Bab 29 : Warisan Leluhur

"Kak Kanaya, kamu baik-baik saja?" Bapak bertanya kepada ku dengan suara lirih, sambil menghisap rokoknya.

Aku menganggukan kepala ku dan memasang senyum kaku diwajah ku, aku kembali meminum kopi hitam pahit ku. entah sejak kapan aku menyukai kopi hitam pahit seperti ini.

Sedangkan dari sudut mata ku, aku melihat Pak Kades dan pade Kasman saling bertatapan satu sama lain dan seperti sedang mendiskusikan sesuatu. Aku melihat hanya pandu yang menatap ku dengan penuh kekaguman dengan mata yang berbinar-binar.

"Ada apa ini sebenarnya, kenapa bapak dan yang lainnya melihat ku dengan tatapan aneh?" batin ku di dalam hati.

"Kanaya, kenapa tadi suara kamu berat serta membesar dan sangat berwibawa seperti suara raja? ketika kamu mengatakan dirimu bisa menghilangkan kutukan kolor ijo dari tubuh Ayu, saya rasanya ingin berlutut di depan mu Kanaya!" Pak Kades mengungkapkan apa yang dia rasakan secara jujur dengan hati-hati sambil menatap ku.

"....maaf Kanaya bukannya Pade tidak sopan, apakah semua ini berkaitan dengan keberadaan Kanaya yang menghilang semala 7 hari dan berada di alam jin?" pade Kasman menimpali dan menambahkan apa yang tidak berani di ucapkan oleh Pak Kades kepada ku.

Aku menggelengkan kepala ku sambil menatap pak Kades dan Pade Kasman, "aku juga tidak mengerti."

Kecanggungan kembali menyelimuti kami, awalnya Pade Kasman ingin meminta tolong kepada bapak untuk membawa diriku ke rumah ayu untuk bertemu dengan Ayu dan siapa tahu aku bisa melakukan sesuatu. Akan tetapi setelah mendengar perkataan ku yang meminta Ayu dan keluarganya untuk datang menemui ku dirumah dan meminta maaf.

Hal teraneh adalah pak Kades sampai ingin berlutut ketika mulut ku berbicara seperti itu dan suara yang keluar dari mulut ku adalah suara seorang pria. Ketika kami semua yang ada disana terdiam dan bingung untuk memulai percakapan, tiba-tiba ibu keluar dari kamar sambil menatap ku.

"Kak Kanaya dan Pandu, jika urusan kalian sudah selesai, tolong temani ibu ke ladang!" ucap ibu sambil tersenyum menatap ku.

Aku baru saja ingin menjawab perkataan ibu bahwa pertemuan ini baru saja dimulai, akan tetapi Pak Kades langsung membuka suaranya.

"Somad, sekarang sudah jam satu kurang, ayo kita kembali ke kantor untuk berkerja."

Bapak ku yang terkejut dengan perkataan Pak Kades hanya bisa menganggukan kepalanya dan mulai berdiri. hanya Pade Kasman yang terlihat kebingungan, akan tetapi Pak Kades segera membisikan sesuatu ketelinga Pade Kasman dan membuat pade Kasman menganggukan kepalanya berulang kali.

Bapak langsung berdiri dan berpamitan dengan ibu ku, "Kak Kanaya dan pandu tolong rapihkan bekas gelas kopi. Bapak mau balik dulu ke kantor desa!"

Aku dan Pandu menanggukan kepala kami dan kami mencium tangan bapak, Pak Kades dan Pade Kasman. Setelah itu aku dan Pandu merapihkan gelas bekas kopi dan aku berserta pandu dan juga Ibu ku meninggalkan rumah, berjalan keladang.

Kami berjalan ke Ladang dengan berjalan kaki, disepanjang jalan banyak para penduduk desa yang mencibir ketika melihat ku dan ada juga beberapa warga desa yang sampai membuang ludahnya ketika melihat wajah ku.

"Pelacur!"

"Lonte!"

"Wanita Pembawa Sial!"

Satu persatu warga Desa menghakimi ku dan merendahkan ku, hati ku sangat sakit mendengar hinaan yang dilontarkan oleh warga desa. Mereka juga mempunyai anak perempuan sama seperti ku, apakah anak mereka masih perawan dan belum pernah melakukan hubungan sex diluar nikah?

Beberapa dari anak mereka bahkan pernah aku lihat di hotel bersama seorang pria dewasa yang berumur sekitar 40 tahunan. Beberapa anak perempuan warga desa ada yang menjual dirinya kepada pria hidung belang, apakah perbuatan itu lebih mulia dari pada diriku yang melakukan hubungan badan dengan kekasih ku?

