Pukul 6.20 pagi saat aku keluar kamar sambil membawa koper kecil.
"Duh, Alex ngapain sih jam segini belum bangun juga? Dia nggak sholat Subuh, apa? Dari tadi ditelepon nggak jawab!"
Aku sedikit kesal mendapati Alex yang belum juga menjemput, padahal tadi malam dia sudah berjanji akan mengantarku ke bandara.
Aku kembali mengecek ponsel, berharap ada balasan dari Alex. Namun nihil, tidak ada satu pun pesan masuk.
"Pesan taksi online aja deh, nggak bakal keburu kalau nungguin Alex..."
Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Papa muncul dari balik pintu dengan wajah bingung.
"Put, belum berangkat?" tanyanya.
Aku mengangkat wajah dari ponsel dan menjawab, "Nih, aku lagi pesan taksi dulu, Pa. Nungguin Alex kayaknya nggak datang."
Papa berpikir sejenak sebelum berkata, "Ayo, biar Papa aja yang antar. Kamu ke mobil duluan ya? Papa mau ambil jaket dulu."
Aku hanya mengangguk pelan, menutup layar ponsel, dan segera menuju mobil.
Skip Bandara Soetta
"Pah, makasih banyak udah anterin aku. Nyaris aja tiketku dibatalkan tadi, huh!" kataku lega.
Papa yang duduk di kursi ruang tunggu berdiri dan menatapku dengan tatapan sendu.
"Syukurlah..." senyumnya lirih lalu terdiam.
"Putri, apa kamu membenci Mama sama Papa?" tanyanya kembali dengan tiba-tiba.
Aku refleks menggeleng pelan. "Nggak, Pah! Nggak ada alasan aku buat benci kalian. Udah deh, Papa jangan nanya kayak gitu! Putri sayang banget sama Papa, Mama, dan adik-adik," sanggahku sambil memeluknya erat.
Papa mengusap rambutku lembut. Dia bukan tipe orang yang banyak bicara atau menunjukkan kasih sayangnya secara langsung. Tapi saat ini, aku bisa merasakan betapa tulus perhatiannya.
"Anak gadis Papa sangat tulus dan tangguh. Papa berharap jodohmu nanti adalah orang yang sepadan denganmu. Yang cintanya bahkan lebih besar dari kami semua," ucapnya dengan suara bergetar.
Aku mengernyit heran. Kenapa Papa bilang begitu? Bukankah minggu depan aku akan menikah dengan Alex? Seakan-akan ada yang mengganjal dalam kata-kata Papa. Namun, sebelum aku sempat bertanya, pengeras suara sudah mengumumkan bahwa pesawat akan segera berangkat.
Aku melepaskan pelukan Papa perlahan dan tersenyum padanya. "Hati-hati di jalan ya, Pah? Jangan ngebut. Putri pamit dulu ya? Assalamualaikum," ucapku sambil mencium punggung tangannya.
"Waalaikumsalam, nak... Jaga diri baik-baik," jawab Papa dengan senyum lembut.
Sambil melambaikan tangan, aku berjalan menuju gerbang keberangkatan.
'Seandainya Papa bisa jujur padamu, Nak,' lirih hati Damian yang dipenuhi perasaan bersalah.
-----
Di Hotel Bandung...
"Selamat siang, Mr. Leonard. Perkenalkan, saya Putri. Saya ditugaskan perusahaan untuk menangani investasi Anda," sapaku sambil tersenyum.
Pria yang disapa tadi menatapku dengan pandangan tajam namun tetap ramah. Leonard—atau Leo—adalah pria berusia 29 tahun dengan tubuh atletis dan tinggi sekitar 185 cm. Wajah tampannya semakin memancarkan wibawa sebagai pebisnis muda yang sukses.
"Miss Putri, kurasa umur kita tidak jauh berbeda. Jadi, panggil aku Leo saja. Ke depannya, aku berharap kerja sama yang baik," ucapnya dengan senyum khasnya—seksi.
Aku membalas dengan anggukan. "Kalau begitu, panggil saya Putri saja, tanpa embel-embel apa pun."
Percakapan bisnis dimulai, dan kami membahas rencana investasi pada perusahaan tambang di Indonesia timur. Aku memaparkan beberapa opsi yang mempertimbangkan keuntungan dan kerugian, serta ketersediaan alat pendukung pekerjaan di wilayah tambang.
Singkatnya beberapa jam kemudian, Leo tiba-tiba menawarkan makan siang.
"Hei, mau makan siang bareng?" tawarnya santai.
Perutku juga sudah keroncongan, jadi aku pun mengiyakan ajakannya.
Selagi menunggu makanan datang, kami berbincang santai.
"Oh jadi kamu mau menikah minggu depan? Kenapa kamu masih ambil pekerjaan, Put? Padahal bisa ditolak loh," tanya Leo sedikit kaget ketika aku memberitahu akan segera menikah.
Aku menghembuskan napas perlahan, "tadinya udah nolak sih tapi atasan aku katanya udah terlanjur recomend in, jadinya ya uhh aku gaenak buat mo nolak." Kataku lirih.
Leo hanya menggelengkan kepala dengan sikapku, "terus calon suami kamu? Ngizinin? Gak lama lagi loh kalian menikah. Atau paling enggak dia nemenin kamu kek kesini ya itung-itung resfreshing?!" Kata Leo sambil menaikturunkan alisnya jahil.
