Malam itu, Ratu berjalan keluar dari rumah dengan langkah yang goyah. Angin dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak merasakannya. Dadanya terasa sesak, dan kepalanya penuh dengan suara-suara pertengkaran yang baru saja terjadi.
Ia tidak tahu harus ke mana. Rumah orang tuanya terlalu jauh, dan ia tidak ingin mereka tahu tentang ini. Rumah orang tua Robert? Tidak, ia tidak siap menghadapi pertanyaan atau simpati yang mungkin hanya akan membuatnya semakin terluka.
Satu-satunya tempat yang terpikir olehnya adalah rumah Ulpa.
Dengan tangan yang gemetar, ia menggenggam ujung selendangnya erat-erat, seakan itu bisa menahan perasaan hancur yang menggerogoti hatinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah kakinya sendiri enggan membawanya pergi.
Sementara itu, di dalam rumah, Robert berdiri di tengah ruangan, menatap pintu yang masih sedikit terbuka. Ia bisa saja mengejar Ratu, bisa saja menariknya kembali dan mengatakan sesuatu—apa pun—untuk menghentikannya pergi.
Namun, tubuhnya tetap diam.
Ia tidak tahu apakah ia memiliki hak untuk menahan Ratu.
Bagaimana ia bisa meminta istrinya tetap tinggal setelah semua yang baru saja ia katakan? Setelah kata-kata menyakitkan yang ia lontarkan begitu saja dalam amarah?
Robert menghela napas panjang dan meremas rambutnya, frustrasi. Ada sesuatu di dadanya yang terasa kosong, tetapi ia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Sementara itu, Ratu terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Ulpa. Keheningan malam terasa begitu menyiksa, hanya ditemani suara langkah kakinya di atas tanah yang dingin.
Ketika akhirnya ia tiba di depan rumah Ulpa, tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum mengetuk pintu. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena beban yang begitu berat di dadanya.
Pintu terbuka, dan Ulpa berdiri di sana, matanya melebar melihat keadaan Ratu.
"Kak Ratu?" suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.
Ratu menatapnya sejenak, bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, yang keluar hanyalah suara pelan yang hampir tidak terdengar.
"Aku... aku tidak tahu harus ke mana lagi."
Dan seketika itu juga, Ulpa tahu bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Diamnya Ratu, Gelisahnya Ulpa
Sam sedang merapikan beberapa peralatan di beranda rumah ketika suara ketukan cepat terdengar dari pintu depan. Malam sudah cukup larut, dan tidak biasanya ada tamu di jam seperti ini.
Dengan sedikit heran, Sam berjalan menuju pintu dan membukanya.
Ia terkejut saat melihat Ulpa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. Namun, yang membuatnya lebih terkejut adalah sosok yang berdiri di belakang istrinya.
Ratu.
Wajah wanita itu pucat, matanya redup, dan ia terlihat sangat kelelahan. Pakaiannya masih rapi, tetapi ada sesuatu dalam cara ia berdiri yang menunjukkan bahwa ia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Sam langsung melirik Ulpa, mencari jawaban dari ekspresi istrinya.
"Ulpa? Ratu?" tanyanya, suaranya terdengar bingung.
Ulpa tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menoleh ke Ratu sejenak sebelum berkata, "Bisa kita masuk dulu?"
Sam mengangguk pelan dan memberi mereka jalan.
Saat mereka melangkah masuk, Sam memperhatikan bahwa Ratu tidak banyak berbicara. Ia hanya mengikuti langkah Ulpa tanpa mengangkat wajahnya.
"Aku akan menyiapkan kamar tamu," kata Sam akhirnya, mengambil keputusan tanpa banyak bertanya.
Ulpa mengangguk, seolah lega bahwa suaminya tidak menekan Ratu dengan pertanyaan-pertanyaan sulit.
Sam segera pergi untuk menyiapkan kamar tamu. Ia merapikan kasur dan memastikan ada cukup selimut. Tidak lama, Ratu masuk ke dalam tanpa berkata apa-apa.
"Kau bisa beristirahat di sini," ujar Sam pelan.
Ratu hanya mengangguk, lalu duduk di tepi tempat tidur tanpa banyak bicara. Ia terlihat begitu kelelahan, baik secara fisik maupun emosional.
Sam ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia memilih untuk tidak melakukannya.
"Kalau kau butuh sesuatu, katakan saja," katanya sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu pelan.
Begitu kembali ke ruang tengah, ia mendapati Ulpa sudah duduk di kursi dengan ekspresi tegang.
Sam duduk di sampingnya, lalu menatapnya dalam.
"Sekarang, jelaskan," katanya dengan suara lebih rendah.
Ulpa menghela napas panjang. Ia tampak sedikit ragu sebelum akhirnya berbicara.
"Kak Ratu dan Kak Robert bertengkar."
Sam menunggu, membiarkan istrinya melanjutkan.
Ulpa menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. "Kak Ratu menemukan bekas lipstik di kerah kemeja Kak Robert."
Mata Sam sedikit melebar. "Apa?"
Ulpa mengangguk. "Mereka bertengkar hebat. Kak Ratu memilih pergi."
Sam terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata istrinya.
Robert… selingkuh?
Ia merasa sulit mempercayainya. Robert memang bisa berubah, tetapi apakah benar sampai seperti ini?
Ulpa melanjutkan dengan nada penuh ketegangan. "Kak Ratu tidak ingin ayah tahu dulu, dan rumah orang tuanya terlalu jauh. Jadi… dia datang ke sini."
Sam tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah kamar tamu, di mana Ratu berada.
Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan wanita itu.
Namun, ia juga tidak bisa membayangkan Robert melakukan hal semacam ini.
Sambil menghela napas, Sam kembali menatap Ulpa. "Kau yakin ini bukan kesalahpahaman?"
Ulpa menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu. Tapi melihat keadaan Kak Ratu tadi… aku rasa ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele."
Sam mengusap wajahnya, masih mencoba memahami situasi ini.
"Jadi, sekarang bagaimana?" tanyanya akhirnya.
Ulpa terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Yang mereka tahu saat ini hanyalah satu hal—Ratu telah memilih pergi, dan untuk sementara, ia ada di rumah mereka.