Byur—
Suara air yang terpecah kini terdengar begitu menegangkan. Ini gila! Benar-benar gila! Setelah masuk ke dalam bak mandi, Lee-yeon membalikkan punggungnya ke arah pintu dan menatap dinding. Meskipun dia yang berusaha menipunya, justru dirinya yang merasa kalah.
―Tok, tok.
Seseorang mengetuk pintu kamar mandi.
"M-masuklah." Jantungnya berdegup kencang. Dua tahun lalu, dia menyaksikan pria ini mengubur seseorang hidup-hidup di gunung. Dia juga nyaris dibunuh olehnya!
Apa ini benar-benar baik-baik saja? Aku ingin menghapus momen ini. Uap panas di kamar mandi membuat kepalanya semakin pusing.
"Lee-yeon."
Suara yang memanggil namanya itu sudah mulai terasa akrab. Dia dikelilingi udara hangat dan air panas, tetapi tetap saja ada rasa dingin yang menyelusup ke dalam hatinya. Kwon Chae-woo menarik kursi lebih dekat ke bak mandi.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya."
"Hanya punggung yang ingin kau bersihkan?"
"Y-ya!" Lee-yeon sengaja membuat busa semakin banyak agar air dalam bak lebih berbuih.
Sejak Kwon Chae-woo masuk ke kamar mandi, dia hanya berani menatap dinding. Dia lebih memilih membelakanginya daripada harus berhadapan langsung dengannya, yang bisa membuat pria itu melihat bagian tubuhnya yang lain.
"Kau memakai celana dalam?" Terdengar tawa samar darinya.
"Apa?! Kau bisa melihatnya?" Lee-yeon tersentak kaget. Dia segera membuat gumpalan busa lebih banyak untuk menyembunyikan tubuhnya. Tatapan pria itu terasa begitu intens.
"Kau mengenakannya karena merasa malu?"
"Seharusnya kau yang lebih malu dariku! Kau tidak punya ingatan sama sekali. A-aku sudah cukup terbiasa dengan ini, tapi aku khawatir ini mungkin membuatmu tidak nyaman melihatku seperti ini…"
"Begitu ya?" Kwon Chae-woo tiba-tiba memasukkan tangannya ke dalam air, membuat Lee-yeon refleks menegang. Punggungnya kaku. Kata-katanya bertolak belakang dengan reaksinya.
"Kenapa kau bertingkah begitu menggemaskan, Lee-yeon?"
Dia hanya bisa menebak gerakan pria itu berdasarkan suara yang didengarnya. Itu justru membuatnya semakin gugup.
"Kenapa kau masih bersikap terlalu mempertimbangkan banyak hal?" Pria itu tertawa kecil, terdengar main-main. Tangannya masih berada di dalam air. Lee-yeon ingin berbalik dan menatapnya, tetapi dia tidak punya pilihan. Dia tidak ingin memperlihatkan bagian depannya.
Di sisi lain, Kwon Chae-woo juga tidak setenang yang ia tunjukkan. Saat melihat punggung Lee-yeon yang ramping, dia merasa dorongan kuat untuk menyentuh kulitnya, membelainya. Tidak ada bagian dari tubuh wanita itu yang tidak menarik perhatiannya.
Jika aku menjadi serakah dan membiarkan nafsuku menguasai, apakah dia akan lari dariku? pikirnya. Tatapannya menyusuri punggungnya, tengkuknya, bahunya yang rapuh, hingga pinggangnya yang ramping.
Kwon Chae-woo merasakan desakan di bagian bawah tubuhnya. Dia sudah begitu tegang. Dia menyesali kehilangan ingatannya. Mungkin dulu dia diperbolehkan menyentuh setiap inci tubuhnya. Dia bisa saja merentangkan kakinya dan menciumnya.
Keningnya berkerut. Dia ingin ingatannya kembali. Lee-yeon mengatakan mereka tidak cocok secara seksual, tapi tubuhnya berkata lain. Tidak pernah ada momen seperti ini di mana dia begitu ingin mengingat masa lalunya dengan putus asa.
"Lee-yeon, apa ini?" gumamnya saat jemarinya meluncur di kulit punggungnya, menelusuri bekas luka yang tersembunyi.
"Ambilkan handuk! Handuk!" seru Lee-yeon, tubuhnya gemetar saat disentuhnya.
