Magic?

Tempat yang aneh, tidak ada langit, tidak ada tanah. Tempat yang tidak melayang, dan tidak pula jatuh. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan putih di semua sisi.

"Dimana aku? Tempat apa ini?" Zenith, hanya dia sendirian.

Bagaimanapun, tak ada sumber cahaya, tak ada bayangan, namun ia tetap melihat dengan jelas. Kemanapun ia melangkah, tak ada yang berubah, seolah dunia kehilangan bentuk bentuk dan warnanya, dunia bagai tempat yang telah dilucuti maknanya dan hanya menyisakan dataran tak berujung. Ia terus berjalan namun dia tidak benar-benar berpindah, rasanya seperti dirinya ditelan kehampaan.

"Hei, nak. Kamu datang lebih cepat dari perkiraanku". Suara itu terdengar berat, Zenith yang terus membalikkan badan, melihat kesana kemari untuk mencari sumber suara, namun tidak dapat menemukan sumber suara yang telah memanggilnya.

"Siapa kamu? Tempat apa ini?" balas Zenith, "Keluarkan aku dari sini, aku sudah muak!" lanjutnya, dia terus mendesak, berharap suara itu muncul lagi.

"Baiklah, akan kuladeni satu-persatu semua teriakanmu itu".

Suara itu lagi-lagi muncul, kali ini Zenith bisa mengetahui asal suaranya, ia membalik tubuhnya, namun kini ekspresinya benar-benar berbeda. Ketakutan, dia dapat melihatnya, pemilik suara itu, makhluk hitam dengan tinggi dua kali lipat dari dirinya, bahu dan badannya lebar, matanya berwarna merah menyala, kedatangannya membuat 'kehampaan' yang semula berwarna putih menjadi hitam. Jantung Zenith serasa berhenti berdetak, matanya melebar, tubuhnya menjadi dingin, keringatnya bercucuran, tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan.

"HAAAAA!".

Otaknya memaksa Zenith untuk bangkit, membangunkannya dengan posisi duduk di sebuah ranjang, langit-langit yang kini ia lihat adalah atap yang ia kenal, penginapan. Teriakannya terdengar sangat jelas dan cukup keras, mengambil perhatian dari seluruh orang di ruangan itu.

"Ada apa Zenith? Kenapa kamu berteriak?" Suara itu terdengar seperti perempuan seusianya, nada yang dikeluarkan menunjukan bahwa pemilik suaranya khawatir. Flara, temannya itu datang dan menggenggam tangannya, wajahnya tampak sangat mengkhawatirkan keadaan Zenith.

"Syukurlah, kukira kamu akan mati". Suara yang ini berbeda, nadanya dingin dan kesal. Ketika Zenith melihat kearahnya pun wajah ini begitu dingin, datar, dan terlihat kesal. Yah tentu saja, pemilik suaranya adalah Kael.

"Setelah kamu berkata jika kamu mampu menangani semuanya sendirian, apa yang kamu hasilkan?" Ucapannya begitu pedas dan menyakitkan, satu kalimatnya sudah terasa seperti menggali seluruh kesalahan yang dilakukan Zenith.

"Kamu pikir apa yang terjadi jika kami tidak datang tepat waktu?" Sorot matanya begitu tajam, wajahnya menunjukan bahwa sangat kesal, meskipun tak mau, dia tetap mengucapkannya, dia membalik badannya dan segera melangkah keluar kamar, dari langkahnya pun dia terlihat sangat kesal, dia bahkan membanting pintu di penginapan tua itu.

Flara, dia hanya bisa diam mulutnya seakan terkunci kuat kuat, wajahnya terpaku mengajadap ke lantai. Ia tak bisa membela siapapun meskipun ia tahu bahwa tindakan Kael tidaklah benar, apalagi dalam kondisi Zenith yang baru saja siuman. Namun ia juga tak biss menyalahkan Kael, karena mau bagaimanapun ia mengatakan hal yang benar meski itu menyakitkan.

Zenith pun sadar akan hal itu, ia tak bisa membantah Kael, bagaimanapun juga, semua yang dikatakan Kael itu benar. Dia terlalu egois, terlalu keras kepala, sekarang ia hanya bisa menunduk ketika Kael memarahinya, setelah menunduk pun dia hanya bisa melihat arahnya berjalan.

Setelah Kael membanting pintunya, perhatiannya kini terlihkan pada seorang laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya, rambut hitamnya tertata rapi. Laki-laki itu berjalan mendekati Zenith dan memperkenalkan dirinya.

