Proyek Dome. Kebun botani terbesar di Korea akan dibangun di Hwaido.
Berbagai atraksi seperti air terjun buatan, rumah kaca berbentuk kubah tropis, taman ekologi luar ruangan, taman gantung, dan replikasi hutan hujan tropis merupakan proyek publik yang sedang diupayakan oleh Kota Hwayang untuk menjadi destinasi wisata. Para direktur dari berbagai rumah sakit pohon yang berkumpul untuk mengikuti lelang kompetitif tidak dapat menyembunyikan ekspresi serakah mereka saat melihat simulasi udara 3D Hwaidome. Namun, begitu presentasi panjang pembicara berakhir, ruang konferensi langsung dipenuhi dengan suara gaduh.
"Apa yang barusan Anda katakan?"
Seseorang menekan tombol mikrofon yang terpasang di meja panjang. Sang direktur merespons secara mekanis tanpa sedikit pun emosi. "Saya bilang, kami akan mengadakan lelang kompetitif melalui kontes terbuka."
Keheningan kembali menyelimuti ruang konferensi. Semua orang tampak bingung dan tercengang.
"Maksud Anda... kami harus mengikuti audisi?" salah satu peserta bertanya dengan nada marah yang hampir tak bisa ia tahan. Ketidaksenangan itu jelas terlihat di wajah semua orang.
Meski mendapat reaksi penuh permusuhan, sang direktur tetap melanjutkan dengan nada datar yang sama. "Ada masalah? Kami ingin mempercayakan pekerjaan ini kepada dokter pohon terbaik. Tanaman yang akan diperkenalkan ke dalam Hwaidome adalah pohon-pohon paling langka dan paling mahal di dunia. Kami harus memastikan bahwa orang terbaiklah yang mendapat pekerjaan ini. Kami tidak ingin penipu dan pemalas mendapatkan proyek ini hanya karena pengaruh uang."
Lee-yeon tersentak mendengar kata-kata kasarnya. Bahkan Direktur Rumah Sakit D, yang biasanya paling percaya diri, tampak mengernyit seolah-olah ini semua tidak masuk akal.
Sebaliknya, sang direktur tetap tenang dan melanjutkan, "Kontes terbuka ini akan diadakan dalam format turnamen."
Bagi para pejabat publik, proyek sebesar ini akan sangat melelahkan dan memakan waktu. Namun, karena pedoman pemerintah terkait Green New Deal, kepedulian terhadap alam harus dijadikan sebagai strategi pemasaran utama.
"Karena akan dibuka pada Hari Arbor¹ berikutnya, turnamen ini juga akan ditampilkan dalam video promosi. Harap dicatat bahwa kru film dokumenter akan hadir selama kompetisi berlangsung."
Kemudian, sang direktur menambahkan hal yang paling ingin didengar oleh semua orang. "Rumah sakit yang terpilih di babak final akan mendapatkan kontrak 10 tahun dengan Hwaidome."
10 tahun?! Lee-yeon tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sekali lagi, ruang konferensi meledak dengan suara percakapan yang gaduh.
Kebun botani terbesar di Korea. Pohon-pohon paling langka dan mahal. Ini adalah kontrak yang akan membawa arus pelanggan yang besar serta pemasukan tahunan yang menguntungkan.
***
"Jadi, kau akan mengikutinya?" tanya Kwon Chae-woo, melirik ke arah Lee-yeon.
Lee-yeon memasuki kafe terdekat, sepanjang waktu menundukkan kepalanya. Ia merasa kelelahan setelah berada di tengah-tengah emosi yang berubah-ubah dengan cepat di ruang konferensi. Bahkan dalam kelelahan itu, ia bisa merasakan tatapan pria itu padanya.
"Akan ada kamera…."
Choo-ja ingin memprotes, tapi ia menahan diri. Namun, Kwon Chae-woo tidak. "Apa masalahnya dengan kamera?"
Ia tidak ingin melewatkan apa pun jika itu menyangkut dirinya. Lee-yeon menatapnya dan menghela napas. "Hanya saja… aku ingin hidup dengan tenang. Jika wajahku muncul di acara TV, segalanya bisa jadi kacau." Ia mengangkat bahu seolah-olah itu bukan masalah besar, tapi ekspresinya berkata lain. Kwon Chae-woo mengangguk, tapi ia tahu bahwa So Lee-yeon merasa ragu akan sesuatu.
