Hari ini aku berpisah dari Leona. Atau mungkin kami sudah berpisah sejak lama, hanya saja baru sekarang kata-kata itu terucap. Aku menatap layar ponsel, membaca pesan singkat darinya. Kalimatnya pendek, tapi terasa seperti pisau yang sudah lama ditancapkan dan baru sekarang diputar perlahan.
Perpisahan ini terasa begitu formal, seperti pengumuman di papan pengumuman museum.
Aku menatap dinding kosong di apartemenku. Di sana, masih tergantung lukisan pemberian Leona.
Aku menyadari sesuatu—aku ingin orang lain melihat lukisannya, agar ia tahu betapa berharganya hasil karyanya. Tapi apakah itu yang benar-benar aku inginkan, atau hanya alasan agar aku bisa melihatnya tersenyum sekali lagi?
"Aku ingin berpisah. Tidak bisa lagi meneruskan perjalanan kita. Rayakan perpisahan ini. Selamat tinggal."
Kata-kata yang absurd, seolah perpisahan ini adalah sebuah perayaan, bukan akhir yang menyakitkan.Mungkin ia memang sudah menginginkannya sejak lama. Aku hanya yang terlambat menyadari.
Leona adalah seorang pelukis. Rumahnya berada persis di pusat kota tempat pameran akan digelar. Aku berencana membawa salah satu lukisan terbaik yang pernah diberikannya.
Supaya dapat kupamerkan betapa menakjubkan hasil dari tangan dingin miliknya saat acara itu digelar. Aku memintanya datang bersamaku. Bukan karena agar orang-orang melihatnya supaya aku bisa lihat senyuman yang terlukis di kanvas dari pemiliknya sendiri.
Tapi, dia mengakhiri hubungan ini lebih dulu. Lalu, aku membalas pesan singkatnya :
"Itu keputusanmu." Ia tidak menjawab lagi. Kemudian aku berpikir semestinya aku tidak perlu berkata begitu. Aku juga tidak perlu membawa penyesalan.
Akan jauh lebih pantas bila dia meminta maaf atas ultimatumnya.
Dia pasti akan melakukannya nanti setelah dua bulan dari hari ini ketika ingatannya sepenuhnya terhapus dari sentuhan yang pernah aku tinggalkan di dirinya.
Sekarang ini rasanya masih sama ketika perasaan Leona baru bersemi. Sebaliknya setelah hubungan ini berakhir akan menjadi persoalan yang selesai yang tidak perlu kupikirkan lagi.
Aku pergi dari tempatku semula menuju sebuah tempat yang sepi. Hari ini sangat aneh. Aku mampir ke sebuah kedai kecil milik Long dan menghabiskan beberapa lama waktu bersama segelas esspreso.
Seperti biasa dia menerka apa yang terjadi pada diriku, kemudian Long berkata, "Laki-laki memang tidak cukup kuat berdiri sendiri." Ketika aku beranjak dari kursi Long mengantarku sampai ke depan pintu.
Aku merasa sedikit tersentuh, tapi tidak begitu peduli dan menganggapnya sebagai tugas dari seorang pelayan terhadap pelanggan setianya. Aku bingung apakah seharusnya mendatangi Emerson untuk menjual lukisan Leona, dia baru tertipu oleh seorang di pasar pelelangan seni Minggu yang lalu.
Aku berlari kecil agar tidak ketinggalan kereta. Dalam tergesa dan gelisah, pasti semua itu karena ditambah dengan beban mental, bau karbonmonoksida pada asap kendaraan yang tebal. Ini sangat menyebalkan.
Stasiun terasa lengang bahkan hampir melompong hanya ada beberapa botol minum yang tergeletak dan beberapa penumpang yang sama sepertiku —menunggu jemputan kereta.
Ketika kereta sampai rasa sejuk menyentuhku lembut seperti sebuah pelukan, cahaya matahari juga cukup menyilaukan. Memberikanku kantuk yang berlebihan. Aku tertidur sepanjang perjalanan dan saat terbangun aku tersandar pada kerangka kursi di samping jendela.
Seorang wanita yang berada di sampingku tersenyum, lalu bertanya. Apakah aku pendatang dari tempat yang jauh.
"Iya," kataku dan berharap tidak lagi ada pertanyaan berikutnya.
Tempat tinggal Emerson enam ratus meter dari stasiun aku merengkuhnya dengan berjalan kaki. Aku ingin segera menawarkan lukisan Leona. Tapi, pelayan di rumah itu mengatakan ia sedang ke rumah sakit. Aku harus menunggunya. Setelah sepuluh menit kedua Emerson pun tiba di rumah ini.
