Dia tahu itu kebohongan yang terang-terangan. Bahkan jika tidak ada pelayan seperti yang diklaim Maxim, mantan grand duchess masih tinggal di suite utama di lantai empat.
"Beliau… ngh, di lantai empat. T-tolong, cukup… hentikan."
"Ah, ya. Bibiku. Aku selalu lupa tentangnya. Terima kasih sudah mengingatkanku, Izzy."
Klasik. Dari pria yang tanpa malu-malu membicarakan perilaku bejatnya saat makan malam resmi, hal seperti ini tidaklah mengejutkan.
"Haruskah aku membiarkannya mendengar betapa… energiknya kau setelah makan dengan baik?"
"T-tidak… hngh, j-jangan…!" Daisy menggelengkan kepalanya dengan panik.
Gila. Apa dia benar-benar berniat berhubungan seks atau tidak? Sikapnya yang plin plan seperti ini justru membuatnya terlihat makin tidak waras.
"Akan kuberi tahu sedikit rahasia."
Maxim mendekat, tubuh bagian atasnya menekan dada Daisy yang terengah-engah. Napas hangatnya menyapu telinganya, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ingat baik-baik ini. Bisa berguna jika suatu saat kau ingin mengendalikan atau menjinakkanku."
"Haa, nghh."
"Semakin kau memberontak, semakin aku bergairah, Izzy."
Dan benar saja, sesuatu yang berat dan panas menyentuh perut Daisy.
Sangat gila. Dia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan sekarang sudah keras lagi.
Dahi Daisy berkerut dalam.
"Begitu menyedihkan, hampir menggemaskan, melihat usahamu kabur. Saat melihatmu begitu, aku hanya ingin menyiksamu sampai kau menangis. Menghancurkan semangatmu sampai kau berhenti melawan."
"Agh, ugh, kau… kau bajingan gila…!"
"Sudah kubilang. Aku suka semangatmu itu."
Rasa sukanya benar-benar tak bisa diselamatkan.
Daisy harus segera menjauh darinya, bahkan jika itu berarti harus berpura-pura lemah. Trik itu pernah berhasil sebelumnya. Kalau perlawanan justru membuatnya lebih bergairah dan menikmati "semangat" Daisy, tak ada gunanya memberinya kemudahan.
"Hiks… itu– itu sakit, hik, lepaskan aku."
"Pikirkan baik-baik. Menurutmu, apa yang harus kau lakukan agar aku melepaskanmu?"
"Le-lepaskan aku, hng…"
"Tidak, lupakan kata-kata. Tunjukkan lewat tindakan."
Kalau dia terangsang oleh perlawanan, mungkin sebaliknya akan berhasil.
Begitu pikiran itu muncul, Daisy perlahan mengendurkan tubuhnya.
"Bagus."
Begitu dia berhenti melawan, cengkeraman Maxim akhirnya mengendur.
"Maaf. Apa aku menyakitimu? Mungkin aku tidak bisa mengontrol kekuatanku. Aku masih agak mabuk."
"Hiks… hgh…"
"Meskipun begitu, aku masih cukup waras untuk tidak benar-benar menyakitimu, jadi tenanglah."
Menjijikkan. Maxim mencium pergelangan tangan Daisy yang memerah dengan lembut, seolah ingin menenangkan rasa sakitnya.
"Tapi kalau kau terus menggoda, aku tak bisa menjamin apa yang akan terjadi."
Daisy bahkan sudah tak punya tenaga untuk membantah omong kosongnya. Atau mungkin, lebih tepatnya, tekadnya sudah benar-benar menguap.
Apa karena dia terlalu terkejut? Atau memang seluruh situasi ini terlalu tidak masuk akal?
Dia tak tahu pasti.
Gelombang emosi yang tak bisa dijelaskan membuat wajahnya panas, dan pandangannya buram oleh air mata yang belum jatuh.
"Jangan menangis."
Maxim menggenggam pipinya, mengusap lembut kemerahan di sekitar matanya dengan ibu jarinya.
"Haa, ngh…"
"Apa karena darah?"
Bukan itu. Daisy sudah terlalu sering melihat darah. Itu tak pernah membuatnya gentar.
Alasan sebenarnya… adalah Maxim von Waldeck itu sendiri. Bukan rasa takut—melainkan frustrasi murni yang membuat matanya berlinang.
Maxim von Waldeck. Bajingan itu benar-benar gila.
