"Ke mana saja kau selama ini?"
Dia bertanya lagi sebelum Lee-yeon bisa menjawab pertanyaan pertamanya.
"Satu-satunya wajah yang kuingat hanyalah milikmu. Tapi aku tidak bisa membuka pintu."
Dia mengerang. Kebingungan dan ketidaktahuan memenuhi matanya.
Pintu di lantai dua, tempat Lee-yeon biasa masuk ke kamarnya, memang tidak bisa dibuka dari dalam.
Kwon Chae-woo telah menghancurkan pintu belakang dan merangkak keluar, persis seperti saat Lee-yeon masuk ke dalam kamar itu. Saat dia mengingat kembali semua kejadian itu, tubuhnya merinding.
Kwon Chae-woo tidak normal.
Dia terbangun setelah tidur selama dua belas hari, seluruh tubuhnya basah oleh keringat, kotoran, dan darah. Namun, masih ada harapan.
Sebuah tanda bahwa ini mungkin terakhir kalinya.
Secara naluriah, sebuah ide terlintas dalam pikirannya.
Ini saatnya.
"Aku… tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Lee-yeon pura-pura tidak tahu apa-apa.
Pria itu memiringkan kepalanya dan mengerutkan kening.
"Mungkin kau hanya mengalami mimpi panjang yang sangat nyata," lanjutnya. "Aku dokter yang merawatmu, dan…"
Hatinya terasa perih karena kebohongannya sendiri.
"Ini adalah peternakan kepala desa. Kita harus segera pergi. Aku akan mengganti rugi untuk ayam itu."
Pria itu masih mengerutkan kening, menatap Lee-yeon dalam diam.
"Kwon Chae-woo, kau sadar bahwa selama ini kau hanya tertidur, bukan?"
"Kau sangat sakit dan tidak sadarkan diri. Wajar jika kau merasa bingung. Tapi jangan khawatir."
"Kau hanya bermimpi. Sekarang kau sudah terbangun."
Lee-yeon menekankan kata bermimpi sejelas mungkin.
"Semua yang kau pikir telah kau lihat atau dengar hanyalah permainan otakmu. Itu hanyalah mekanisme bertahan hidup. Kau butuh istirahat. Setelah itu, kau akan merasa lebih baik."
Namun, ada satu hal yang luput dari perhatiannya.
Rencana untuk menyebut semuanya sebagai 'mimpi' bisa saja menjadi bumerang.
"Mimpi?"
Kwon Chae-woo perlahan menjilat darah yang masih menempel di bibirnya. Tatapannya tampak lebih tajam dari sebelumnya, seolah kesadarannya benar-benar telah kembali.
"Begitu rupanya."
Dia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah tubuh bagian bawah Lee-yeon.
"Kalau itu hanya mimpi, kau tidak akan berdiri di sini seperti ini."
Lee-yeon mengernyit dan menunduk, melihat ke arah yang ditunjuknya.
Namun, sebelum dia bisa menyadari sesuatu, suara rendah pria itu kembali terdengar di telinganya.
"Selama aku tertidur, satu-satunya hal yang aku impikan adalah berhubungan seks dengan istriku."
Darah mengalir deras ke wajah Lee-yeon.
Dia tidak bisa menjawab.
"Aku ada di dalam dirimu, keluar-masuk di antara kakimu."
Lee-yeon hampir berteriak.
Seluruh tubuhnya menegang mendengar kata-kata itu.
"Jadi, aku tidak salah."
"Aku ingat semuanya dengan jelas."
Lee-yeon mundur selangkah tanpa sadar.
Apa dia benar-benar ingat semuanya? Hari ketika kami bertemu di gunung…
"Aku memiliki seorang istri."
Suara rendahnya bergema di udara malam.
Dia melangkah maju, mendekatinya perlahan.
"Dan sekarang dia sedang mencoba melarikan diri dariku."
