Darkness of Avalon

Tempat yang begitu megah, sebuah kerajaan berdiri dengan kokoh, simbolnya mampu melindungi seluruh wilayah negeri. Itulah Avalon, negeri dimana manusia aman dari Iblis. Manusia hidup damai dan tentram disini—Setidaknya, itulah yang diajarkan di akademi. Namun sebenarnya itu berbeda.

Kesenjangan sosial tetap ada, yang miskin hidup di pinggiran dan memungut makanan dari tempat sampah sementara para bangsawan hidup di Ibukota dan membuang-buang makanan tanpa banyak pikiran, bahkan Akademi, tempat pendidikan yang seharusnya dirasakan semua kalangan kini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berharta.

Meski aman dari Iblis, manusia memiliki kejahatan mereka sendiri. Kriminalitas maupun diskriminasi tak pernah lepas dari manusia, untuk menangani masalah kriminalitas, diskriminasi dan ancaman dari Iblis, Divisi Sihir dibentuk...

Hari ini adalah pendaftaran Divisi Sihir yang diadakan setiap enam bulan sekali, dari panti asuhan di pinggiran, Kael dan Zenith menuju ke Dewan Sihir, organisasi yang mengurusi Divisi Sihir, bangunannya cukup megah dan letaknya tak jauh dari luar tembok Ibukota, disanalah perjuangan akan dimulai, perjuangan yang mungkin akan membuat nama mereka terukir dalam sejarah.

...

Di tengah colosseum seleksi, seorang pria dewasa membawa sebuah buku sihir datang ke atas panggung yang telah disiapkan "Dengar semuanya, namaku Zen. Hari ini aku akan memandu kalian yang ingin bergabung dengan Divisi Sihir," suaranya menarik perhatian seluruh orang yang hadir. "Syarat untuk menjadi anggota Divisi Sihir sangatlah sederhana—tunjukkan bahwa kalian layak. Bukan hanya soal loyal saja, namun kalian harus kuat. Kalian bisa membuktikannya dengan grimoire yang kalian miliki".

Zen kemudian mengangkat tinggi-tinggi buku sihirnya, memastikan semua yang ada bisa melihat apa yang dia lakukan "Seperti yang kalian ketahui, ketika seseorang membangkitkan sihir maka grimoire akan terlahir, itu adalah bagian dari jiwa mu," orang orang saling melihat satu sama lain dan memastikan bahwa mereka membawa Grimoire nya masing-masing. "Namun tak semudah itu," Zen melanjutkan pidatonya "Dalam Divisi Sihir kalian akan diseleksi berdasarkan tingkat sihir kalian dan cara kalian mengatasi masalah".

Suara-suara kecil mulai bermunculan, menandakan orang-orang mulai merasa mulai agak khawatir, mengingat bahwa mereka bahkan tidak mengetahui tingkat mereka sendiri, namun dalam ricuh yang pelan sebuah suara muncul.

"kemampuan sihir dikategorikan menjadi dua, sihir alam dan juga sihir berkat. Kemudian tingkatannya dapat diklasifikasikan secara kasar dengan melihat sampul dari grimoire". Semua mata tertuju pada orang yang mengucapkannya, Zenith.

"Grimoire tingkat rendah hanya memiliki sampul yang polos dengan simbol sihir, sedangkan tingkat menengah memiliki ukiran rune di setiap sisi sampul. Dan untuk tingkat tinggi memiliki ukiran rune yang memenuhi sampul. Sementara grimoire berkat berisi teks rune melingkar di sampulnya. Bukankah begitu, tuan Zen" Lanjutnya.

Zen terdiam sejenak mengangguk dan membenarkannya, matanya seperti mata seseorang yang baru sajs melihat harta, hari ini dia merasakan sensasi yang disebut kagum. Seorang anak muda memiliki pengetahuan yang cukup luas untuk anak yang datang dari pinggiran. "Baiklah, karena kalian sudah paham, kita akan mulai seleksinya," Ucap Zen

...

Seleksi dimulai. Satu per satu peserta dipanggil naik ke panggung, menunjukkan kemampuan mereka. Beberapa menciptakan sihir dsri ketiadaan dan beberapa memanipulasi elemen yang sudah ada di alam, ada pula yang menggunakan sihir pendukung berupa penyembuhan dan buff, yaitu peningkatan kemampuan tertentu untuk sementara. Namun cukup banyak orang terlihat gugup, meski begitu sebagian lainnya merasa percaya diri.