Wajahku sedikit bersemu dengan kalimat terakhir Leo, "dih enggak ya! Yang ada kalo kita sama-sama tuh entar aku di goal in duluan? Gak munafik sih godaan setan memang nyata kalo mo dekat nikah gini!" Kataku sedikit sewot.
"Kamu menjaga diri sekali ya? Calon suami kamu pasti beruntung banget ngedapetin berlian kayak kamu," ucap Leo dengan senyuman tulus padaku.
Aku sedikit tertegun mendapati senyuman tulus dari pria yang duduk diseberang kursi sana. Aku hanya diam tak berkata apapun begitu makanan telah datang. Kami duduk makan tanpa ada lagi obrolan siang hari itu.
Dua hari kemudian,
"Sayang, maafin aku. Aku lupa banget harus nganterin kamu ke bandara! Kamu naik apa kemarin? Taksi?"
Aku memasang wajah masam menatap layar ponsel. "Aku dianterin Papa. Udah dua kali janji tapi nggak nongol juga. Telepon dan pesan pun nggak dibales!"
"Sayang, aku udah minta maaf. Nanti pas kamu pulang, biar aku aja yang jemput ya? Sejam sebelum sampai, aku udah nungguin di bandara," ujar Alex mencoba menenangkanku.
Aku menghela napas panjang. "Udah ya, Lex. Klien aku nunggu. Assalamualaikum."
"Sayang? Halo? Putri?"
Kututup panggilan dengan kesal!
Setelah telepon dari Alex tadi, aku terduduk lemas di kasur hotel. Rasa kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. Entah kenapa, Alex akhir-akhir ini semakin sulit diajak komunikasi. Bahkan saat aku benar-benar butuh dukungan, dia malah menghilang tanpa kabar.
Pikiranku berkelana pada momen-momen sebelum kami bertunangan. Dulu, Alex adalah sosok yang perhatian dan selalu ada. Tapi sekarang? Apa aku terlalu banyak berharap? Atau mungkin aku terlalu memaksakan diri mempertahankan hubungan yang sudah rapuh ini?
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Nama Leo muncul di layar.
"Leo huh?Ada apa?" sapaku sambil mencoba terdengar ceria.
"Kamu di kamar? Aku ada di lobi. Kupikir kita bisa ngobrol sebentar," katanya dengan nada santai.
Aku mengiyakan dan segera merapikan diri sebelum turun menemui Leo.
Di lobi, Leo sudah menungguku dengan segelas kopi di tangan. Dia menatapku sejenak sebelum berkata, "Kamu kelihatan capek. Ada masalah?"
Aku mencoba tersenyum. "Nggak kok, cuma sedikit pusing aja."
Leo menatapku tajam, seakan bisa membaca kebohongan di balik wajahku.
"Putri, kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Kadang berbagi bisa bikin lebih lega," ucapnya lembut.
Entah kenapa, ada sesuatu dari sorot matanya yang membuatku ingin jujur.
"Aku cuma... ngerasa lelah aja, Leo. Banyak hal yang nggak berjalan seperti yang aku harapkan," kataku pelan.
Leo mendekat sedikit, masih dengan tatapan penuh perhatian.
"Manusiawi kok merasa lelah. Tapi jangan biarin itu bikin kamu kehilangan arah. Kamu berhak bahagia, Put."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Benarkah aku berhak bahagia? Kenapa rasanya seperti terus menerus menipu diri sendiri?
Leo menghela napas pelan sebelum berkata, "kalau kamu butuh tempat buat cerita atau sekadar pelarian dari rutinitas, aku ada. Jangan ragu buat menghubungiku, okay?"
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar, aku butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi.
-----
Jakarta, Alex POV
Aku sedang bekerja saat tiba-tiba Aisyah melemparkan sesuatu ke meja. Testpack!
Aku mengambil testpack tersebut sambil mengangkat wajah menatap sosok manis berhijab yang berdiri bersedekap dada dengan angkuh didepanku.
"Aku hamil, Alex. Nih, kalau nggak percaya, ini surat keterangan dokter," kata Aisyah tegas.
Mataku membelalak saat membaca surat itu. Aisyah hamil tiga minggu?
"Apa-apaan ini? Kenapa bisa hamil? Kamu nggak minum obat yang aku kasih? Aku gak bisa tanggung jawab, kamu tau itu kan? Sebentar lagi aku akan menikah dengan Putri!" Sentakku tajam.
" Dan mana tahu kamu tidur sama cowok lain di luar sana makanya hamil?!" bentakku lagi sambil merobek surat di genggamanku ini.
Mata Aisyah berkaca-kaca. "Kamu pikir aku perempuan murahan?! Aku akan lapor ke orangtuaku dan memastikan kamu nggak nikah sama Kak Putri!"
Brak! Aisyah menutup pintu dengan kasar, meninggalkan aku yang terdiam tak percaya.
"Sialan! Ini nggak boleh terjadi! Aku harus temui Putri dan meyakinkannya sebelum dia tahu!"
Aku bergegas mengambil jaket dan kunci mobil lalu keluar ruangan kerja.
Alex POV END