Penyelundupan

Di sisi lain kota Jakarta, berdiri sebuah gedung pencakar langit dengan arsitektur modern yang menjulang angkuh di antara gemerlap lampu metropolitan. Jendela-jendela kaca berkilauan di bawah langit malam yang diselimuti mendung tipis, mencerminkan bayangan kendaraan yang melintas di jalanan sibuk di bawahnya. Gedung ini bukan sekadar perkantoran biasa. Di dalamnya, teknologi canggih beroperasi tanpa henti, mengendalikan aliran informasi, transaksi gelap, dan operasi rahasia yang bahkan aparat penegak hukum pun tak mampu menembusnya.

Di salah satu lantai tertinggi, sebuah ruangan luas berdesain minimalis dengan pencahayaan temaram menjadi pusat kendali bagi seorang pria berkuasa. Dinding kaca di belakangnya memperlihatkan panorama kota yang tak pernah tidur, sementara layar-layar monitor di depannya menampilkan berbagai laporan, peta pergerakan barang, dan rekaman dari kamera pengintai yang tersebar di berbagai titik strategis.

Pria itu duduk dengan sikap santai namun penuh dominasi di atas kursi mewah berlapis kulit hitam. Jasnya rapi, dasinya sedikit longgar, dan di tangannya segelas whiskey berputar pelan, memantulkan cahaya dari layar-layar yang berpendar di ruangan. Wajahnya menyiratkan ketenangan yang berbahaya—bukan seseorang yang mudah digertak, bukan pula pria yang akan ragu menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Di sisinya, seorang wanita muda berdiri diam, tak bersuara, tapi keberadaannya jauh dari sekadar hiasan.

Wanita itu mengenakan kemeja putih ketat yang membingkai tubuh rampingnya dengan sempurna. Rok span hitam yang sedikit di atas lutut menampakkan sebagian pahanya yang kencang, sementara betis jenjangnya mengukuhkan kesan elegan dan berbahaya sekaligus. Rambutnya yang panjang dikepang rapi, kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya, menambah aura kecerdasan yang tajam dan memikat. Dia bukan sekadar asisten—dia adalah mata dan telinga, serta eksekutor dalam senyap jika situasi mengharuskannya.

Ketukan terdengar di pintu, lalu terbuka tanpa menunggu perintah.

Seorang pria bersetelan hitam dengan tubuh tegap masuk, wajahnya tirus dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Pengawal pribadi yang selalu hadir dalam setiap pertemuan penting. Dia mendekat, menundukkan kepala sedikit sebelum berbicara.

"Tuan Leon, dia sudah datang," katanya singkat, suaranya dalam dan tanpa basa-basi.

Pria di kursi mewah itu—Leon—menyeringai tipis, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan halus. "Suruh masuk."

Beberapa detik kemudian, langkah tegas terdengar dari lorong menuju ruangan itu. Seorang pria berwajah Eropa masuk, jasnya sedikit kusut setelah perjalanan panjang, tapi sorot matanya tetap tajam. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi, rahangnya tegas, dan ekspresinya penuh keseriusan.

Dia berhenti di tengah ruangan dan menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan sebelum berbicara.

"Labolatorium sudah siap," katanya, suaranya berat dan beraksen khas Eropa Timur. "Bahan-bahan lokal telah terkumpul. Kami hanya menunggu pasokan tambahan dari Myanmar."

Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar gelas whiskey di tangannya sebelum membalas, "Dan?"

Pria itu menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Ada kendala. Polisi telah mencium pergerakan kami dan mulai memperketat pelabuhan utama. Tidak mungkin kita bisa menyelundupkan bahan itu melalui jalur besar tanpa menarik perhatian. Dari 23 titik pelabuhan di Jakarta, hanya ada dua yang bisa digunakan—dua yang dikelola swasta."

Leon menajamkan tatapannya. "Dan siapa yang menguasai dua pelabuhan itu?"

"Pelabuhan pertama dikuasai oleh Naga Besi, dipimpin oleh Adrian," jawab pria itu tanpa ragu. "Pelabuhan kedua berada di bawah kendali Guntur Hitam, yang dipimpin oleh Sambara."

Leon mengetuk meja dengan jemarinya, berpikir cepat. "Siapa di antara mereka yang bisa dibeli?"

Pria Eropa itu menggeleng pelan. "Sayangnya, tidak ada. Keduanya adalah gangster dengan prinsip kaku. Guntur Hitam memiliki koneksi erat dengan kepolisian. Selain menguasai pelabuhan, mereka juga bergerak di bidang jasa keamanan dan debt collector. Jika kita mencoba mengambil alih pelabuhan mereka, risiko tercium pihak berwenang terlalu besar."

Leon menyeringai tipis. "Dan Naga Besi?"

"Mereka lebih tertutup. Bisnis utama mereka adalah penyelundupan, bukan perlindungan. Hubungan mereka dengan kepolisian jauh lebih buruk dibanding Guntur Hitam. Jika ada pelabuhan yang lebih mudah untuk kita ambil alih, itu adalah milik Adrian."

