[PoV: Zanis Rusle]
Aku membuka kelopak mataku secara perlahan, mendapati diriku berada di sebuah lorong gelap yang hawa dinginnya bisa aku rasakan. Lorong ini hanya memiliki penerangan dengan satu lampu yang tergantung di atap di atasku, dan setiap sisi-sisi dinding terbuat dari logam yang keras dan kokoh.
Ini ... jangan bilang ...
Suara langkah kaki terdengar sebelum aku bisa menyelesaikan ucapan batinku.
Mataku menatap ke dalam kegelapan di depanku. Dimana suara langkah kaki kecil terdengar. "Siapa itu?" tanyaku dengan penasaran.
Suara langkah kaki itu semakin terdengar jelas, semakin mendekat, dan terasa berat. Menciptakan situasi yang membuatku merasa tidak nyaman.
Di dalam kegelapan, perlahan keluar sosok yang tampak asing bagiku—Pria dewasa berambut coklat, memiliki kulit pucat, dan iris mata berwarna biru serta pupil berwarna hitam.
Sosok itu memakai pakaian formal—Celana hitam panjang, dan kemeja putih yang di balut jubah panjang berwarna hitam. Dia memakai sepatu kulit berwarna hitam yang mengkilat di bawah sinar lampu, serta kacamata monocle yang terbuat dari perak bersinar saat terkena cahaya lampu. Dia juga memegang sebuah tongkat berukuran sedang yang di hentakan ke tanah sekali.
Dia memiliki bentuk seperti seorang manusia, tapi ... apakah sosok itu memang manusia sungguhan?
Dia membuka mulutnya, dan membalas. "Aku? Aku bukanlah siapa-siapa, hanya saja aku disini untuk memberitahumu sesuatu," balasnya, nada suaranya terdengar berat.
"Memberitahuku sesuatu? Apa itu?" tanyaku kembali.
Dia diam sejenak, seakan sedang memikirkan kata-kata yang tepat. Lalu kemudian berkata. "Di masa depan, hidupmu akan mengalami rintangan yang tak terhitung. Kau akan mengalami penyiksaan dan kegilaan tanpa henti," katanya.
"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan alisku, merasa bingung dengan apa yang barusan dia katakan. "Penyiksaan? Kegilaan? Apa yang kau katakan sebenarnya? Siapa kau?!"
Tetapi pandanganku teralihkan disaat lantai di antara kami secara perlahan menghilang ditelan kegelapan. "A-Apa yang terjadi?" tanyaku bingung dan sedikit panik.
Lantai di depanku terus menghilang tertelan oleh kegelapan. Aku melangkah mundur, jantungku berdebar kencang. Aku mencoba menjauh dari kegelapan yang semakin mendekat. Sosok pria itu tetap berdiri di seberang dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh lantai yang perlahan tertelan kegelapan di antara kami.
"Jangan panik," ucapnya dengan suara yang tenang namun penuh misteri. "Ini hanyalah kehancuran dari mimpi yang akan aku ciptakan."
"Kehancuran mimpi? Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanyaku. Aku mencoba memahami situasi ini, tapi semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak bisa kukendalikan.
Iris mata berwarna birunya yang bersinar menatapku dengan intens. "Sejak awal, ini adalah mimpi yang aku buat. Aku menciptakan mimpi ini dengan menggunakan sisa kekuatanku agar bisa berbicara denganmu dan sepertinya mimpi ini akan mengalami kehancuran karena kekuatanku sudah mencapai batasnya."
Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba kegelapan itu menelan lantai di bawahku. Aku dengan sigap melompat ke belakang, mencoba menjaga jarak dari kegelapan tersebut, tapi kegelapan itu semakin melebar. "Tunggu! Apa yang harus kulakukan?!" teriakku, panik.
Sosok itu mengangkat tongkatnya, dan mengarahkannya kepadaku. Dengan suara yang lantang, dia berkata. "Percayalah pada dirimu sendiri! Hanya itu yang kau butuhkan," katanya. Dia melanjutkan ucapannya. "Kau akan memahami semuanya nanti. Tapi ingat, apa pun yang kau lihat, apa pun yang kau alami, jangan pernah kehilangan dirimu sendiri. Hanya kau yang bisa memutuskan apakah kau akan menyerah atau bertahan."
