Mobil Alex baru saja terparkir di depan pagar rumah. Aku langsung melepas seatbelt lalu keluar dari dalam mobil.
"Sayang, sebentar. Aku mau ngomong dulu," kata Alex menghentikan langkahku.
Aku berbalik badan, lantas mendekatinya yang berdiri di depan pintu mobil.
"Kenapa lagi, Lex? Aku mau masuk nih, sudah lelah banget, tahu," kataku sambil cemberut.
Alex hanya tersenyum lalu mencubit pipiku yang chubby dengan gemas.
"Ingat apa kataku tadi, sayang? Jangan dengarkan siapa pun yang mencoba memisahkan kita, ya? Kamu itu lebih mendengarkan orang lain ketimbang aku, tahu! Iya, sayang? Tiga hari lagi kita nikah, dan semuanya sudah aku cek dan sempurna, sesuai apa yang kita mau."
Aku menatap sosok pria menawan di depanku ini. Wajah tampan blasteran Korea-Spanyol dengan perawakan tegap, tinggi Alex sekitar 180 cm. Wajahnya selalu bersih dari kumis ataupun bulu lainnya. Satu yang paling kusukai adalah warna matanya — biru.
Cup
Mataku berkedip cepat memproses apa yang baru saja terjadi... eh?! Alex menciumku di bibir?! Aku refleks memundurkan tubuh dan menutup bibirku dengan sebelah tangan, wajahku bersemu merah.
"Alex, ih! Main cium-cium aja!" kataku agak sewot namun tidak menyesal dengan apa yang barusan Alex lakukan.
Alex hanya terkekeh melihat reaksiku yang begitu pemalu.
"Kenapa? Malu, eh? Tunggu saja, sayang. Setelah menikah nanti, aku bakal lakukan yang lebih dari itu!"
Aku mengacungkan sebelah kepalan tanganku padanya dan hanya dihadiahi gelak tawa Alex yang buru-buru memasuki mobilnya kembali. Aku masih terdiam di depan pagar hingga mobil Alex menghilang di ujung jalan.
Sambil menarik koper kecil di tangan kiriku, sementara tangan kananku membawa sedikit bingkisan oleh-oleh khas Bandung, aku berjalan memasuki rumah.
PLAK!
Huh?!
Indera pendengaranku menangkap dengan jelas suara tamparan barusan. Siapa? Apa yang terjadi di dalam sana?!
Sedikit hati-hati, aku mengucap salam saat masuk ke dalam rumah. Aku segera bergegas ke ruang tengah dan mendapati Mama, Papa, dan adikku yang kedua, Aisyah, menahan pipi kanannya yang terlihat memerah.
"Pah? Mah? Ada apa ini?!"
Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun jantungku seakan diremas kuat oleh sesuatu hal.
Mereka semua tak ada yang menjawab pertanyaanku. Bahkan saat aku menaruh koper dan bingkisan di sebelah meja pun tak ada yang membuka suara.
Aku menatap lekat wajah Aisyah yang habis ditampar dan kulihat matanya juga sembab.
"Dek, kenapa? Ada apa denganmu? Kenapa nangis?!" tanyaku tak sabar saat Aisyah tidak menjawab dan lebih memilih menenggelamkan wajah sembabnya dalam dekapan Mama.
Papa pun menyela pertanyaanku dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Nak, kamu baru saja pulang, bukan? Ayo, Papa antar ke kamar ya? Kamu pasti capek. Oh ya, kamu pulangnya naik apa tadi? Kok nggak kabarin Papa biar jemput kamu?"
Aku menoleh sambil tersenyum kecil menatap Papa. Merasa percuma karena pertanyaanku tak digubris, aku menarik kembali koperku.
"Aku sama Alex tadi, Pah. Dia nyusul aku ke Bandung siang tadi, katanya mau jemput aku pulang, hehe."
Baru saja beberapa langkah berjalan, suara Mama membuatku terdiam di tempat.
"Mama minta kamu batalin pernikahanmu dengan Alex. Kamu nggak boleh menikah dengannya, Putri."
Aku berbalik badan dan menatap Mama bertanya.
"Kenapa, Mah? Tiga hari lagi kami akan menikah. Nggak bisa dibatalin gitu aja, Mah. Persiapannya sudah semua dan..."
"Aisyah hamil, Kak..."
Lirihan Aisyah membuatku bungkam dan memproses kalimatnya di dalam kepalaku.
Hamil? Dengan Alex? Bagaimana mungkin?
Aku memandang nanar ke arah Mama dan Aisyah.
