Chapter 60

“Makan semuanya.”

Perintah itu meluncur dari bibirnya, diiringi bunyi lembut anggur yang dituangkan ke dalam gelas Grace. Ia menoleh pelan ke arah deretan piring di sampingnya, menatap kosong.

Ia ingin hidup. Maka ia tak dalam posisi untuk menolak makanan yang disajikan. Lagipula, saat sebelumnya ia khawatir akan diberi makanan busuk, kini ia tidak bisa berpura-pura angkuh di hadapan keramahan yang nyaris berlebihan. Namun, tetap saja ada satu masalah…

“Jangan kira kau akan mendapat simpati dengan mogok makan.”

Pengurangan porsi makan yang dilakukan Grace akhir-akhir ini disalahpahami Winston sebagai bentuk perlawanan.

‘Untung saja dia belum tahu alasan sebenarnya.’

Lagipula, tubuhnya sudah mulai menyusut berkat perlakuan buas pria itu yang terus menghantam batas tenaganya. Mungkin tak ada salahnya jika kali ini ia menyantap makanan yang layak.

Grace menyesap sedikit anggur yang menyegarkan, lalu mengambil sebutir tiram dengan garpu peraknya.

‘Menyeramkan juga… dia memperhatikan jumlah makananku.’

Tatapan lapar pria itu tak berubah sepanjang waktu mereka duduk bersama. Namun itu bukan kelaparan karena makanan—lebih karena ia tampak lebih sibuk mengamati wajah Grace daripada mengunyah hidangan di hadapannya.

“Omong-omong, kenapa tunanganmu tidak mencarimu?”

Di tengah santapan utama, Winston tiba-tiba menyebut nama Jimmy. Topik itu terdengar asing bagi Grace, tetapi tidak bagi Leon. Ia waspada. Ia menduga si ‘Jimmy kecil’ mungkin akan mencoba menyelamatkan Grace. Namun hingga kini, tak ada satu pun tanda-tanda pergerakan.

Tak ada penyusupan orang baru. Tak ada serangan mendadak. Tak ada pengawasan. Tak ada apa pun.

Sungguh… memalukan.

‘Apa dia menyerah…?’

Perempuan di hadapannya tampak menyedihkan di matanya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau lihat dari pria tak bertanggungjawab itu. Bukankah dia berjanji akan menikahimu? Nona Riddle, kau terlihat menyedihkan.”

Grace, yang percaya bahwa Jimmy bukannya tidak mau menyelamatkannya, melainkan tidak mampu, tak tergoyahkan sedikit pun.

Langkah pertama dalam penyelamatan adalah ia harus keluar dari paviliun ini. Ia sadar betul bahwa menyerang Winston secara langsung hanya akan berakhir pada bencana, maka ia tak merasa kecewa ataupun marah.

“Dia benar-benar mucikari yang patut dicontoh. Menyerahkan wanitanya kepada militer dengan penuh pengabdian. Nona Riddle, bertunangan dengan seorang mucikari membuatmu tak beda dengan pelacur.”

‘Cepatlah makan atau pergilah.’

Dengan pikiran itu, Grace kembali menggerakkan garpunya, pura-pura tidak mendengar cercaan Winston yang terus berlanjut.

“Kalau begitu, ceritakan padaku seperti apa sekolah pelacur itu.”

Wanita yang sejak tadi menahan diri akhirnya melemparkan pandangan tajam ke arah pria itu.

“Ah, aku sudah tahu kau sendiri tak pernah sekolah di sana. Maksudku, teman-temanmu pasti pernah.”

“Kenapa kau terus mengoceh omong kosong seperti itu?”

Omong kosong… Ya, mungkin memang omong kosong.

Leon menyandarkan tubuh ke kursinya dengan santai, lalu tersenyum kecil.

“Benar, bisa jadi sekolah itu hanya rumor yang dilebih-lebihkan. Tapi fakta bahwa mereka menggunakan perangkap madu untuk merayu perwira dan mencuri informasi itu bukanlah cerita kosong.”