"Namaku Zayne Flameheart. Kamu bisa memanggilku Zayne, aku orang tambahan yang diminta untuk mengisi squad ini, mohon kerjasamanya". Ia menjulurkan tangannya, mengisyaratkan untuk berjabat tangan. Zenith, tentu saja dia menjabat tangannya itu.

"Salam kenal, namaku Zenith. Mohon kerjasamanya mulai sekarang," ucapnya, dia sedikit tersenyum, dirinya tampak berusaha menghilangkan sifatnya yang dingin dan egois itu. "Apakah kamu menggunakan berkat dimensi dan membuat gerbang dimensi kemarin? Dan bagaimana kamu bisa tahu kalau aku disana?" Lanjut Zenith, ia bertanya dengan cukup sopan.

"Iya benar, aku yang membuatnya. Berkatku adalah dimensi, aku bisa membuat gerbang dari satu tempat ke tempat lain yang pernah aku lihat atau yang bisa kulihat," jawabnya, dia menjelaskan tentang kemampuan, cukup untuk menjawab pertanyaan pertama zenith.

"Setibanya aku disini aku melihat seorang anak kecil berlari ketakutan, dia bilang ada kakak penyihir yang sedang melawan banyak serigala. Karena aku hanya pendukung jadinya aku kesini lebih dulu daripada menolongmu, maaf ya," lanjutnya, dia terlihat seperti merasa bersalah.

"Ah tidak apa-apa, justru aku bersyukur kamu membawa Kael dan Flara. Saat itu kupikir hidupku akan benar-benar tamat," jawab Zenith sambil sedikit tersenyum lega.

"Oh ya, ngomong ngomong, apa sihirmu? Aku tidak sempat melihatnya kemarin," tanya Zayne dengan wajah yang cukup penasaran, dan meski Flara sudah diberitahu sebelumnya, jawaban 'sihirku adalah kegelapan' tak membuatnya puas.

Zenith, dia terdiam beberapa saat sebelum mulai menjelaskannya. "Aku sebenarnya juga tidak tahu seratus persen tentang sihirku sendiri. Sihir ini sudah bangkit lebih cepat dari orang lain, pada awalnya kupikir ini berkat. Tapi setelah grimoire ku terlahir, ternyata ini adalah sihir—tapi aku tidak yakin bahwa ini adalah sihir". Zayne dan Flara menyimak dengan cermat, namun cukup bingung dingan ungkapan akhir Zenith.

"Jika kalian melihat benturan antara dua sihir penyerangan, maka mereka akan hancur akibat bentrokan, partikel sihir yang hancur akan berterbangan dan lenyap. Tapi, jika sihir atau berkat mengenai sihir kegelapan milikku, semuanya berbanding terbalik," Zenith sedikit menjeda penjelasannya dan berpikir cara menjelaskan tentang sihirnya sendiri.

"Tidak seperti sihir atau berkat lain yang partikel sihirnya bentrok dan menghilang di udara, justru saat mengenai sihirku, partikel sihirnya tetap tenang dan statis di udara sebelum menghilang, bahkan terkadang terserap di sihir kegelapan. Seolah jika jika sihir lain saling menolak maka sihirku malah menyerap. Itu seolah seperti lubang hitam. Aku dan Kael menyebut sihir kegelapan ini sebagai 'Anti-Sihir' dan 'Anti-Berkat'," lanjutnya, kemudian berhenti ketidak dirasa penjelasannya sudah cukup lengkap.

Zayne dan Flara pun hanya bisa terdiam, dalam seumur hidup mereka, baru kali ini mereka mendengar Anti-Sihir. Zayne mengangguk pelan, ekspresi wajahnya menggambarkan keterkejutan, kekaguman dan ketakutan di waktu yang bersamaan. Namun dirinya juga menyimpan rasa ingin tahu yang besar.

"Aku tidak pernah mendengar anti-sihir sebelumnya. Bagaimana denganmu," tanya Zayne, wajahnya menengok kehadapan Flara.

"Tidak, tidak pernah," balas Flara dengan menggelengkan kepalanya. Ekspresi yang ia tunjukan di wajahnya tampak khawatir dan kebingungan.

Sementara Zenith. Dia hanya bisa diam tak bersuara, kemudian atmosfer di ruangan itu seakan membuat mereka tak bisa bergerak. Nafas mereka seolah berhenti, membuat udara terasa berat, kebisuan mereka bertiga pun membuat ruangan menjadi sunyi.