Chapter 53

Keringat menetes di tubuh Lee-yeon saat ia mendengar suara tombol kunci pintu ditekan dari luar.

“Bahkan dia tahu sandinya?” ejek Kwon Chae-woo, nada suaranya penuh sindiran.

Selama ini, setiap kali dokter datang, Kwon Chae-woo selalu dalam keadaan tidak sadar, atau Lee-yeon sendiri yang membukakan pintu. Itulah sebabnya, dokter yang kini berdiri di luar rumah tidak memahami mengapa kali ini pintu dalam keadaan terkunci.

Di dalam rumah, meskipun situasi begitu genting, Kwon Chae-woo tetap dengan sengaja mencium dan mengisap leher Lee-yeon.

Warna wajah Lee-yeon memudar. “Hentikan! Hentikan! Apa kau mendengarku?!”

“Tidak.”

Lee-yeon terdiam karena terkejut dengan keberaniannya.

Saat itu juga, terdengar bunyi peringatan dari sistem kunci elektronik—tanda bahwa kata sandi yang dimasukkan salah. Namun sang dokter tak menyerah, ia kembali menekan tombol-tombol angka.

Lee-yeon merasa panik.

“Aku bilang berhenti!”

Karena permintaannya tak diindahkan, kali ini ia menepuk kepala Kwon Chae-woo ringan sebagai bentuk peringatan.

Ia mengangkat alis, ekspresinya sulit ditebak.

“Kalau aku berhenti…”

“Apa?”

“Apa yang akan kau lakukan untukku, jika aku benar-benar berhenti sekarang?”

“Kau serius bertanya itu?” Lee-yeon menaikkan alisnya, tidak percaya.

Ketukan halus terdengar dari luar. Namun bagi Lee-yeon, itu terdengar seperti tekanan yang luar biasa.

Ia mencoba berpikir cepat untuk mencari cara keluar dari situasi ini. Namun sebelum sempat bertindak, ia malah berteriak karena Kwon Chae-woo kembali menyentuh bagian pribadinya.

“Baik!” serunya tergesa, mencoba mengatur napas yang kacau. “Aku akan melakukan apa pun yang kau mau, asal jangan menyentuhku!”

“Apa pun?” Kwon Chae-woo menyeringai.

Lee-yeon mengangguk cepat, matanya melirik ke arah pintu. Ia tersentak ketika pria itu tersenyum kecil dan menarik seluruh tangannya dari tubuhnya. Sesaat setelah ia berdiri, pintu depan terbuka—dan dokter masuk.

Lee-yeon membeku. Ia tidak sempat menutupi bagian bawah tubuhnya. Tetapi Kwon Chae-woo bergerak cepat, meraih selimut dan menutupi tubuhnya sepenuhnya. Ia mengangkat Lee-yeon seperti menggendong seorang putri.

Dokter itu terpana. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya tersendat, “U-uuh…”

Namun saat itu, seluruh tubuh Lee-yeon telah tertutup rapat oleh selimut—tidak satu helaipun terlihat.

Dengan sorot mata tajam, Kwon Chae-woo menatap sang penyusup. Lalu, dengan suara dingin ia berkata:

“Apa Anda tidak diajarkan etika dasar saat sekolah dasar?”

Dengan sengaja, ia memulai pertengkaran saat turun tangga. Di sisi lain, dokter merasa linglung. Pikirannya kosong, terus-menerus terbayang celana panjang dan celana dalam renda milik Lee-yeon yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur.

***

“Kau harus menurunkanku sekarang juga!” teriak Lee-yeon saat Kwon Chae-woo terus menggendongnya. Mereka sudah kembali ke kamar beberapa saat lalu.

Bagian dalam selimut terasa panas dan pengap. Tatapan mata mereka akhirnya bertemu ketika selimut yang menutupi kepala Lee-yeon perlahan melorot ke bawah.

Kwon Chae-woo tidak memalingkan pandangannya, malah mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Dengan ekspresi serius, ia berkata, “Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu sandi rumah ini. Tapi bajingan itu menekannya seolah-olah ini rumahnya sendiri.” Ia menggeretakkan giginya. “Aku bahkan tidak tahu nomor kunci pintu belakang.”

Pintu belakang memang diperuntukkan hanya untuk staf medis. Sedangkan lantai dua rumah ini direnovasi oleh kakak laki-laki Kwon Chae-woo.

“Apa sandinya?”

Tubuh Lee-yeon menegang. Pandangannya langsung tertunduk. Ia jelas tidak punya jawaban.