Sebelum aku sempat merespons, lantai di bawahku tertelan sepenuhnya. Aku terjatuh ke dalam kegelapan yang dalam, suara teriakanku tersedot oleh kehampaan di sekitarku. Aku merasa seperti terjatuh tanpa henti.
Semuanya gelap, sungguh gelap. Aku sudah berada di kegelapan yang terdalam, aku tidak bisa mendengar apapun bahkan suaraku sekalipun.
Tapi tidak lama setelah itu, terdengar suara wanita yang samar-samar. Seolah sedang memanggil diriku, perlahan suara itu semakin lama semakin terdengar jelas.
"Ka..."
"Kaka..."
"Kakak..."
"Kakak!!!"
"Huh?!" Mataku terbuka, perasaan takut dan gelisah masih menyelimutiku, dan tanpa disadari keringat sudah membasahi tubuh dan pakaianku.
Aku mendapati diriku berada di kasur yang lusuh.
Aku menarik nafas, lalu membuangnya. Terus mengulangi hal yang sama berulang kali untuk mencoba menenangkan diriku sendiri.
Kemudian mataku menatap ke seluruh sudut ruangan, sebuah ruangan yang berukuran sedang. Di sudut kiri ada area dapur kecil dengan beberapa peralatan masak dan pintu untuk ruangan kamar mandi. Di sudut tengah atau di hadapanku ada pintu keluar yang terhubung ke sebuah lorong umum. Lalu di atas atap ada lampu gantung yang menerangi ruangan ini di setiap sudutnya. Sementara itu, di sudut kanan. Sebuah cahaya pagi hari masuk melewati jendela kaca, dan cahayanya yang menghangatkan menyinari sebagian permukaan lantai dan lemari, meja serta kursi.
"Ini... kamarku," gumamku.
Seorang gadis sedang duduk di tepi kasur sambil menatapku dengan tatapan khawatir. "Apa yang terjadi padamu, kak? Sampai-sampai kau berkeringat seperti itu."
Gadis berambut hitam panjang, memiliki iris mata berwarna cokelat dan pupil berwarna hitam. Memiliki kulit yang seputih salju dan dia memakai sebuah kaos putih dengan rok hitam panjang.
Gadis ini adalah adikku yang selalu mengkhawatirkanku setiap saat, namanya Cerry Rusle. Dia berusia 17 tahun dan tahun ini dia bersekolah di tingkat SMA, angkatan tahun ketiga—Sementara aku berusia 21 tahun dan sudah lulus SMA tiga tahun yang lalu.
Ibu kami meninggal sepuluh tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas, sementara ayah kami pergi dari rumah dan keberadaannya tidak diketahui sampai sekarang sejak tujuh tahun yang lalu.
Kami berdua tinggal bersama dengan menyewa satu kamar di sebuah apartemen, alasan kenapa kami menyewa kamar. Karena tahun kemarin, rumah lama kami sudah aku jual untuk ditabung agar bisa membiayai Cerry ke universitas impiannya.
Untuk biaya sewa dan kebutuhan lainnya, masih bisa aku tanggung sendiri. Karena sekarang, aku bekerja di sebuah kafe yang lumayan terkenal di kalangan masyarakat kota ini dan gajinya lumayan untuk kebutuhan hidup kami. Sebenarnya, aku bisa saja meminjam uang ke kerabat terdekat keluargaku. Tapi mereka selalu menutup pintu rumah mereka dari kami. Jadi mau tidak mau, aku harus berjuang sendiri untuk keluargaku, untuk adikku yang aku sayangi.
Aku menjawab pertanyaan Cerry sebelumnya. "Aku baru saja bermimpi lagi, Cerry. Sama seperti lima tahun yang lalu..."
"Mimpi... jangan-jangan itu mimpi aneh yang seperti dulu?!"
Aku mengangguk perlahan. Ini adalah mimpi aneh kedua yang sudah terjadi kepada diriku. Mimpi pertamaku terjadi lima tahun yang lalu, saat aku masih berada di bangku sekolah tingkat SMA, angkatan tahun ketiga, semester dua awal. Dan anehnya, mimpi aneh itu terjadi lagi lima tahun setelahnya. Hanya saja latar dan situasinya berbeda dari sebelumnya, yang kedua ini agak santai dan tenang daripada mimpi pertama yang agak sedikit agresif dan mencekam.
