Guard

Hari itu, cahaya oranye sang surya hilang dan sosoknya tenggelam, membiarkan dewi malam bersinar. Di bawah langit langit malam penuh bintang, di bawah atap penginapan tua pinggiran desa, Zenith, Kael, dan Flara mulai merencanakan penjagaan.

"Hari ini aku yang berjaga, kamu dan Flara tidurlah lebih dulu," ujar Zenith dengan nada yang biasanya, datar.

"Kamu mau berjaga sendirian? Memangnya kamu bisa mengawasi semuanya!" Celetuk Flara dengan wajah yang sedikit... ngambek? Dia agak kesal dengan sifat egois Zenith itu. Yah, meskipun pada awalnya, Flara memang ingin meminta jatah tidur lebih dahulu, tapi dia tidak setuju dengan keputusan sepihak Zenith.

Tentunya bukan hanya Flara yang kesal, Kael pun merasakan hal yang sama. "Kita dibentuk secara kelompok, yang Flara bicarakan itu benar. Kamu tidak bisa mengawasi semuanya sendirian," ucap Kael.

"Bisa kok, aku tadi melihat satu rumah yang cukup tinggi di utara, ruteku. Mungkin oemiliknya kaya, aku bisa mengawasi semuanya dari sana," balas Zenith dengan segera, namun tak hanya berhenti disitu, Zenith kemabli melanjutkan ucapan datarnya "Lagipula kelompok kita tidak bisa debagi menjadi dua, hari ini aku akun berjaga, besok kamu dan Flara. Lalu kita ulangi seterusnya".

Tanpa sempat ada tambahan kata lagi, ia beranjak dari penginapan tua itu, langkah kakinya semakin menjauh di dalam kegelapan malam hingga tak lagi terdengar oleh dua temannya, punggung itu menuju ke arah utara untuk mencari kembali rumah dengan atap yang tinggi. Tak butuh waktu lama, ia menemukan kembali rumah itu, rumah yang cukup tinggi di desa ini.

Zenith kemudian naik ke atap rumah itu, dengan kekuatan fisik yang dia latih, tak perlu kesusahan untuk naik ke atas. Saat diatas pun dia tak hanya berdiam, sambil mengamati seluruh penjuru desa, ia bisa merasakan angin malam yang menembus kulitnya serta melihat langsung sang bulan. Namun malam ini tak seperti biasanya, udara dingin malam jauh lebih menusuk dari biasanya, cahaya sang bulan pun tak seterang malam lainnya. Tentu saja, hal ini membuat Zenith menjadi lebih waspada, lalu...

"TO-TOLONG AKU!!!" Suara seorang anak kecil terdengar jelas, Zenith yang menikmati malam itu langsung mencari ke arah suara itu terdengar. Selaras dengan arahnya saat ini—utara, di dekat hutan. Zenith langsung melompat dan berlari sekuat tenaga, nafasnya tergesa-gesa, langkah kakinya terdengar jelas. Tangan kanannya mengambil grimoire kegelapannya, ia kembali merapalkan mantra yang sama "Sihir Kegelapan: Predator".

Syuuut!

Tepat dihadapannya, Zenith menebas seekor magical beast hingga menghsncurkan inti-nya, magical beast yang mengancam bagi anak kecil yang tadinya berteriak.

Dia mellihat ke kerumunan magical beast, kemudian berbalik dan berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan anak kecil di dekatnya, tangannya menyentuh pundak anak itu. "Kamu menjauhlah dari sini dan pulanh, kakak akan melindungi mu, oke". Zenith melakukan apa yang memang garus dilakukan, suaranya terdengar lembut dan menenangkan, namun tetap memberi keyakinan.

Anak kecil itu mengangguk dan segera pergi menjauh, membuat dirinya tak lagi terlihat diantara bayangan malam. Zenith kembali memfokuskan pandangannya. "Oh, jadi kalian yang membuat udara malam ini jadi lebih dingin".

Dihadapannya terlihat makhluk yang disebut magical beast, yang muncul saat ini adalah serigala dengan bulu seputih salju dan mata sebiru es, ukurannya sedikit lebih besar dari serigala pada umumnya. Seperti namanya. Mereka adalah gerombolan hewan buas yang bisa menggunakan sihir, mereka juga masih bergerombol layaknya serigala normal.Dengan banyaknya jumlah dari para magical beast itu, mana yang terpancar dari mereka terasa cukup mengganggu aliran mana Zenith.

