Langkah pertama di jalan gelap

Tae-ho mengikuti Minsuk keluar dari sekolah. Matahari sudah hampir tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Tubuhnya masih sakit, tapi dia menahannya. Setiap langkah terasa seperti siksaan, namun dia tidak berhenti.

Minsuk berjalan di depan dengan santai, seolah-olah ini hanya hari biasa baginya.

"Kita mau ke mana?" tanya Tae-ho akhirnya.

Minsuk tidak menoleh. "Tempat di mana gua bakal mulai ngajarin lu."

Mereka melewati gang sempit di belakang sekolah, menuju bagian kota yang lebih suram. Bangunan-bangunan tua berdiri dengan cat yang mulai terkelupas. Lampu jalan berkelap-kelip, beberapa di antaranya sudah mati. Suara kendaraan di jalan utama terdengar jauh, seolah mereka melangkah ke dunia yang berbeda.

Tae-ho mulai merasa ragu.

"Lu yakin ini tempat latihan?" tanyanya.

Minsuk hanya tertawa kecil. "Lu pikir bisa jadi kuat hanya dengan angkat beban dan push-up?"

Tae-ho diam.

Mereka berhenti di depan sebuah gudang tua. Pintu besinya berkarat, dan ada bekas coretan grafiti di dinding.

Minsuk mengetuk pintu tiga kali dengan irama tertentu. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka sedikit, menampakkan seorang pria bertubuh besar dengan tato di lehernya.

Dia menatap Minsuk, lalu ke Tae-ho.

"Anak baru?" tanyanya dengan suara berat.

Minsuk mengangguk. "Dia mau belajar."

Pria itu menatap Tae-ho dari atas ke bawah, lalu menyeringai. "Kayaknya bakal remuk dalam sehari."

Tae-ho menahan napasnya.

Pintu terbuka lebih lebar, dan Minsuk melangkah masuk. Tae-ho mengikutinya, meski hatinya mulai berdebar.

Di dalam, gudang itu lebih mirip arena pertarungan. Lantai beton penuh bekas darah dan goresan sepatu. Ada beberapa anak muda berlatih di sudut ruangan, saling bertukar pukulan di bawah cahaya lampu redup. Beberapa dari mereka melirik ke arah Tae-ho, menilai apakah dia layak berada di sini atau tidak.

Minsuk berbalik menghadap Tae-ho.

"Dengerin baik-baik."

Dia menunjuk ke tengah arena.

"Di tempat ini, lu cuma punya dua pilihan: lu hajar, atau dihajar."

Tae-ho menelan ludah.

"Lu pengen kuat?" Minsuk menyeringai. "Buktikan."

Tiba-tiba, seseorang mendorong Tae-ho ke depan.

Duk!

Dia tersandung, hampir jatuh, tapi berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Saat dia mengangkat kepala, seorang anak laki-laki seusianya sudah berdiri di depannya.

Tae-ho mengenal tatapan itu.

Tatapan seseorang yang siap menghancurkan lawannya.

"Pertarungan pertama lu," kata Minsuk. "Lu kalah, ya balik aja jadi pecundang."

Jantung Tae-ho berdetak lebih cepat.

Rasa sakit dari tubuhnya belum hilang. Luka-luka dari perkelahiannya dengan Woo-jin masih terasa.

Tapi ini…

Ini kesempatan.

Tae-ho mengepalkan tangannya.

Dia tidak akan kalah lagi.