Untung saja aku tidak koma lagi seperti saat bermimpi aneh yang pertama kali. Karena mimpi aneh pertamaku dulu, aku mengalami koma selama lima bulan. Tapi untungnya aku bisa terbangun, padahal saat itu rasanya baru lima hari di mimpi aneh pertama.
Karena kejadian itu juga, aku diharuskan untuk mengulang kelas kembali, dan lulus di tahun selanjutnya. Kemudian aku tidak melanjutkan pendidikanku, dan mulai mencari kerja. Kebetulan ada sebuah kafe yang kekurangan pekerja, jadi aku melamar ke kafe tersebut dan diterima dengan baik oleh pemiliki kafe tersebut.
"Iya, Cerry. Sepertinya aku bermimpi aneh itu lagi," kataku. "Tapi kali ini mimpinya lebih santai dan tenang, dan untungnya tidak membuatku tertidur lama."
Cerry menatapku, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang lebih dalam. "Untunglah kakak tidak mengalami koma lagi, aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali," Ucapnya. "Apa kakak tidak ingin cerita apa yang terjadi? Mungkin aku bisa membantu."
Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata untuk menjelaskan apa yang kualami. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengerti? Sosok pria misterius itu, mimpi yang hancur, kegelapan yang menelan segalanya ... Semuanya terasa begitu nyata, tapi sekaligus tidak masuk akal!
"Aku... aku tidak yakin," akhirnya aku menjawab. "Ada seseorang yang berbicara padaku, tapi sepertinya dia bukanlah manusia. Dia bilang... hidupku akan penuh dengan rintangan, penyiksaan, dan kegilaan. Dan kemudian semuanya hancur, aku terjatuh ke dalam kegelapan."
Cerry mendekat, memegang tanganku dengan erat. "Kakak, itu cuma mimpi. Tidak ada yang akan menyiksamu. Aku di sini, kita akan selalu bersama-sama. Kita selalu bisa melewati semuanya, kan?"
Aku menatapnya, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang masih menggerogoti pikiranku. Gadis ini, adikku, selalu menjadi sumber kekuatan bagiku. Tapi kali ini, entah mengapa, kata-katanya tidak cukup untuk menghilangkan rasa takut yang mengendap di dalam hatiku.
Aku menghela napas lagi, mencoba menjelaskan perasaan yang sulit diungkapkan. "Tapi sepertinya... ada sesuatu yang mengintai di luar sana. Sesuatu yang gelap, yang tidak kita ketahui. Dan itu... itu akan datang untuk kita atau untuk umat manusia."
Cerry terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kakak, mungkin kakak terlalu lelah. Sudah seminggu ini kakak tidak tidur nyenyak karena mendapatkan shift malam di kafe, kan?. Bagaimana kalau kita cari cara untuk rileks? Mungkin kita bisa jalan-jalan sebentar, atau... atau kita masak sesuatu bersama untuk sarapan. Apa pun yang bisa membuat kakak merasa lebih baik."
Aku terdiam sejenak. Meskipun perasaan tidak nyaman itu masih ada, mungkin Cerry benar, mungkin aku hanya butuh istirahat dan sedikit distraksi.
Tapi di sudut pikiranku, suara pria misterius itu masih bergema.
"Percayalah pada dirimu sendiri. Hanya itu yang kau butuhkan."
Suara sialan itu lagi ...
Suara yang terus mengganggu pikiranku ...
Aku menggigit bibir, mencoba mengusir suara itu dari kepalaku. "Baiklah," akhirnya aku setuju. "Ayo kita masak sesuatu. Apa kau punya ide?"
Cerry tersenyum lebar, wajahnya langsung bersinar. "Aku punya resep baru yang aku lihat di internet! Tapi kakak harus janji tidak akan protes kalau hasilnya aneh, ya!"
Aku tertawa kecil. "Janji. Tapi jangan sampai meracuni diri sendiri, ya."
Kami berdua tertawa, dan untuk sesaat, kegelisahan itu seolah menjauh. Tapi di dalam hati, aku tahu ini hanya sementara. Sesuatu yang bersembunyi di kegelapan sedang menunggu.
...