Ia menambahkan, “Aku bersumpah tidak akan membiarkannya begitu saja kalau ternyata sandi itu adalah tanggal pernikahan kita, ulang tahunmu, atau nomor ponselmu—yang dia tekan dengan begitu lancarnya.”

“Siapa?” tanya Lee-yeon, meskipun ia sendiri merasa bodoh telah menanyakannya.

Kwon Chae-woo tak menjawab, justru melanjutkan dengan suara yang sedikit meninggi, “Pikirkanlah, aku bahkan tidak tahu apa-apa. Apakah itu tanggal pernikahan kita, ulang tahunmu, atau nomor ponselmu?”

Lee-yeon hanya terdiam.

“Kenapa aku tidak tahu apa-apa?” Ia memeluk Lee-yeon erat dan membenamkan wajahnya di bahunya. Ia menggosokkan kepalanya begitu keras hingga pundak Lee-yeon terasa sakit meski ada lapisan selimut yang menjadi bantalan.

“Aku suamimu, tapi aku tahu tentangmu jauh lebih sedikit daripada orang lain. Aku selalu merasa tak berdaya setiap kali menyadarinya.” Pipinya yang hangat menyentuh telinga Lee-yeon, mengirimkan gelombang hangat yang tiba-tiba.

“Meskipun mungkin dulu aku tahu…” lanjutnya pelan.

Tidak, kau tidak pernah tahu! teriak batin Lee-yeon sambil berusaha keras menyembunyikan ekspresi kosong di wajahnya. Ia melepaskan diri perlahan dari pelukannya dan mencoba menghibur, “Tidak apa-apa… Kau sedang terluka.”

Perlahan, tekad mulai menguasainya.

“Ayo mulai dari sandi pintu belakang,” katanya. “Untuk menghindari perasaan tak berdaya ini, aku harus tahu segalanya tentangmu dan hidupmu.”

“Uh…” Lee-yeon terdiam. “Aku tidak bisa.”

Rasa ingin tahunya benar-benar berlebihan.

Sebenarnya akan jauh lebih baik jika Kwon Chae-woo tidak ikut campur urusan rumah tangga. Tapi sejak mulai menerima kenyataan bahwa ingatan masa lalunya hilang, secara perlahan ia justru mulai tertarik—kepada Lee-yeon, dan segala hal di sekitarnya.

Ia tidak pernah bertanya soal masa lalunya, keluarganya, atau hobinya. Namun, ia menunjukkan obsesi aneh terhadap Lee-yeon.

Kepala Lee-yeon mulai sakit memikirkan cara untuk kabur dari situasi ini. “Kwon… Kwon Chae-woo,” panggilnya, gugup.

Akhirnya, sesuatu terlintas di benaknya—sesuatu yang mungkin bisa mengalihkan perhatiannya.

“Omong-omong, seumur hidupku… aku belum pernah mengeluarkan suara seperti itu.”

Tentu saja—tentang hubungan fisik.

Lee-yeon tahu ia telah menemukan celah saat melihat sorot mata Kwon Chae-woo melunak, dan wajahnya tiba-tiba kosong.

“Kau… ingin terus melakukannya denganku?” bisiknya sambil mengulurkan tangan, menyentuh bibirnya pelan.

Kwon Chae-woo memalingkan wajah. Namun, telinganya memerah—sulit menyembunyikan rasa malunya.

“Kau harus cepat sembuh. Selama ini aku hanya menyentuh pohon, jadi aku bahkan tidak terkejut dengan sesuatu yang keras, yang sebenarnya biasa saja!” ucap Lee-yeon sembari tertawa kecil.

Hening.

“Jadi, balut lukamu dan cepatlah pulih.”

“Kau sengaja, ya?” gumamnya, menggenggam dagu Lee-yeon dengan sedikit kekesalan, meski pandangannya tak bertemu dengannya.

Tulang lehernya naik turun, menandakan rasa gugupnya. “Kapan kau akan berhenti memperlakukanku seperti orang bodoh? Kau membandingkanku dengan pohon—” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, malah mendecakkan lidahnya, frustrasi.

“Agar aku bisa berharap.”

“Apa maksudmu?” tanya Lee-yeon, menatapnya dengan bingung.

“Tanganmu… yang selama ini hanya menyentuh pohon.”

Keheningan singkat menyelimuti mereka.

“Aku akan sembuh lebih cepat,” ucapnya lirih sambil terus menekan bibirnya. Tapi ujung bibirnya mulai bergerak aneh—seolah ia sedang menahan tawa.

Lee-yeon terdiam. Ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Sudut hatinya terasa gelap. Ia benar-benar tidak menyukai sisi dirinya yang seperti ini.