Zenith mengangkat pedang yang tercipta dari sihir yang ia rapalkan sebelumnya, bersiap dan mulai maju, dengan pedang kegelapan yang dia sebut 'predator', ia mulai menebas sihir sihir yang dikeluarkan para magical beast, namun, ada hal yang cukup mengganjal bagi Zenith.

"Aneh, seharusnya kawanan serigala es ini hanya berjumlah sekitar delapan sampai sepuluh ekor, magical beast kelas menengah seperti mereka juga seharusnya tidak disini," batin Zenith, dirinya terus mengayunkan pedangnya dengan tenaga yang kuat, totalnya sudah ada delapan mayat magical beast yang tergeletak di tanah beserta inti mereka yang hancur. Sembari menyerang, matanya terus melihat kesana kemari untuk menghitung jumlah magical beast dihadapannya.

"Jika totalnya dihitung dengan yang kubunuh selama ini—ada dua puluh ekor! Ini tidak wajar". Zenith sedikit melompat mundur, tangannya menggenggam erat pedang sihirnya, dia juga mulai memasang kuda kuda, bersiap untuk serangan.

Kraaak!

Suara es terdengar dengan keras, dua tusukan yang mengenai Zenith saat jubah pelindungnya berkibar, kejadiannya begitu cepat. Zenith, lengan kiri dan kaki kirinya tertusuk oleh es dari magical beast, darahnya mengalir dengan deras ke tanah, cukup sakit untuk membuat dirinya mengerang kesakitan. Di matanya yang berkunang-kunang, dia dapat melihat saat dimana para magical beast mendekat.

Step... Step... Step...

Suara langkah kaki para serigala semakin mendekat, seperti suara kematian. Zenith yang terkapar di tanah tak biss melakukan apapun, hanya bisa menyipitkan mata sambil menahan rasa sakitnya. Dia bisa mencium bau amis darahnya sendiri, darah merah yang bahkan bisa digunakan untuk melihat pantulan bulan.

"Sial, kenapa? Apakah ini akhir bagiku? Padahal dari dulu aku bermimpi... Aku ingin melindungi semuanya... Tapi kenapa?" Batinnya begitu tertekan, terus menggerutu seolah mengutuk takdir dan kesialan.

Ia kembali mengingatnya, sedari dulu ia selalu bermimpi menjadi soskk seperti pendiri panti asuhan tempatnya dirawat. Dia selalu bermimpi hal yang sama, dia ingin melindungi semua orang, sama seperti pendiri panti asuhan yang melindungi anak anak malang.

"B*ngsat, sepertinya ini akhir bagiku. Sial sekali, aku bahkan tak sempat mengucapkan salam perpisahan dengan Kael". Zenith hanya bisa menunggu kematiannya, hanya hitungan detik lagi, tak ada yang bisa menyelamatkannya... Setidaknya, itulah yang dia pikirkan.

Tiiing...

Suara dentingan yang pelan terlewat di telinganya, berdenging dengan tenang, bersamaan dengan munculnya sebuah lingkaran antar ruang di depannya. Dari situ keluar orang yang ia kenal, laki-laki berambut putih dengan jubah berwarna abu tua di tubuh yang agak tinggi, ya, itu adalah Kael.

Ia segera mengambil grimoirenya dan merapalkan mantra. "Sihir air: Tombak air". Beberapa pusaran air yang menyerupai tongkat muncul dari ketiadaan, kemudian melesat dan menusuk beberapa magical beast lainnya di bagian mata dan inti, tak cukup sampai disitu, Kael kembali merapalkan mantra lainnya. "Sihir air: Hujan siksaan". Kali ini sebuah lingkaran sihir muncul di depan Kael, mengeluarkan hujan dengan tekanan yang tinggi untuk menembus kulit para magical beast.

Selain Kael, Zenith melihat dua orang lagi, satu orang adaalh orang yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan satu orang lainnya, Falar, langsung menuju kepadanya, mengeluarkan grimoire dan merapalkan mantra penyembuhan. "Sihir tumbuhan: Lavender penyembuh". Seperti rapalamnya, beberapa bunga muncul di sekitar luka tusuk Zenith, meski tak sepenuhnya menyembuhkan, bunga bunga itu menutup lukanya dan menghilangkan rasa sakitnya untuk sementara.

"Ah. Flara ya... Terima—Kasih". Sesaat setelahnya, mata Zenith tertutup, dia tak lagi mengetahui apa yang terjadi.