Pilihan di Tangan Ratu

Ratu berdiri diam di balik pintu, jari-jarinya menggenggam erat ujung selendangnya. Jantungnya berdegup kencang setelah mendengar percakapan Sam dan Ulpa. Robert telah menghubungi Sam.

Suaminya masih mencarinya.

Seketika, berbagai perasaan bercampur dalam hatinya. Ada kelegaan karena Robert masih peduli, tetapi juga ada ketakutan dan keraguan yang masih menyelimuti dirinya. Ia belum siap untuk berbicara dengan Robert. Luka akibat pertengkaran mereka masih terasa begitu nyata.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah masuk ke ruang depan.

Sam dan Ulpa langsung menoleh ketika melihatnya. Ulpa bisa membaca ekspresi Ratu dan menyadari bahwa ia telah mendengar segalanya.

"Ratu..." suara Ulpa lembut, hampir seperti bisikan.

Ratu berhenti di ambang pintu, menatap keduanya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Robert menelpon?" tanyanya pelan.

Sam mengangguk. "Dia hanya ingin tahu apakah kau baik-baik saja."

Ratu menunduk, jari-jarinya meremas selendangnya dengan gelisah. "Apa... apa yang kau katakan padanya?"

"Aku hanya bilang bahwa kau baik-baik saja dan butuh waktu."

Hening.

Ratu mengangguk pelan. Ia merasa lega karena Sam tidak langsung memberitahu keberadaannya dengan gamblang.

Ulpa mendekati Ratu, menggenggam tangannya dengan lembut. "Robert tidak memaksa, tapi jika kau ingin berbicara dengannya, kau bisa menggunakan ponsel Sam."

Ratu menggigit bibirnya. Ia tahu ia harus menghadapi suaminya cepat atau lambat. Tapi sekarang, ia masih belum siap. Luka itu masih terlalu segar.

"Aku... belum ingin bicara dengannya," jawab Ratu akhirnya, suaranya lirih tapi tegas.

Sam dan Ulpa saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk.

"Baiklah," kata Sam. "Kami tidak akan memaksa."

Ulpa meremas tangan Ratu dengan lembut. "Tapi jika suatu saat kau merasa siap, kau bisa memberitahu kami."

Ratu mengangguk. Meskipun hatinya masih kacau, ia bersyukur memiliki Ulpa dan Sam yang mengerti perasaannya.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari di mana ia harus menghadapi Robert tidak bisa dihindari selamanya.

Dan saat itu tiba, ia harus siap dengan segala kemungkinan.

: Pertemuan yang Tak Terelakkan

Setelah percakapan pagi itu, Sam merasa tidak bisa membiarkan keadaan menggantung lebih lama. Robert pasti akan terus mencari tahu keberadaan Ratu, dan jika dibiarkan, masalah ini bisa semakin rumit.

Dengan keputusan yang sudah bulat, Sam memutuskan untuk menemui Robert secara langsung. Setelah memastikan bahwa Ratu dan Ulpa baik-baik saja di rumah, ia berangkat menuju rumah sahabatnya.

Perjalanannya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit dengan motor. Sesampainya di sana, Sam melihat Robert sedang duduk di teras, wajahnya tampak kusut dan penuh kecemasan. Sejak menikah, Robert memang menghadapi banyak tekanan, tetapi kali ini ekspresinya lebih dari sekadar kelelahan—ada kegelisahan yang dalam.

Robert langsung menoleh saat mendengar suara motor Sam. Ia berdiri dengan cepat, seolah sudah menunggu seseorang membawa kabar.

"Sam," panggilnya dengan suara serak. "Apa kau tahu di mana Ratu?"

Sam tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, menatap Robert dengan hati-hati. "Aku datang untuk bicara, Robert."

Mata Robert semakin tajam. "Jadi dia ada di tempatmu?"

Sam menghela napas sebelum mengangguk pelan. "Ya, dia ada di rumahku."

Robert mengepalkan tangannya, lalu melepas napas berat. "Kenapa dia tidak pulang? Aku sudah mencarinya ke mana-mana!"

Sam menatap sahabatnya, mencoba membaca emosinya. "Dia butuh waktu, Robert. Dia tidak siap untuk bertemu denganmu sekarang."

Robert mendengus, menendang pelan kaki meja di depannya. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku hanya ingin dia kembali. Aku... aku tidak bisa kehilangan dia, Sam."

Sam tetap diam sejenak, membiarkan kata-kata Robert menggantung di udara. "Apa kau benar-benar ingin dia kembali karena kau mencintainya? Atau karena kau takut kehilangan kendali?"

Robert menatapnya dengan terkejut. "Apa maksudmu?"

Sam melipat tangannya di dada. "Ratu merasa tersakiti, Robert. Dia tidak lari begitu saja tanpa alasan. Jika kau benar-benar ingin dia kembali, kau harus memberinya ruang, bukan menekannya untuk pulang."

Robert terdiam. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menundukkan kepala, menyembunyikan emosinya. "Aku hanya takut, Sam... Jika dia menjauh terlalu lama, dia tidak akan pernah kembali."

Sam mengerti perasaan itu, tetapi ia juga tahu bahwa Ratu butuh waktu untuk memproses semuanya. "Aku tidak akan menghalangi kalian untuk bicara, Robert. Tapi aku juga tidak bisa memaksanya kembali sebelum dia siap. Beri dia waktu."

Robert tidak menjawab, hanya duduk kembali dengan kepala tertunduk. Sam tahu, ini bukan keputusan yang mudah bagi siapa pun.

Dan apa yang akan terjadi setelah ini, masih menjadi pertanyaan besar.

: Keyakinan yang Goyah

Setelah pertemuan dengan Sam, Robert tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata sahabatnya. Ia kini tahu bahwa Ratu ada di rumah Sam, tetapi itu tidak membuat hatinya lebih tenang. Justru, ada kegelisahan yang semakin menguasai dirinya.

Sementara itu, di rumah Sam, suasana sedikit berubah setelah kepulangan Sam dari pertemuannya dengan Robert. Ulpa bisa melihat suaminya tampak lebih banyak diam daripada biasanya. Ia tahu bahwa pertemuannya dengan Robert pasti menyisakan sesuatu.

Ketika malam mulai turun, Ulpa akhirnya bertanya, "Apa yang kau katakan pada Robert?"

Sam menghela napas, duduk di bangku depan rumah dengan tatapan menerawang. "Aku hanya mengatakan yang seharusnya, bahwa Ratu butuh waktu. Aku tidak ingin memaksanya pulang kalau dia belum siap."

Ulpa menatap suaminya dengan ekspresi penuh pemikiran. "Dan bagaimana reaksi Robert?"

Sam menggeleng pelan. "Dia marah, kecewa, tapi lebih dari itu... dia takut. Takut kehilangan Ratu untuk selamanya."

Ulpa terdiam sejenak sebelum berkata, "Apa menurutmu dia benar-benar takut kehilangan Ratu? Atau hanya takut kehilangan kendali atasnya?"

Sam menatap istrinya dengan sedikit terkejut. Kata-kata Ulpa begitu mirip dengan apa yang sempat ia pikirkan sebelumnya. "Aku tidak tahu, Ulpa... Tapi yang jelas, dia ingin Ratu kembali."

Di dalam kamar, Ratu yang mendengar percakapan itu dari balik pintu hanya bisa menunduk. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi kenyataan. Tapi untuk sekarang, ia masih belum siap.

Robert sudah tahu di mana dirinya berada, dan itu berarti waktu yang ia miliki untuk berpikir semakin menipis.