Leon mengetuk meja pelan, lalu pria Eropa itu menambahkan, "Ada satu hal lagi. Polisi bisa mengetahui pergerakan kita karena ada laporan dari Interpol."

Leon mendongak, tatapannya tajam. "Interpol? Itu artinya ada mata-mata di dalam kelompok kita."

Pria itu mengangguk. "Benar. Tapi kami sudah mengurusnya."

Leon tersenyum dingin. "Bagus. Apa yang kau lakukan padanya?"

Pria itu menyeringai samar. "Kami mengikatnya di kursi logam, lalu mengisinya dengan arus listrik berulang kali sampai dia mengaku. Setelah itu, kami menenggelamkannya dalam tong berisi semen dan membuangnya di perairan Teluk Jakarta. Tak ada yang akan menemukan jejaknya."

Leon terkekeh pelan. "Sempurna. Sekarang kita bisa kembali fokus pada pelabuhan. Aku ingin tahu segala hal tentang Naga Besi. Kelemahan mereka, kebiasaan Adrian, siapa yang bisa kita sentuh, siapa yang harus kita singkirkan. Aku tidak suka membuang sumber daya untuk pertempuran yang bisa dimenangkan tanpa perlu mengotori tangan sendiri."

Pria itu mengangguk mantap. "Akan segera kami selidiki."

Leon mengangguk pelan, lalu kembali menyandarkan tubuhnya. "Bagus. Sekarang pergi dan jangan kembali sebelum kau membawa informasi yang cukup untuk menjatuhkan Adrian."

Tanpa banyak kata, pria Eropa itu berbalik dan melangkah keluar. Ketika pintu tertutup di belakangnya, ruangan kembali sunyi, hanya terdengar suara mesin pendingin udara yang berdengung pelan.

Leon menoleh ke arah asistennya. Wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman.

"Ini akan menarik," katanya pelan.

Leon tersenyum. "Sangat."

Lift bergerak turun dengan lembut, tapi pikiran pria itu berputar liar. Matanya yang tajam menatap kosong pada pantulan dirinya di dinding logam mengilap, namun benaknya dipenuhi perhitungan dingin. Rencana demi rencana berkelebat dalam pikirannya—memetakan langkah-langkah strategis untuk menyelidiki Adrian, mengidentifikasi titik lemah Naga Besi, lalu menggalang kekuatan dari gangster-gangster lokal untuk merebut pelabuhan yang saat ini berada dalam cengkeraman kelompok itu.

Bagi pria ini, Naga Besi hanyalah seekor ular lokal, berbisa, namun tetap saja ular. Sedangkan dirinya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—naga sejati yang mengendalikan peredaran darah di dunia hitam. Tapi ia tak pernah meremehkan mangsanya. Ular yang terpojok bisa menggigit balik, dan ia bukan orang yang ceroboh dalam berburu.

Bunyi dentingan halus mengumumkan tibanya lift di lantai dasar. Pintu terbuka, memperlihatkan lobi luas dengan lampu kristal yang berkilauan. Tanpa memperlambat langkahnya, pria itu melangkah keluar, jas hitamnya berayun mengikuti gerakannya yang penuh kepercayaan diri. Beberapa anak buahnya sudah menunggu di sana, berdiri tegak dengan tatapan waspada.

Ia tidak berhenti, bahkan tak menoleh ketika memberikan perintah, suaranya tenang namun memiliki bobot yang tak bisa dibantah. "Panggil Bidadari Kematian. Aku punya tugas untuknya."

Salah satu anak buahnya, pria berambut cepak dengan setelan rapi, segera mengangguk dan mengangkat telepon. "Siap, Tuan Mikhail," jawabnya tegas sebelum menekan nomor di layar ponselnya.

Mikhail terus berjalan, diikuti oleh rombongannya yang bergerak dalam formasi alami, seakan mereka adalah bayangannya yang tak terpisahkan. Saat ia mencapai pintu utama, ia berbicara lagi, kali ini tanpa menoleh ke belakang. "Hubungi Surya Adipradana. Katakan padanya sudah waktunya mengumpulkan para ular lokal. Mereka harus memilih, bergabung atau dilumat."

Orang yang ditunjuk segera mengeluarkan ponsel, jarinya lincah menekan tombol. Sementara itu, di luar gedung, barisan mobil mewah sudah menunggu. Tepat di depan, sebuah Rolls-Royce hitam berkilauan di bawah lampu jalan. Begitu pintu kaca terbuka, seorang pria berwajah Asia dengan setelan formal segera turun dan membukakan pintu untuknya dengan hormat.

Tanpa ragu, Mikhail masuk ke dalam. Di belakang Rolls-Royce, beberapa SUV hitam berjajar, siap mengawal perjalanan mereka ke pertemuan yang akan menentukan arah perang di pelabuhan.