Zenith, Kael dan Flara yang telah menghadapi beberapa iblis itu kemudian menuju ke desa, di setiap langkah mereka yang meninggalkan jejak, mereka berpikir jika iblis akan sering menyerang ke pedesaan. Untuk melindungi desa dari marabahaya, mereka akan berjaga setidaknya untuk sebulan. Langkah mereka kini menuju ke sebuah penginapan penginapan tua, meski begitu, penginapan ini masih layak pakai.
Kael masuk dan menuju ke resepsionis, meninggalkan Zenith dan Flara di bangku tunggu. "Permisi, kami dari Divisi Sihir ingin menginap dengan tiga kamar, apakah masih ada kamar?" Kael dengan ramah bertanya dengan wanita yang berdiri di depannya, menunggu jawaban dari wanita dihadapannya.
"Baiklah, tuan. Masih ada banyak kamar, untuk berapa malam untuk penginapannya?" Jawab wanita itu layaknya seorang profesional.
"Untuk sebulan, kami sedang bertugas di titik ini," Balasnya dengan ramah.
"Baik, untuk tiga kamar biayanya 20 koin perak, namun karena kalian adalah Divisi Sihir yang bertugas untuk melindungi titik ini, kalian mendapat diskon, biaya untuk 3 kamar sebulan adalah 18 koin perak," senyuman terukir di wajah wanita itu, melihatnya Kael juga ikut tersenyum untuk mengiyakan, resepsionis itu dengan lihai mengambil pena quill dan mencatat penyewaan mereka di sebuah gulungan.
Kael menerima gulungan yang merupakan tanda pembayaran itu dan segera mengambil sebuah kantung kecil, suara dentingan koin terdengar hingga delapan belas kali, diatas meja, Kael memberikannya kepada wanita dihadapannya.
Jari-jari wanita itu perlahan menghitung koin yang diberikan Kael, kemudian mengisyaratkan bahwa transaksi telah selesai. Kael yang memahainya membalik badannya kemudian menuju ke tempat Zenith dan Flara.
"Gimana? Bisa?" Suara Zenith muncul sesaat setelah dirinya melihat Kael, kemudian dijawab dengan sebuah anggukan.
"Sebagai rekrutan baru, kita punya seratus koin perak. Apa perlu kita beli artefak? Selain perbatasan dengan iblis, wiilayah ini juga cukup banyak magical beast". Suara muncul lagi, namun kali ini berasal dari Flara.
"Dia benar, meskipun tidak terlalu kuat, namun jumlah magical beast disini cukup merepotkan kalau dihadapi dengan sihir kita saja," Kael yang berpikiran sama kemudian menyetujuinya, ia juga mengeluarkan dua kunci kamar untuk Zenith dan Flara.
Setelah menerima kunci kamar dan menyimpan gulungan bukti pembayaran, Kael mengangkat kantong koinnya yang kini terasa lebih ringan. Mereka bertiga naik ke lantai dua, melewati lantai kayu yang sesekali berderit. Lorongnya panjang dan remang, namun masih terawat. Zenith mengambil kamar 17, Flara di 18, dan Kael di 19.
Begitu masuk ke dalam, Zenith meletakkan tas kecilnya di pinggir ranjang. Ia tak membawa banyak—hanya perlengkapan standar, beberapa pakaian ganti, sebuah kantung minum, dan juga grimoire nya. Ia membuka jendela kamar dan membiarkan udara sore yang lembap masuk, sejenak memandangi desa yang tampak damai meski di baliknya menyimpan ancaman.
Beberapa menit kemudian, mereka bertiga keluar dari kamar masing-masing. Tak ada kata-kata, hanya saling mengangguk, seolah sepakat untuk mulai memahami desa ini.
Mereka membagi arah masing-masing dan kemudian berpencar.
Flara memilih jalan kecil yang mengarah ke ladang. Ia mencatat jumlah rumah dan lokasi yang tampaknya rawan—gudang gandum, kandang ternak, dan beberapa titik gelap yang bisa saja disusupi magical beast kecil.
Sementara itu, Kael menyusuri rute dari balai desa ke gerbang utama. Ia memperhatikan tata letak desa, menandai jalur pelarian jika sewaktu-waktu penduduk harus dievakuasi.