Walaupun aku tidak mengatakan perbuatan ku benar, akan tetapi aku juga tidak mungkin mengatakan bahwa mereka lebih suci dari ku bukan?

"Cih dasar para warga yang sok suci, kalian juga gagal mendidik anak kalian!" batin ku didalam hati sambil menatap satu persatu anak warga yang pernah aku lihat menjual diri mereka kepada pria hidung belang.

"nak, kuatkan dirimu, ayo percepat langkah mu!" ibu ku berbisik kepada ku sambil menggenggam tangan ku.

Perkataan ibu ku kembali menyadarkan ku, aku hanya tersenyum kepada ibu ku dan mempercepat langkah ku. tidak terasa akhirnya kami sampai di ladang yang merupakan tanah bengkong, ladang ini berbatasan dengan hutan bambu yang merupakan daerah kekuasaan Raja Raksasa Kamandanu.

Disepanjang jalan saat para warga menghina ku, para pasukan Harimau dan juga para raksasa sudah sangat geram. Mereka sangat ingin meneror warga desa ku, dan patih Lodaya sudah bersiap untuk memimpin serangan tersebut. Karena aku tidak kunjung memberikan perintah ataupun isyarat, Patih Lodaya akhirnya meminta pasukan Harimau dan Jin ras Raksasa untuk tidka mengganggu penduduk Desa ku.

Aku teringat nasehat Ratu Kencana Wungu yang mengatakan kepada ku, "....kekuatan yang besar datang dengan tanggung jawab yang besar!"

Oleh karena itu aku berkata dalam hati ku, aku tidak bisa membungkam para penduduk desa dengan cara meneror mereka.

Ketika aku, Pandu dan Ibu Ku sampai di ladang, para pasukan Harimau dan Ras Raksasa menyebar keseluruh Ladang membentuk sebuah lingkaran besar untuk memastikan tidak makhluk gaib yang mendekati kami.

Ya, memang Ladang ku terdengar sangat angker dan sangat jarang manusia yang berani datang kesini, terlebih setelah magrib. Tapi buat ku dan keluarga ku, selain rumah Ladang inilah tempat ternyaman bagi kami, karena disini kami tidak pernah mendengar hinaan dari para penduduk desa dan kami bisa beraktivitas dengan normal.

Ibu ku duduk disebuah pendopo yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun kelapa.

"Kanaya, Pandu kesini nak, ada yang ingin ibu bicarakan kepada kalian!" ibu ku berkata sambil menuangkan segelas kopi hitam kegelas plastik.

Aku menaik turunkan alis ku, karena aku melihat ibu ku tidak berniat untuk berladang. Dari gesture tubuh ibu, aku menebak ada sesuatu hal yang ingin dia bicarakan dan pembicaraan ini hanya ingin dia lakukan dengan anak-anaknya saja.

"Ada apa ini?" batin ku sambil berjalan menuju tempat ibu ku.

"Tenangkan dirimu dulu kak, ini minum kopinya!" ucap ibu ku sambil menyodorkan segelas kopi hitam pahit.

Aku tersenyum kepada ibu dan mengambil gelas yang disodorkan oleh ibu, sedangkan pandu terlihat duduk bersila didekat ibu ku. Pandangan Pandu sangat serius dan tidak ada tatapan kekanak-kanakan seperti biasanya.

"kak Kanaya, apakah kamu pernah bertemu sosok pria yang umurnya tidak jauh berbeda dengan mu baik dialam mimpi ataupun secara indera penglihatan? Dan anak muda tersebut mengenakan cincin berwarna hitam di jari manis tangan kirinya?" ibu ku bertanya dengan lembut sambil menatap ku.

Aku terkejut ketika mendengar perkataan ibu ku, "Maksud ibu Gunawan?"

Ibu ku menganggukan kepalanya sambil tersenyum kepada ku, "kamu mengenalnya nak?"

"pertama kali aku mendengar suaranya ketika aku berada di istana Ratu Kencana Wungu yang berada di kedalam Laut Indonesia." ucap ku sambil mengingat ketika aku pertama kali mendengar suara Gunawan.

Lalu tiba-tiba ibu ku meneteskan air matanya dan menggenggam tangan ku, "Maafkan ibu nak....."

Aku terkejut ketika mendengar perkataan tersebut keluar dari mulut ibu ku.

"maaf? Ibu meminta maaf untuk apa dan kenapa?" tanya ku kepada ibu dengan nada kebingungan, aku menatap Pandu untuk memastikan aku tidak salah dengar. Akan tetapi pandu justru menundukan kepalanya.

"Ada apa ini?" tanya ku didalam hati.