Mungkin karena dia memimpin pasukan khusus, dia memang memiliki kekuatan yang jauh melampaui laki-laki lain yang pernah Daisy hadapi. Tapi justru karena itu, dia semakin geram.
Pertarungan bukan hanya tentang kekuatan kasar.
Daisy memang bukan yang terkuat, tapi dia selalu mengandalkan kecepatan dan ketepatan, memanfaatkan celah dan menyerang titik lemah.
Dia pandai dalam hal itu. Dia tak pernah gagal. Tapi dengan pria ini, tak ada satupun usahanya yang berhasil.
Apa dia terlalu lambat? Tidak. Dia tahu dia tidak lambat.
Setelah serangan kepala yang membuat bibir Maxim pecah, pria itu tak memberikan celah sedikit pun. Seolah-olah dia bisa membaca setiap gerakannya, memblokirnya dengan presisi sempurna.
'Aku masih "Easy". Orang yang dikenal karena menghabisi target dengan cepat.'
Bagaimana mungkin dia bisa kalah telak tanpa berhasil mengenai satu pun serangan yang berarti? Ini adalah kali pertama dia merasa sehinanya ini.
Dulu dia yakin kemampuan bertarungnya tak akan luntur begitu saja. Mungkin… istirahat selama setahun itulah masalahnya.
Pernah suatu waktu, dia disebut sebagai ace. Sekarang, sebagai mantan pembunuh, harga dirinya tercabik, dan keraguan mulai menggerogoti dirinya.
Dia tak tahu bagaimana menghadapi rasa tak berdaya ini. Ini benar-benar bencana dalam segala hal.
Dia bukan takut atau gentar. Dia hanya terlalu marah sampai-sampai menangis.
Memalukan, memang. Tapi Daisy tidak peduli untuk menyembunyikan air matanya.
Sebelumnya, Daisy terlalu terkejut untuk melakukan apa pun selain bereaksi berdasarkan insting. Tapi ternyata, Maxim von Waldeck lemah terhadap air matanya.
Dia pikir kalau dia menangis sejadi-jadinya, pria itu setidaknya akan merasa bersalah dan menghentikan sedikit kegilaannya.
Itulah asumsi Daisy saat membiarkan air matanya mengalir. Tapi ternyata, dia benar-benar salah besar.
"Hmm… mari kita lihat, apalagi ya? Ah, aku biasanya terangsang saat melihat seseorang menangis."
Tak bisa dipercaya. Dia benar-benar yang terburuk.
Lagi-lagi dia mengucapkan sesuatu yang mengejutkan, dan absurditasnya belum berhenti di situ.
"Kebetulan sekali. Kau terlihat luar biasa cantik saat menangis, Izzy-ku."
Dia pernah mengatakan hal serupa sebelumnya. Kenapa saat itu dia tidak menyadarinya?
Atau mungkin wajar jika dia tidak sadar. Siapa juga yang menyangka ada orang yang bisa terangsang karena melihat orang lain menangis?
"Tapi jangan khawatir. Kau lihat sendiri tadi, kan, Izzy? Aku selalu menepati janjiku. Malam ini, aku hanya akan tidur."
"…"
Daisy bahkan tak punya tenaga untuk menjawab.
"Janji, sungguh."
Dilihat dari ekspresinya yang serius, sepertinya dia memang berkomitmen untuk menepati janji itu.
Dalam situasi di mana dia bisa saja dengan mudah menguasai Daisy, Maxim benar-benar hanya mencium dan tidak melangkah lebih jauh. Lagi pula, dia sendiri sudah mengakui bahwa perlawanan hanya membuatnya semakin bersemangat, jadi melawan rasanya sia-sia.
Tenaganya sudah habis. Diperas sampai tak tersisa.
Rasa tak berdaya dan lelah menyapu dirinya dan Daisy hanya tergeletak lemas, tenggelam dalam tempat tidur.
"Sudah waktunya kau membersihkan diri, Izzy. Jangan sampai masuk angin karena habis dari luar. Lebih baik mandi, ya."
Chu—dengan kecupan ringan di ujung hidungnya, Maxim pun bangkit berdiri.
Sikapnya begitu santai. Seolah seperti ucapan para biarawati pada anak-anak sebelum tidur.
Kata-kata lembut itu sangat bertolak belakang dengan penampilannya yang berbahaya.
"Mau kau lebih dulu, atau setelah aku?"
Mana yang lebih baik dari dua pilihan buruk itu?