Zenith sendiri berjalan ke arah utara, tempat pemukiman mulai jarang dan pohon-pohon makin lebat. Ia tidak hanya mengamati, tapi juga merasakan—mencari getaran sihir gelap yang mungkin tertinggal dari jejak iblis yang sebelumnya mereka lawan. Namun sore itu terasa tenang… mungkin terlalu tenang.
Menjelang senja, mereka bertemu di jalanan utama desa, tidak jauh dari gerbang menuju pasar sihir.
Pasar itu tidak besar, tapi ramai. Lentera sihir menyala satu per satu, mewarnai tenda-tenda kain dengan cahaya lembut. Para penjaga berseragam lokal berjaga dengan santai, namun tetap waspada.
"Bukankah pasar sihir ini cukup luas untuk sebuah desa," gumam Kael, matanya menyapu deretan barang yang digantung dan dipajang.
Flara melangkah ke sebuah tenda yang menjual peralatan sihir. Tangannya menyentuh sebuah tongkat kayu cokelat pendek dengan ujung kristal hijau. Pemilik toko, seorang wanita tua dengan mata tajam, memperhatikan dengan penuh minat.
"Bukankah itu bagus nona? Itu tongkat jarak. Menambah jangkauan sihirmu dua kali lipat, tapi ksmu harus lebih fokus. Cocok untuk penyihir penyerang tipe archer maupun pendukung."
Flara mengangguk dan mencobanya. Aliran sihirnya terasa lebih ringan, lebih terarah, dan tentu saja lebih luas. "Berapa harga untuk tongkat ini nek?" Tanyanya dengan antusias.
"Tidak perlu mahal, kamu bisa mendapatkannya dengan 7 koin perak, bukankah itu bagus," Jawab nenek tersebut.
Flara mengangguk dengan bahagia, kemudian mengambil 7 koin perak dari kantong kecilnya. "Bagus… aku bisa menyembuhkan dari jarak aman sekarang."
Di seberang tenda, Kael membeli jubah berwarna abu-abu tua. Bahannya ringan namun penuh sulaman sihir penahan tekanan mana. Ia menyuruh Flara yang disampingnya untuk membocorkan sedikit mana miliknya, dan rasanya seperti ada perisai halus yang menahan balik mana itu. "Sepertinya cocok untuk menghadapi para magical beast tingkat menengah," katanya dengan senyum kecil, menyerahkan 9 koin perak seperti yang tertera di labelnya.
Zenith diam sebentar, lalu matanya tertuju pada sebuah tenda yang berada cukup jauh, disana dirinya melihat jubah berwarna hitam. Tidak mencolok, tapi tenunan sihir di permukaannya seperti aliran kecil yang berdenyut pelan. Seorang pria dengan suara paruh baya yang wajahnya tertutup tudung menjelaskan bahwa jubah yang dijualnya itu bisa dialiri sihir pengguna untuk mengurangi dampak serangan sihir luar, seolah mengubah benturan langsung menjadi aliran yang dibelokkan.
Zenith mencobanya. Ia menyalurkan mana dari sihir gelap nya ke lengan bajunya—reaksinya stabil, bahkan lembut, ia tak perlu terus mengisikan sihir, seolah sihir itu berotasi dengan sendirinya. Ia mengangguk pelan, hendak membayar 9 koin perak tanpa menawar. Namun pria paruh baya itu segera menghentikan tangannya.
"Segini sudah cukup, jasamu lebih besar. Anak muda," orang itu hanya mengambil 1 dari 9 koin yang hendak diberikan Zenith. Meski kebingungan, Zenith tetap mengiyakan dan mengambil kembali sisa koinnya.
Matahari hampir tenggelam ketika mereka bertiga berdiri di tengah pasar, masing-masing membawa artefak baru.
"Kurasa kita siap berjaga mulai malam ini," kata Kael, menepuk bahu Zenith.
Flara mengangguk. "Tapi aku tetap minta giliran tidur pertama."
Zenith hanya tertawa kecil, "Kita atur giliran nanti... Tapi kalau ada magical beast menyerang, jangan sampai tongkat barumu malah dipakai buat ngebakar lumbung warga."
Flara menoleh tajam, "Hei! Aku ini pendukung, lagian sihirku ini tumbuhan, bukan api!"
Zenith yang sedari tadi mengamati hanya bisa tersenyum dengan bahagia saat melihat orang-orang disekitarnya aman.