Saat ia menyebutkan wanita simpanan Komandan Wilayah Barat yang baru-baru ini tertangkap—dan mengisyaratkan bahwa Grace sejenis dengannya—yang ia dapatkan justru adalah balasan yang tak terduga dari wanita di hadapannya.

“Kau pasti mengiranya sebagai simpanan hanya karena mereka sempat makan bersama beberapa kali. Lelaki selalu terlalu percaya diri lebih dari yang seharusnya.”

Leon terdiam sejenak. Ucapan itu terdengar tulus, bukan seperti pembelaan membabi buta terhadap rekan-rekannya.

“Kau… Grace Riddle?”

Grace sedikit memiringkan kepala menanggapi pertanyaan yang datang begitu tiba-tiba.

“Kau dari keluarga Riddle? Bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa tentang kepemimpinan? Bahkan hal-hal yang aku tahu pun tak kau ketahui.”

“Bukan kah wajar kalau kau justru yang salah paham, dan aku memang tidak tahu?”

“….”

“Aku tidak menggunakan perangkap madu. Apa kau kira aku tidak tahu bagaimana para bajingan monarki itu akan langsung memanas dan menyerang rekan perempuan tanpa izin, lalu menuduh mereka seperti itu?”

‘Bukti paling nyata kan sedang duduk di depanku.’

“Seperti dirimu.”

Winston menyeringai ceria sambil menarik kotak cerutu dari jasnya yang tergantung di kursi.

“Tidak. Fakta telah membuktikan bahwa pemberontak Blanchard menanamkan wanita simpanan di antara perwira militer yang memiliki posisi strategis.”

Ujung cerutu yang menyala kini mengarah ke Grace.

“Seperti dirimu.”

“Aku bukan simpananmu.”

Tawa Winston pecah, nyaring, penuh cemoohan.

“Ya, barangkali begitu.”

Ia mengisap cerutu lalu meniupkan asap putih ke udara.

“Kau bilang tunanganmu sendiri memerintahkanmu untuk merayuku.”

Keparat Jimmy. Keparat semua petinggi itu. Karena mereka, kebenaran bahwa Pasukan Revolusioner Blanchard tidak menggunakan wanita sebagai umpan kini diragukan.

“Itu sangat tak terduga. Aku bahkan nyaris tak percaya saat pertama kali mendengarnya.”

Sejak kapan mereka jatuh serendah ini? Grace berharap, para petinggi yang kini menyesali keputusan mereka, tak pernah lagi mengeluarkan perintah seperti itu kepada siapa pun.

“Mungkin kau memang begitu berharga. Suatu kehormatan, tentu saja.”

Perempuan itu, tetap dengan ketenangan mengejeknya, terus melanjutkan makannya. Leon kini hanya menatap Grace dengan sorot mata serius, bahkan tak menyentuh makanannya yang sudah mulai dingin.

Cuci otak? Bisa jadi.

Namun, bisa pula ia memang tidak tahu. Tapi mungkinkah? Putri dari keluarga pemimpin tak tahu soal ini? Bukankah ibunya sendiri terkenal sebagai wanita pemikat?

Apa mungkin… sang ibu menyembunyikannya?

Untuk apa?

Suasana di sekitar mereka sunyi. Dalam kesunyian itu, Grace sedikit menengadah saat sedang memotong ikan, dan mendapati Winston bersandar, dagunya ditopang tangan, tenggelam dalam pikiran.

Namun begitu ia merasa tak nyaman dengan tatapan yang menusuk itu, ia kembali menunduk—tepat saat Winston membuka mulutnya lagi.

“…Ini omong kosong.”

Grace mengangkat pandangan. Tatapannya bertemu dengan mata Winston yang tajam namun bimbang.

“Kau ingin mempercayai itu? Bahwa kalian… bersih?”

“Aku tidak ingin mempercayainya… tapi kami memang bersih. Kami semua rela berkorban. Itu sesuatu yang tidak akan pernah dipahami oleh para babi monarki kotor, yang disatukan oleh kerakusan egois.”

“Ya, kerakusan egois. Bukan pernyataan yang salah.”

