"Lee-yeon, jangan bergerak."
"Huh?"
Rasanya seperti sedang berbaring di atas awan. Lee-yeon mengusap wajahnya dan menekan pipinya ke punggung Kwon Chae-woo.
"Lee-yeon." Sebuah suara familiar berbicara di dekat telinganya. "Kau tidak suka aku minum?"
Dengan alkohol yang menguasai pikirannya, Lee-yeon mulai tersenyum seperti anak kecil yang mabuk gula, tanpa menyadari bahwa ia sedang digendong oleh Kwon Chae-woo di punggungnya.
"Iya."
"Kenapa?"
"…Jika kau minum, aku takut kau akan mengingat semuanya."
Langkah Kwon Chae-woo yang awalnya tenang tiba-tiba terhenti. Senyum tipis di wajahnya seketika lenyap.
Kisah tentang pria yang berubah menjadi kasar dan bertindak seperti gangster saat mabuk sudah biasa seperti puntung rokok yang membusuk di jalanan. Kwon Chae-woo tidak melupakan bekas luka lama yang pernah ia lihat di tubuh Lee-yeon. Wajahnya menggelap saat memikirkan kemungkinan yang membuatnya merasa hina.
Saat Kwon Chae-woo hendak melanjutkan langkahnya untuk mengusir rasa malu dan bersalah, Lee-yeon kembali bergumam.
"Kau tahu? Hubungan ini tidak normal. Aku sudah memikirkannya berkali-kali, dan aku rasa ini gila. Aku pasti kehilangan akal waktu itu. Aku seharusnya tidak menerimanya…"
Setiap kata yang keluar dari mulut Lee-yeon seperti pisau yang semakin dalam menusuk hati Kwon Chae-woo. Itu adalah pikiran terdalam Lee-yeon yang selama ini ingin ia dengar. Namun, bukannya merasa puas, justru seolah ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya.
Ini adalah akhir yang menyedihkan. Lee-yeon menyesali pernikahan mereka.
"Apa kau ingin melarikan diri?"
"…Aku pernah memikirkannya, tapi aku tidak bisa. Bahkan jika aku ingin, aku tidak bisa, dan aku sudah seperti ini sejak kecil."
"Kau pernah mencoba kabur?"
"Tentu saja, aku bahkan pernah pergi ke kantor polisi."
Wajah Kwon Chae-woo mengeras. 'Apa yang sebenarnya telah terjadi sampai-sampai ia pergi ke kantor polisi?'
Membayangkan kemungkinan terburuk, Kwon Chae-woo menggertakkan giginya begitu keras hingga rahangnya terasa nyeri.
'Kwon Chae-woo, dasar bajingan!'
Ia menyalahkan dan mengutuk dirinya yang dulu—orang yang bahkan tidak bisa ia ingat—berulang kali. Seolah ingin memasukkannya ke dalam peti mati dan menguburnya dalam-dalam.
"Aku hanya… ingin semuanya berakhir suatu hari nanti."
Lee-yeon berbisik seperti seseorang yang telah pasrah pada takdirnya. Tak ada harapan atau gairah dalam suaranya yang lemah.
"Lee-yeon, apa kau pernah takut padaku?"
"…Iya."
"Apa kau ingin hidup tanpaku?"
"…Iya." Sebuah suara mengantuk bergumam lagi.
'Aku kehilangan ingatanku, tapi membuat Lee-yeon hidup dengan kenangan menyakitkan yang kutinggalkan. Kenapa aku tetap egois sampai akhir?'
"Apa aku pernah menyakitimu secara fisik?"
"Iya."
Tubuh Kwon Chae-woo menegang seketika mendengar jawaban yang keluar dari mulut Lee-yeon tanpa sedikit pun keraguan. Ia gemetar, bukan karena marah pada Lee-yeon, melainkan pada dirinya sendiri. Itu adalah momen di mana kecurigaannya berubah menjadi kenyataan.
"Secara teratur?"
"Aku rasa bukan hanya kepadaku, tapi juga kepada orang lain."
Kwon Chae-woo menutup matanya, menahan amarah yang menggelegak dalam dirinya. Dadanya terasa sesak, napasnya mendadak berat.
Namun—
'Jika ini adalah kesempatan. Jika aku diberi kesempatan kedua untuk menebus semua perlakuanku padanya…'
Alih-alih terus terjebak dalam masa lalu yang tak bisa diubah, Kwon Chae-woo mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mengubah hari esok dan hari-hari mendatang. Ia menggenggam Lee-yeon lebih erat, seakan tak ingin kehilangannya.
***
"Kenapa kau tidak membiarkanku mati saja? Seharusnya kau meludahi wajahku dan lari saat aku koma." Kwon Chae-woo berkata dengan nada mengejek, mencemooh dirinya yang dulu.
Ia sadar betapa dirinya adalah beban yang mengerikan bagi Lee-yeon. Jika saja Lee-yeon membuang beban itu, ia pasti bisa menjalani hidup yang bahagia. Lagipula, pasti ada banyak pria yang rela mengantre untuk menikahi wanita muda dan berbakat seperti Lee-yeon.
Tapi Kwon Chae-woo tanpa Lee-yeon—
—tidak akan pernah terbangun.
Dengan kata lain, mustahil baginya untuk menjalani kehidupan yang normal tanpa Lee-yeon.
Ia membutuhkannya.
Daripada hanya diam dan melihatnya pergi, Kwon Chae-woo ingin menebus semua kesulitan yang telah ia timbulkan. Ia ingin membuat Lee-yeon memilihnya, kembali kepadanya dengan keinginan sendiri. Bukan melalui paksaan, tetapi dengan keyakinan bahwa tempat yang paling aman dan nyaman bagi Lee-yeon adalah di sisinya, bukan di tempat lain.
"Bahkan jika kau melarikan diri saat itu, tak ada yang akan menyalahkanmu." Kwon Chae-woo berbicara dengan mata sayu, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.
"…Tapi, ada janji yang jelas di antara kita."
Ekspresi terkejut tergambar di wajah Kwon Chae-woo. Ia tetap diam dan mendengarkan.
"Itu adalah janji, kewajiban yang tidak bisa kuingkari. Itulah mengapa orang selalu menyuruhmu berpikir dua kali sebelum menandatangani kontrak… Meskipun aku menyesalinya, bahkan jika aku kembali ke masa lalu, aku tetap akan menandatanganinya."
"...."
"Saat itu, itu adalah satu-satunya cara."
Kwon Chae-woo tak bisa berkata apa-apa, seolah ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya. Ia tidak menyangka Lee-yeon akan menyebut kata janji—yang ia pikir mengacu pada sumpah pernikahan mereka—meskipun ia telah memperlakukan Lee-yeon dengan begitu buruk.
Janji itu… sesuatu yang lebih Lee-yeon hargai dibanding keselamatannya sendiri.
Seketika, perasaan memiliki menyelimuti Kwon Chae-woo. Hidupnya yang dulu terasa rapuh dan menyedihkan kini perlahan mulai terisi. Dan itu semua karena Lee-yeon.
"Lee-yeon, apa kau menyukaiku?"
Tak ada jawaban. Kwon Chae-woo mengguncang tubuhnya sedikit, tetapi Lee-yeon tetap diam.
Jawabannya baru datang saat mereka hampir sampai di rumah. Sebuah tangan menyentuh lehernya.
"…Jangan, jangan tanyakan itu."
Kalu aku benar-benar diberi kesempatan kedua—
Maka Tuhan ada di pihakku.
Sebuah senyum dingin muncul di wajahnya. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.