"APA?!" suara Choo-ja menggelegar.
Lee-yeon tersentak.
"Apa kau gila?! Apa kau benar-benar sudah kehilangan akal?!"
Tangan Choo-ja hampir saja melayang ke punggung yang tadi ia tepuk-tepuk.
Lee-yeon langsung melompat dari sofa dan mundur, bersembunyi di baliknya.
"Dia tidak ingat apa pun! Dia kehilangan ingatannya! Aku tidak punya pilihan, begitu dia sadar, dia langsung memelukku erat! Aku takut, jadi aku berbohong padanya agar dia tidak membunuhku!"
"Kau tidak bisa menyembunyikan kebenaran selamanya!" bentak Choo-ja.
"Kau tidak tahu apa pun, Choo-ja! Pria itu… dia sedang mengubur seseorang hidup-hidup! Dia tipe orang yang bisa membunuh hanya karena kau menatapnya!"
Suara Lee-yeon bergetar ketika ingatan mengerikan itu kembali menghantuinya.
"Aku takut. Bagaimana kalau dia menyeretku dan menguburku juga?!"
Choo-ja menutup mulutnya, terkejut.
"Astaga…"
"Aku harus memikirkan sesuatu! Apalagi jika yang kuhadapi adalah monster sepertinya."
Lee-yeon meletakkan tangannya di pinggang, berdiri dengan wajah keras kepala.
Mata Choo-ja menangkap kilatan kegelisahan di balik mata Lee-yeon yang masih berkaca-kaca.
"Aku hanya ingin hidupku kembali. Aku sudah bekerja keras selama ini."
Suaranya bergetar.
Choo-ja menghela napas.
Lee-yeon bukan tipe orang yang mudah menyerah.
Ia hanya menginginkan kehidupan yang tenang dan damai.
Namun, ketakutan kehilangan kendali atas hidupnya membuatnya seperti ini.
"Lalu bagaimana kalau dia tahu semuanya?" gumam Lee-yeon.
"Aku hanya perlu menangkap pelaku yang sebenarnya."
Choo-ja mengerutkan dahi.
"Kalau begitu, semuanya akan kembali seperti semula," lanjut Lee-yeon, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Ia tampak seperti hantu, dengan rambut panjangnya yang berantakan.
Saat itu, malam itu, pikirannya hanya terpusat pada gergaji di tangannya.
Pasti pukulannya cukup keras hingga membuat pria itu menjadi koma.
Lee-yeon tahu bahwa segalanya berawal dari momen itu.
Hidupnya mulai kehilangan kendali sejak saat itu.
Ia tidak ingin dikendalikan.
Ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali hidupnya—tanpa harus terseret dalam masalah lebih lama lagi.
Pria itu bisa saja mencurigainya dan mencelakainya.
Untuk menjaga semuanya tetap terkendali, ia harus berbohong dan mengatakan bahwa mereka sudah menikah.
Jika ia ingin pria itu melakukan apa yang ia inginkan, maka pria itu harus percaya bahwa Lee-yeon adalah seseorang yang dekat dengannya—seseorang yang tidak akan ia sakiti.
Tapi bagi Choo-ja, semua ini terdengar tak masuk akal.
"Kau tidak mengerti bagaimana hubungan antara pria dan wanita bisa berkembang dan berubah begitu cepat. Kau tidak tahu betapa melelahkannya terjebak dengan orang yang salah. Apalagi seorang pembunuh!"
Choo-ja memijat pelipisnya.
"Aku tidak tahu. Aku tidak mau terlibat dalam urusan ini."
"Tolong!" pinta Lee-yeon. "Tolong pura-pura saja kalau aku memang istrinya, dan kau tahu semuanya. Kumohon!"
Choo-ja menutup matanya, frustrasi.
Pernikahan?
Ia sudah menikah lima kali.
Tiga dari suaminya telah meninggal, dan ia telah meratapinya.
Namun, ada sesuatu yang aneh tentang pria ini.
Mengapa seseorang dengan kekayaan dan kekuasaan sepertinya malah berada di desa terpencil ini, bukannya di rumah sakit mewah di Seoul?
Dan kenapa kakak laki-lakinya memaksa Lee-yeon untuk merawatnya?
Di mana orang tuanya?
Sebelum Choo-ja bisa menemukan jawaban, sebuah suara memanggil.
"Lee-yeon?"
Mata Choo-ja melebar mendengar suara yang asing itu.
Suara yang begitu serius.
Suara yang menuntut perhatian siapa pun yang mendengarnya.
Ia menoleh.
Seorang pria melangkah menuruni tangga dari lantai dua.
"Halo, menantuku."
***
"Aku belum pernah mendengar ada rumah sakit khusus untuk pohon."
Kwon Chae-woo perlahan melihat sekeliling ruangan.
Lee-yeon terus mengayun tubuhnya maju-mundur, seolah berusaha keras menahan diri agar tidak melarikan diri dari pria yang duduk di sofa di depannya.
Sementara itu, Choo-ja mengamati Kwon Chae-woo dengan seksama.
Ia memiliki puluhan tahun pengalaman membaca karakter seseorang. Sejak belajar fisiognomi dari biksu favoritnya, ia tidak pernah salah menilai seseorang.
Apakah pria ini benar-benar orang yang mengubur seseorang hidup-hidup?
Ia tampak begitu berwibawa dan tampan.
Tidak ada cela dalam ekspresinya yang dingin dan rapi.
Mata panjang dan lurusnya terlihat hangat dan lembut—tidak mencerminkan sosok seorang pembunuh.
Bahkan ada sesuatu yang mewah dalam dirinya.
Dia pasti lahir dari keluarga kaya.
Choo-ja berpikir, Kalau dia hanya sekadar pembunuh biasa, aku pasti kecewa. Setidaknya dia harus berada di posisi yang punya otoritas dan kekuasaan.
Tiba-tiba, Kwon Chae-woo menundukkan pandangannya.
"Ibu," panggilnya dengan suara rendah dan sopan.
Ucapannya terdengar kaku, seolah ia tidak terbiasa menggunakan kata itu.
"Bolehkah saya pindah ke sana? Saya ingin duduk di samping Lee-yeon."
Choo-ja terkejut.
Biasanya ia selalu tenang dalam situasi apa pun.
Tapi kali ini, ia kehilangan keseimbangan sesaat.
Lee-yeon juga membeku di tempat.
Ketika keduanya tak segera menanggapi, Kwon Chae-woo menatap mereka dengan pandangan bertanya-tanya.
Lee-yeon akhirnya menyerah. Ia bergerak ke sisi lain sofa, membiarkan pria itu duduk di sampingnya.
Kwon Chae-woo langsung terlihat lebih rileks.
Mata tajamnya dipenuhi kelegaan.
"Um… Kwon Chae-woo," Lee-yeon akhirnya berbicara, suaranya terdengar sedikit ragu. "Choo-ja bukan ibuku. Dia hanya staf di sini. Dia sudah mengenalku selama lima belas tahun. Mungkin dia memanggilmu 'anak' hanya karena dia merasa nyaman denganmu."
Pria itu diam sejenak, sebelum menatapnya dengan tajam.
"Kenapa kau memanggilku dengan nama lengkap?" tanyanya.
"Hah?"
"Aku ingin kau juga merasa nyaman denganku."
Lee-yeon terdiam.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Sementara itu, Choo-ja hanya bisa menghela napas panjang dan mengusap keningnya.
Mungkin karena kehilangan ingatannya, pria ini hanya bisa melihat Lee-yeon sekarang…