Perempuan itu mungkin bermaksud menghina, tapi ucapan yang sudah lebih dulu ia akui bukan lagi hinaan.

“Keluarga kerajaan memang korup, tapi setidaknya aku tahu diriku korup. Kalian—tikus-tikus pemberontak—yang korup tapi menganggap diri bermartabat… justru lebih kotor dari kami.”

Setidaknya dia tahu dirinya hanyalah bidak dari ksatria kotor, sementara perempuan itu masih saja menganggap dirinya utusan keadilan. Seperti yang ia perkirakan, si perempuan menggenggam pisau erat-erat. Sorot matanya tajam, penuh amarah, seolah siap menusuk siapa pun yang melukai harga dirinya.

“Aku mengatakan ini karena aku sangat peduli padamu. Cinta pertamaku dulu… dicuci otaknya dan dibesarkan oleh sekumpulan fanatik gila. Itu menyedihkan.”

Cinta pertama?

Ia berani bicara soal cinta pertama saat sedang berusaha membunuhnya perlahan dan menyakitkan? Grace bertanya-tanya mengapa mereka bahkan makan bersama. Mungkin ini bukan makan malam—melainkan interogasi.

Tidak, ini penyiksaan.

Alat makan yang sebelumnya ia pegang kini diletakkan rapi di sisi piring, sebagai tanda bahwa ia tak akan menyentuh makanan lagi. Ia lalu berdiri.

“Kau tipe orang yang berdiri lebih dulu saat makan tanpa meminta izin?”

Begitu sopan, memberi ceramah saat orang lain hendak pergi.

Grace membatin tanpa menoleh. Ia ingin segera keluar dari ruangan itu—tapi tidak bisa. Tubuhnya berjalan ke arah tempat tidur. Ia hanya ingin berbaring, menyelimuti tubuhnya, seperti burung unta yang mengubur kepala di pasir agar tak melihat bahaya.

Namun suara Winston membahana lebih buas dari sebelumnya.

“Aku sudah bilang, habiskan semuanya.”

“Aku sudah mencoba, tapi aku tak berselera, Kapten.”

Grace telah menderita seharian. Ia terlalu lelah untuk disiksa lagi malam ini.

Tidak seperti saat berdebat tentang perangkap madu, kali ini ia tampak menunduk. Tapi sorot matanya masih menyimpan bara amarah. Ia tetap keras kepala, dan sempat berpikir Winston akan menyeretnya dan mengikatnya ke kursi. Namun reaksi pria itu sungguh tak terduga.

“Sally.”

Langkah Grace terhenti.

Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?

Apa maksudnya?

Ia menoleh dengan cemas. Bukannya mengejek seperti biasanya, wajah Winston kali ini… serius. Bahkan, suaranya terdengar seperti seseorang yang memohon.

“Kalau kau tak berselera, setidaknya makanlah hidangan penutup.”

Ia hendak bertanya, hidangan penutup seperti apa… lalu mencoba mencicipinya…

...Kue Madame Benoa.

Begitu Winston membuka tutup piringnya, kepala Grace langsung bekerja cepat. Ia mulai paham mengapa Winston memanggilnya ‘Sally’. Bagi pria itu, orang yang menyukai kue Madame Benoa… pastilah Sally, bukan Daisy, apalagi Grace.

Mungkin… itu alasan ia menyiapkannya?

Tebakan itu terdengar gila.

Ia ini mata-mata, putri dari musuh. Mengapa Winston melakukan semua ini pada perempuan yang ingin ia siksa hingga mati? Malam ketika Grace melakukan ‘perjanjian kotor’ dengannya, ia sempat berpikir pria itu… menyukainya. Tapi setelah semua yang terjadi… pemikiran itu jelas hanya ilusi.

Mungkin tadi memang ada pesta di mansion. Para pelayan hanya menyajikan kue yang kebetulan tersisa dari dapur sebagai hidangan penutup tanpa niat apa-apa.

Jadi… mungkin dia tak menyuruhku makan itu karena tahu kue apa yang kusuka.

Leon memindahkan potongan kue miliknya ke piring perempuan yang sepenuhnya terjebak dalam delusi.