Tapi Kwon Chae-woo hanya mengelus bekas luka itu dalam diam. Jemarinya berlama-lama di setiap guratan seakan ingin menyerap rasa sakit yang tersimpan di sana. "Kau pernah disiksa?"
"Itu bukan apa-apa." Sentuhannya membuatnya menggigil. Lee-yeon menoleh ke belakang, menatapnya dengan waspada.
"Itu bukan jawaban."
Lee-yeon menundukkan kepalanya di atas lututnya. Melihatnya seperti itu membuatnya merasa sedih. Ada dorongan liar dalam dirinya untuk menggigit tengkuknya, untuk menariknya ke dalam dekapannya. Segalanya terasa kacau dalam benaknya. Keinginan yang tak tertahankan berkecamuk dalam dirinya. Dia mendorong kursi ke belakang dan berdiri. "Siapa yang melakukan ini padamu?"
Luka adalah tanda dari kekerasan, pikir Kwon Chae-woo. Dia tidak butuh ingatan untuk memahami itu. Luka-luka itu terlihat seperti bekas tusukan benda tajam—mungkin ujung pena, gunting, atau bahkan sesuatu yang lebih buruk. Keningnya semakin mengerut.
"Kau tidak perlu memberitahuku jika tidak ingin," katanya pelan.
Lee-yeon menggeleng. Bukan karena dia tidak ingin, tetapi karena dia tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Ini semua sangat asing baginya. Tidak ada yang pernah bertanya tentang bekas lukanya. Tidak ada yang pernah benar-benar peduli pada kehidupannya. Jadi dia tidak tahu bagaimana harus merespons.
Orang-orang selalu menyalahkannya. Mereka menganggapnya anak bermasalah, anak yang tidak berguna—justru keluarganya yang paling menderita karenanya. Seiring waktu, dia mulai berpikir bahwa dia memang pantas menerima perlakuan itu.
Lee-yeon mencipratkan air ke wajahnya, berharap matanya yang terasa perih bisa mereda. "Keluargaku."
Kwon Chae-woo tetap diam. Kecurigaannya bahwa dirinya sendiri bukanlah pria yang lembut dan baik hati semakin menguat. Bagaimana jika dulu dia juga pernah melakukan hal yang sama sebelum kehilangan ingatannya? Bukan hanya luka, dia juga melihat bayangan memar yang sudah memudar di kulitnya.
"Tak apa. Kau tidak harus mempercayaiku," ujar Lee-yeon dengan suara pasrah.
"Aku percaya padamu." Jawaban itu langsung keluar dari mulutnya tanpa ragu. Bahunya menegang. "Keluargamu pasti sangat buruk sampai melakukan ini padamu."
"Aku tidak tahu… Mungkin mereka punya alasan."
"Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk memukul seorang anak sampai meninggalkan bekas luka." Rahangnya mengeras, menahan kemarahan yang bergejolak.
"Itu bisa terjadi bahkan jika mereka mencintai anaknya terlalu dalam."
Dari saat pertama dia bangun, Kwon Chae-woo selalu berusaha mendekatinya, layaknya binatang yang sedang kasmaran. Kini, rasa bersalah menghantamnya dengan keras. Dia bisa menebak alasan di balik ketakutannya terhadap sentuhan, atau segala bentuk kedekatan fisik. Tubuhnya membeku, seolah kebenaran menghantamnya seperti pukulan telak.
"Cinta bisa berubah menjadi kemarahan begitu cepat," kata Lee-yeon lirih. "Manusia berbeda dengan pohon. Mereka tidak mencintai tanpa syarat, meskipun mereka mengklaim sebaliknya. Ketika sesuatu menghasilkan buah yang buruk, manusia tidak akan bisa menerimanya."
Kwon Chae-woo menutup matanya rapat-rapat. Semuanya masuk akal. Dia akhirnya memahami alasan di balik sikap Lee-yeon. Dan dia tidak bisa menghilangkan pemikiran bahwa mungkin, hanya mungkin, dia sendiri dulu adalah bagian dari masalahnya. Ketakutan dalam mata Lee-yeon terhadapnya bisa jadi bukan hanya karena dirinya yang sekarang—tapi juga karena masa lalu mereka, karena pernikahan mereka yang mungkin telah melukainya lebih dari yang dia sadari.