Aku menemuinya dia terlihat tidak lebih muda dariku, tubuhnya hanya lebih tinggi beberapa inchi. Ia mengangkat satu tangan dan memberiku isyarat untuk masuk, lalu menjabat tanganku erat seakan tidak ingin melepasnya.
Ia memperlihatkan sebuah lukisan yang sekilas mirip dengan karya Leonardo Da Vinci dan berkata.
"Ini adalah replika lukisan Monalisa yang sempat aku ceritakan padamu. Kau adalah satu-satunya orang yang kuberi tahu soal ini."
Aku mengira dia akan membantingnya, aku mulai memberikan penawaran, tapi dia menukas, "Kau tidak perlu menjualnya! Aku sudah beberapa kali mengunjungi Leona hampir semua lukisannya adalah ekspresi emosi yang berlebihan,"
"Kau tidak pernah benar-benar memperhatikannya, kan?" kata Emerson tiba-tiba.
Aku mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Leona kehilangan ayahnya sejak kecil, dan ibunya sakit. Melukis adalah caranya bertahan. Tapi kau? Kau terlalu sibuk. Dia hanya menunggu, berharap kau melihatnya." Aku tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena aku tidak tahu harus berkata apa.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang kami, Emerson."
"Mungkin tidak. Tapi aku tahu satu hal—orang yang paling kesepian adalah mereka yang menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar ada untuk mereka."
Benar. Ketika aku berkunjung ke rumahnya Leona hanya menghabiskan waktu bersama ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur.
Dengan selang infus dan obat-obatan, bahkan Leona sering kali terbangun untuk memastikan ia masih mendengar suara napasnya. Tapi, itu disebabkan kekhawatiran dirinya. Setiap pukul dini hari Leona terbangun bahkan menangis, karena kekhawatiran.
Sedikit karena itulah selama dua minggu terakhir aku hampir tidak pernah ke sana. Dan karena kunjungan itu juga aku kehilangan akhir pekanku tanpa memperhitungkan apapun.
Emerson masih berbicara, tapi aku sudah kehilangan minat mendengarnya lagi," Aku tahu dia sangat membutuhkanmu."Aku bangkit dari kursi tanpa mengatakan apa-apa dan dia menunjukkan sebuah gambar kepadaku. Jari telunjuknya pada layar ia menerangkan.
"Ini adalah gambar ketika Leona melukis pada sebuah museum untuk suatu komersil kesenian setiap pukul sembilan pagi sepekan penuh lamanya dan menyebabkan dia melewatkan hari kritis mendiang ayahnya."
Kami menuju ke sebuah ruang kecil ada terdapat banyak lukisan dengan berbagai aliran terpajang di situ. Lalu, pada samping ruang terdengar beberapa orang sedang membaca dan mengobrol. Suara mereka memantul menciptakan bunyi seperti tiruan gemuruh angin yang tidak terlalu kencang.
"Aku tinggalkan dulu kau di ruang ini Erick. Aku selalu siap membantumu di sini. Menurut catatanku pagelaran pameran seni akan dilaksanakan dua hari lagi dam rencananya akan dimulai di waktu sore. Dengan begitu kau bisa mempersiapkan segalanya dengan baik pemetaan, desain dan dekorasinya. Satu lagi Leona: tampaknya tidak bisa mengizinkan lukisannya terpajang di sana. Kami sempat berbincang dan aku ingin kau tahu hal itu."
Aku mengangguk —mengucapkan terima kasih. Leona meskipun bukan seorang yang tidak pernah mengandalkan orang lain, selama hidupnya tidak mengenal rasa percaya. Aku masuk ke bagian lebih dalam. Ruangan yang luas, sisi dindingnya bercat putih dan dihias grafiti dan rak kayu berukiran seni yang tinggi.
Lukisan bertebaran sepanjang mataku memandang dua di antaranya adalah karya Leona aku tahu persis bagaimana teknik yang digunakannya, sapuan aquarel dan teknik plakat yang sangat tebal, lalu permainan gelap-terang kemudian di akhiri dua garis lurus dan gelombang.
Lalu, di sisi kanan terdapat sebuah rak kayu dan sebuah tas dari kulit rusa bewarna kecokelatan, dengan arsip-arsip yang terkumpul di atas susunan papan. Di dekat lemari terdapat juga sebuah patung putih.
Tapi, aku tidak begitu jelas menangkapnya bentuknya seperti seekor hiu atau naga atau sesuatu yang lain—lengkap dengan kedua sayap yang terkepak sekilas tampak menyerupai replika dewa Ra. Pada saat itu juga Emerson masuk—membelakangiku. Ia pasti habis berlari, napasnya agak terengah-engah.
"Patung ini sangat bersejarah berasal dari dua abad yang lalu tapi sudah beberapa kali
dilakukan restorasi," Emerson seketika mendekat ke sebuah pintu dan aku menahannya.