Langkahnya teratur, tidak terlalu cepat, tapi juga tidak terlalu lambat.
Lari, Lee-yeon.
Lee-yeon ingin berlari.
Namun, kakinya bergetar.
Ini perangkap yang ia buat sendiri. Tapi kini, dialah yang terjebak di dalamnya.
Ketika pria itu hampir bisa menyentuhnya, Lee-yeon akhirnya berhasil menarik dirinya pergi.
"Kau ingin meninggalkanku hanya karena suamimu sekarang hanyalah pria sakit yang tidak berguna?"
Dia bukan orang bodoh.
"Siapa namamu? Jangan membuatku mengulang pertanyaan."
"A-aku… aku So Lee-yeon," akhirnya dia menjawab.
"So Lee-yeon. Lee-yeon."
Kwon Chae-woo menjilat bibirnya, menelan namanya bersamaan dengan darah yang masih melekat di sana.
"Kenapa kau mencoba meninggalkanku? Apa aku jadi tak berguna bagimu hanya karena tubuhku tak bisa digunakan dengan baik?"
Sesuatu terasa salah.
Seperti ada sesuatu yang menjerat pergelangan kakinya erat-erat.
Lee-yeon tidak bisa memastikan apakah itu belenggu, gravitasi rawa, atau ekor monster yang mengincarnya.
Namun, satu hal yang ia yakini tanpa ragu: dia sedang dalam bahaya.
Tubuhnya merespons naluriah—bersiap untuk kabur.
"Kwon Chae-woo, bukan itu yang aku—"
"Bukan?"
Kini keadaan benar-benar berbalik.
Lee-yeon hanya bisa menggenggam jemarinya erat-erat, berusaha mencari alasan yang cukup masuk akal.
"Istri yang bahkan tidak kau ingat tiba-tiba muncul di hadapanmu. Aku pikir itu akan berdampak buruk padamu. Aku takut kau akan merasa tidak nyaman dan kewalahan. Jadi, itulah alasan aku…"
"Jadi, kau melakukan itu demi keselamatanku?"
Suaranya begitu datar, kosong dari emosi, hingga Lee-yeon mulai meragukan dirinya sendiri.
Namun, dia tetap teguh pada alasan itu dan mengangguk yakin.
"Omong kosong."
"Kenapa kau melakukan sesuatu yang bahkan tidak aku minta? Aku tidak menginginkan itu."
Sejak sadar, Kwon Chae-woo selalu berbicara dengan nada sopan.
Namun, kali ini, meskipun nada suaranya tetap tenang, ada sesuatu yang jauh lebih mengancam di baliknya.
"Kau bilang kita menikah secara hukum, tapi tiba-tiba kau ingin menyingkirkanku?"
Lee-yeon bisa melihat sorot matanya berkilat di kegelapan.
"Seseorang merobek segala ingatan di dalam kepalaku, tapi satu-satunya wajah yang kuingat adalah milikmu."
"Aku pasti benar-benar suamimu."
"Aku hampir kehilangan akal saat menyadari kau ingin meninggalkanku."
Itu karena kau memang iblis sejak awal.
Lee-yeon ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Aku benar-benar mati kali ini…
Namun, Lee-yeon tidak boleh goyah.
Dia harus tetap tenang. Jika tidak, situasi ini bisa menjadi jauh lebih buruk.
Tapi Kwon Chae-woo belum selesai menginterogasinya.
Aura mengancam yang ia pancarkan begitu alami.
Namun, kelemahannya adalah satu—dia tidak mengingat apa pun.
Lee-yeon seharusnya bisa mengendalikan situasi ini, memanfaatkannya.
Namun, justru ia yang kini terjebak dalam perangkapnya sendiri.
"Kurasa aku sangat mencintaimu."
Tidak, kau tidak mencintaiku, dasar idiot! Kau mencoba membunuhku!
Rencananya berantakan total.
Dan kini, niat membunuhnya telah berubah menjadi cinta.