Sekarang nama Kael disebut, berbeda dengan kebanyakan peserta lainnya, ia menunjukan potensi sebagai penyihir dengan memiliki kapasitas mana yang besar, dia juga menunjukan beberapa sihir manipulasi air yang sangat berguna di pertempuran, baik menyerang ataupun bertahan. Zen memperhatikan setiap dengan cermat, tangannya mencatat hasil tiap peserta tanpa banyak bicara.

Namun, ada satu yang membuatnya tidak tenang. Yaitu Zenith.

Ia memperhatikan mana milik anak itu sejak awal. Bukan hanya kapasitas mana nya yang cukup besar, tapi… berbeda. Mana terkadang tenang dan terkadang berfluktuasi liar, bahkan nyaris tak terkendali. Ia belum pernah melihat mana seperti itu terasa jahat tapi juga tenang, seolah—Zenith memiliki dua aliran mana.

Giliran Zenith tiba .Dengan langkah tenang, ia menaiki panggung. Semua mata tertuju padanya. Ada yang penasaran, ada yang menatap dengan sinis. "Anak dari pinggiran, seberapa jauh bisa ia melangkah?" Suara itu tak mengganggunya, sebaliknya. Dia akan menutup mulut-mulut sombong itu!

Zenith menatap Zen. "Aku ingin seseorang menyerangku dengan sihir," ucapnya datar.

Kerumunan mulai berbisik. "Apakah sihirmu adalah pertahanan," tanyanya, Zen mengangkat alis, lalu memberi isyarat pada salah satu peserta sebelumnya pengguna sihir api tingkat menengah.

"Jangan tahan dirimu," tambah Zenith, masih dengan nada tenang.

Peserta itu tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Ia merapal sihir, dan bola api berukuran sedang meluncur cepat ke arah Zenith, peserta lainnya menertawakan Zenith "Dia mau mati? Yang menyerangnya tingkat menengah loh," suara-suara itu mulai bermunculan segera.

Saat api mulai mendekat, mereka berpikir bahwa semuanya akan berakhir. Namun, saat itulah... segalanya berubah.

Zenith mengangkat tangannya, dan grimoirenya terbuka, halaman-halamannya membalik cepat seolah mencari sesuatu. Lalu, ia merapalkan mantra "Sihir kegelapan: Predator."

Mana gelap menyelimuti tubuhnya, dari dalam grimoire, muncul sebuah pedang yang mengeluarkan kegelapan, dengan aura dingin yang menelan cahaya di sekitarnya. Tanpa ragu, Zenith mengayunkannya.

Syuuut!

Sihir api yang meluncur ke arahnya terbelah menjadi dua seperti sepotong kertas yang diiris pisau tajam. Api yang terbelah itu diselimuti kegelapan dan lenyap seketika.

Tatapannya begitu dingin dan tajam, semua orang di tempat itu terdiam melihat kemampuannya, dari dalam diri Zenith, mereka tidak melihat manusia. Namun seekor predator.

"Sihir penetralan? Tidak, bukan..." Zen menggenggam erat grimoirenya, tubuhnya keringat dingin. Walaupun dia tak tahu apa yang terjadi. Sekilas, nalurinya berkata bahwa manusia yang dihadapannya berbahaya, kekuatan yang dimilikinya... Tidak mampu dipahami oleh manusia.

Ketegangan menggantung di udara, seolah waktu berhenti setelah tebasan itu terjadi. Mereka semua membeku, bahkan peserta yang menyerang tampak terpaku, kehilangan kata-kata.

Zenith menurunkan pedangnya perlahan. Aura dari mana gelap yang menyelimuti tubuhnya mulai memudar, menghilang seperti kabut tersapu angin. Ia kembali berdiri tegak, tatapannya tak berubah dingin dan datar.

Beberapa orang mulai berbisik, namun kali ini bukan ejekan, melainkan ketakutan.

"Apa itu… benar-benar sihir kegelapan?"

"Kenapa anak seperti itu bisa menggunakannya?"

"Jangan-jangan… dia bukan manusia…"

Suara-suara itu mulai menyebar seperti api di ladang kering.

Zen tak berkata apa-apa. Ia menatap Zenith dengan rasa penasaran yang begitu dalam. Anak ini… dia bukan hanya berbeda. Dia adalah teka-teki yang belum pernah ditemuinya selama hidup.

Dalam hati, Zen bertanya-tanya, pertanyaan yang sama dengan Zenith, "Siapa kau sebenarnya, Zenith?"

Dan tanpa disadari oleh siapapun, hari itu menjadi awal dari legenda yang tak pernah tercatat dalam buku sejarah resmi, sang pahlawan tidak lahir dari panggung kehormatan, melainkan dari kegelapan yang paling pekat.