Menolak sepertinya bukan sesuatu yang bisa dilakukan terhadap Maxim von Waldeck.
Semangat Daisy sudah habis. Dia tak punya energi lagi untuk melawan.
Dia harus memilih yang lebih ringan dari dua kejahatan.
Saat dia menatap kosong ke langit-langit, mempertimbangkan pilihannya, Maxim malah menyarankan sesuatu yang lebih buruk.
"Kau terlihat terlalu lelah untuk mandi sendiri. Mau kubantu, sayang?"
"Tidak." Daisy menggeleng pelan.
Dari semua kemungkinan, itu adalah yang terburuk. Namun setelah ledakan emosinya tadi, Daisy tak lagi memiliki kekuatan untuk membantah.
"Jangan khawatirkan aku. Mandi saja dulu, Max."
"Kau tidak merasa tidak enak badan, kan?"
Satu saat, dia mencengkeram pergelangan tangannya seolah ingin mematahkannya, dan sesaat kemudian, dia berubah menjadi sosok suami yang penuh perhatian. Dia yang menyebabkan masalah—lalu bertingkah seolah dia pula solusinya. Pria itu bahkan tak pantas mendapatkan jawaban.
"Tidak, tidak. Mandi saja…"
"Kalau itu benar-benar keinginanmu, Izzy. Aku mengerti."
Daisy sempat mengira Maxim akan bersikeras untuk membantunya mandi, namun ternyata, pria itu justru mundur tanpa perlawanan.
Baru saja ia hendak menghela napas lega, suara lembut kain yang bergesekan menangkap perhatiannya. Ia menoleh—dan langsung membeku.
Maxim. Sedang membuka pakaiannya.
'Serius? Dia tidak bisa melakukannya di kamar mandi saja?'
Meski hanya melihat sekilas, sosok tubuhnya yang kokoh dan terpahat jelas membuat perut Daisy terasa bergejolak.
Dia memang tahu pria itu sangat percaya diri dengan tubuhnya, tapi menyaksikan langsung cara Maxim melepas pakaiannya tanpa sedikit pun keraguan, membuatnya terlalu gugup bahkan untuk memalingkan pandangan.
Jika ia mengomentari apa pun, pria itu pasti akan menanggapi dengan sesuatu seperti, "Apa yang perlu dimalukan antara suami dan istri?" Daisy sudah cukup belajar dari kesalahan—tatapannya yang terlalu lama sebelumnya saja sudah berujung pada percakapan yang sangat canggung.
"Wajahku bisa rusak, tahu."
"Apa?"
"Kau menatapku."
Kenapa dia sebodoh itu hingga menatap pria itu begitu terang-terangan? Mengingat kembali tindakannya membuat Daisy ingin menendang selimut keras-keras karena frustasi.
Seandainya hanya wajahnya saja, dia mungkin masih bisa pura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi… melihat tubuh telanjangnya secara tak sengaja?
"Jadi, setelah melihatku seperti ini, kau berubah pikiran?"
"Apa kau ingin tidur denganku sekarang? Di ranjang… atau mungkin di dalam bathtub?"
"Kapan saja, di mana saja, asal kau bersedia, Izzy."
…dan masih banyak lagi ucapan tak senonoh yang bisa ia bayangkan.
Daisy bahkan tak ingin tahu reaksi Maxim jika dia sampai menyuarakan pikirannya.
Hanya membayangkannya saja sudah cukup untuk membuat kata-kata kotor pria itu terngiang di telinganya.
'Lebih baik tak melihat. Tak ada gunanya mendengar ocehan kotornya lebih jauh lagi.'
Daisy buru-buru memalingkan wajah.
Ia tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Akhirnya, suara kain berhenti—digantikan oleh langkah kaki pria itu yang mendekat, mantap dan penuh keyakinan.
"Aku akan kembali setelah mandi. Jadi, tunggulah aku di sini."
Suaranya terdengar dari kejauhan.
Namun Daisy tetap memejamkan mata erat-erat. Ia merasa, bahkan hanya sekilas lirikan, bisa memperlihatkan lebih banyak hal dari yang sanggup ia tanggung.
Beberapa detik kemudian, ia merasakan telapak tangan besar menyentuh lembut rambutnya.
"Kalau kau kabur lagi, aku pastikan kita mandi bersama mulai sekarang."
Meninggalkannya dengan ancaman samar yang membuat bulu kuduk berdiri, Maxim pun menghilang ke dalam kamar mandi.