"Hei, Direktur So!" panggil suara yang benar-benar ia benci.
Lee-yeon mengerutkan kening, tapi dengan cepat menyembunyikan rasa jengkelnya dan bangkit dari kursinya untuk menyapa. "Halo."
Lee-yeon mengerutkan kening, tetapi dengan cepat menyembunyikan kejengkelannya dan bangkit dari kursinya untuk menyapa. "Halo."
"Lama tak bertemu! Kita tinggal di daerah yang sama, tapi jarang sekali berpapasan," ujar Direktur Rumah Sakit D, Jo Kyung-cheon. Pria berusia 60 tahun itu masih memiliki rambut yang tebal, yang dulunya adalah atasan Lee-yeon.
Melihat wajahnya saja sudah cukup menguras energi Lee-yeon, baik secara mental maupun fisik. Ia meratapi nasib buruknya yang harus bertemu pria itu lagi. Ada begitu banyak alasan mengapa ia membenci Jo Kyung-cheon dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Ayo, saling menyapa. Kalian berdua juga sudah lama tidak bertemu, kan?" ujar Direktur Jo sambil menepuk punggung muridnya dengan lembut dan mendorongnya ke depan.
Lee-yeon mengepalkan dan mengendurkan telapak tangannya secara bergantian. Sebelum pindah ke Hwaido, ia pernah tinggal di Seoul, di sebuah kamar sempit berukuran 12 meter persegi. Sekadar memikirkan ruangan kecil yang pengap itu saja sudah membuatnya merasa sesak. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi tidak nyaman.
"Aku memanggilnya ke Hwaido. Kalian berdua dulu berteman baik, bukan? Kalian harus akur. Saling mengenal lebih dalam. Anak muda seharusnya lebih banyak bersosialisasi, bukan hanya menghabiskan waktu dengan pohon sepanjang hari."
Jo Kyung-cheon memang tidak pernah memiliki rasa hormat atau tata krama, sama seperti dulu. Mungkin, baginya, hidup menjadi lebih mudah dengan semena-mena terhadap orang lain dan membuat hidup mereka jadi tidak nyaman.
Muridnya, Hwang Jo-yoon, tampak canggung. Ia masih terlihat seperti seorang kutu buku. Dengan ekspresi muram, ia mengusap alisnya yang tipis. "Lee-yeon, sudah lama ya..."
"Ya," jawab Lee-yeon singkat. "Bagaimana kabarmu?"
Setelah basa-basi selesai, ia langsung membalikkan badan, enggan berlama-lama.
Sebelum pindah ke Hwaido, Lee-yeon pernah menjalani magang praktik selama lima tahun di bawah bimbingan Jo Kyung-cheon. Setelah lulus dari akademi junior, ia harus memulai dari bawah di rumah sakit pohon itu. Tak perlu dikatakan, orang-orang yang baru memulai sering diperlakukan seperti sampah, bahkan tidak dianggap layak mendapat penghormatan dasar sebagai manusia. Lee-yeon telah mengalami banyak penderitaan. Sementara itu, Hwang Jo-yoon adalah murid kesayangan Jo Kyung-cheon.
Sejak masa kuliahnya, ia sudah dikenal sebagai salah satu mahasiswa elit terbaik. Namun, di luar prestasinya, ia sering membuntuti Lee-yeon setiap ada kesempatan. Sebagai seseorang yang tidak punya apa-apa, Lee-yeon merasa seperti terus diawasi olehnya. Ketika ia melihat tatapan tajam dan mengerikan Jo-yoon mengintip dari jendela rumah semi-basemennya, ia langsung melaporkannya ke rumah sakit. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—bukan Jo-yoon yang dihukum, melainkan Lee-yeon yang dipecat.
"Sementara kalian berbincang, aku akan—" Mata Jo Kyung-cheon beralih ke Choo-ja.
Choo-ja segera berdiri dan melirik Lee-yeon sambil mengedipkan mata secara diam-diam. Itu adalah kode bahwa ia akan mencoba menggali informasi sebanyak mungkin.
Lee-yeon sangat bersyukur. Akhirnya, ia bisa bernapas sedikit lega.