengar serak namun mantap, menjawab, "Aku… aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Namun, aku tahu satu hal, Livia. Takdirku telah berubah. Aku telah dihidupkan kembali oleh kekuatan yang aku tak pernah pahami, dan kini, aku harus melangkah dengan lebih berani."

Di balik sorotan mata Siora yang kini dipenuhi tekad, terukir sebuah janji—bahwa ia akan mengungkap rahasia Koin Kegelapan dan mengerti arti sebenarnya dari bisikan The Void. Setiap luka, setiap detik yang hilang, adalah bagian dari perjalanan menuju pencerahan yang tak terduga.

The Void, yang masih melayang di antara bayang-bayang, mengucapkan dengan nada dingin namun penuh kasih yang aneh, "Ingatlah, Siora. Kau tidak akan mati lagi, karena sejak kau memiliki Koin Kegelapan, kau adalah milikku. Tugasmu belum selesai, dan dunia ini membutuhkan cahaya yang kau bawa."

Kata-kata itu menggema di seluruh medan pertempuran, menembus setiap relung jiwa, dan mengubah atmosfer menjadi sebuah janji bahwa di balik kegelapan yang paling pekat, selalu ada secercah harapan.

Di hari yang kini mulai menampakkan sinar fajar, Siora berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi oleh sisa-sisa pertempuran. Tubuhnya masih memar, namun semangatnya tampak menyala bagai api yang tak mudah padam. Bersama Livia dan para pengikut yang setia, ia bersumpah untuk meneruskan pencarian—untuk mengungkap rahasia yang telah lama tersembunyi di balik Koin Kegelapan dan untuk menghadapi ancaman yang mungkin muncul dari penyembahan buta.

Pertempuran hari itu telah mengukir sebuah babak baru dalam takdir dunia. Kematian Siora, yang kemudian diubah oleh keajaiban The Void, menjadi simbol bahwa kehidupan dan kehancuran bukanlah akhir, melainkan titik awal dari perjalanan menuju pencerahan yang lebih mendalam.

Di tengah gema pertempuran yang masih terdengar samar, Siora menatap ke arah cakrawala, berjanji pada dirinya sendiri dan pada dunia bahwa ia akan terus mencari—bahwa setiap bisikan kegelapan, setiap luka yang diderita, adalah bagian dari kisah yang harus ia tulis kembali.

Dengan suara The Void yang masih menggema di benaknya, "Kau tidak akan mati… kau adalah milikku selamanya," Siora melangkah maju, menatap masa depan dengan keyakinan yang baru. Dunia telah berubah, dan bersama dengan teman-temannya, ia akan menjalani setiap tantangan, mencari kebenaran, dan pada akhirnya, menemukan cahaya di tengah kekosongan.