"Kamu bohong, kan, Dek? Sejak kapan kamu menghabiskan waktu sama Alex? Eh, atau jangan-jangan itu bukan anak Alex, kan? Iya, kan? Kamu asal nuduh Alex ya? Jangan ngerusak hari Kakak, please..."
Aku menolak semua yang dilontarkan Aisyah barusan. Tidak! Alex tidak mungkin selingkuh! Tiga tahun kami menjalin kasih, bahkan mantan Alex, Sherly, sampai lelah mengejar Alex waktu itu dan tak digubris sama sekali olehnya.
"Kamu tuli atau apa, Putri? Jelas sekali adikmu bilang hamil! Dia hamil anak Alex!" Mama berkata tajam.
"TIDAK! KALIAN BOHONG!"
Pekikku keras menggema di ruang tengah ini. Bahkan Papa sampai terlonjak di sebelahku. Selama ini aku tak pernah berkata kasar bahkan menaikkan nada suara pun tidak.
Aku menggeleng keras menolak mempercayai apa yang Mama dan Aisyah katakan padaku. Merasa percuma karena aku tak percaya, Aisyah melepas pelukan Mama dan berlari ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia keluar membawa ponsel di tangan.
"Kalo Kakak nggak percaya, silakan lihat ini!"
Tanganku sedikit gemetar saat memencet tombol video di dalamnya.
"Asshh... uhh... Mas Alex... mhh... kondomnya dilepas aja, aku nggak suka..."
"Khh... sempit banget! Begini kan kamu suka sayang?? Ouchh... sshh... nakal ya kamu?"
Mataku terbelalak kaget!
Damian POV
Brugh!
Tubuh Putri terjatuh pingsan seketika saat belum lama menonton adegan ranjang di dalam ponsel milik sang adik.
Aku dengan cepat menahan tubuh anakku begitu dia terjatuh ke lantai.
"Putri?! Heii, Nak, bangun!" aku menepuk pelan pipi Putri, namun nihil tak ada jawaban.
Tiba-tiba saja dari hidungnya keluar cairan merah segar. Aku yang panik segera menggendong anak sulungku menuju parkiran mobil di luar. Dengan tergesa-gesa, aku menyalakan mesin mobil dan segera menancap gas saat pagar dibuka oleh Risa.
"Pah?! Papaa! Ckk!"
Aku bahkan tak peduli dengan teriakan Risa di belakang sana. Yang kupikirkan saat ini hanyalah membawa Putri ke rumah sakit terdekat.
'Tolong bertahanlah, Nak...'
Mataku sedikit tak fokus karena darah segar masih terus mengucur dari hidung Putri, bahkan menetes membasahi kerah depan pakaiannya. Ya Allah, jangan...
Skip rumah sakit
"Pasien mengalami insomnia dan tekanan stres sehingga menimbulkan kelelahan fatal bagi dirinya. Dia perlu istirahat total untuk memulihkan tenaganya, Pak Damian," ujar dokter yang menangani Putri sambil menatapku prihatin.
Aku hanya bisa mengelus pucuk kepala anak sulungku, berharap dia segera sadar. Perasaan bersalah begitu menghantamku.
Brak!
"Putri!!!"
Pintu ruangan terhempas kasar dari luar, dan aku melihat sosok Alex di depan sana. Dengan penuh emosi, aku langsung mendekat dan meninju kuat rahangnya hingga dia mengaduh kesakitan.
"Mau apa kamu kemari, hah?! Dasar lelaki bajingan!" bentakku keras.
Belum sempat tinjuku kembali melayang, teriakan Risa dan Aisyah dari arah luar menggema. Aisyah bahkan memasang badan sebagai tameng bagi si bajingan ini!
"Minggir, Aisyah! Papa harus menghabisi bajingan ini! Dia sudah mempermainkan kakakmu! Minggir!!!" bentakku lagi, suaraku penuh amarah.
Aisyah bertahan dan menggeleng keras melawan diriku.
"Tidak, Papa! Dia ayah dari calon bayiku! Aku gak akan biarin Papa ngelukain Mas Alex!"
"Sudah, Pah. Mari kita bicarakan baik-baik! Jangan pakai cara kekerasan begini," tambah Risa sambil mengelus bahuku, berusaha meredakan emosiku.
Aku melotot tajam pada kalimat istriku, kesal setengah mati.
"Kalian berisik sekali ya?"
Kami semua menoleh dan mendapati Putri yang telah sadar, sedang duduk agak bersandar pada kepala ranjang.
Damian POV END
-----
Cukup lama membujuk keluargaku untuk keluar dari ruangan ini dan memberikan privasi untuk kami berbicara. Aku sedikit menyipitkan mata pada sudut bibir Alex yang memar akibat bogem mentah Papa tadi.
"Langsung intinya aja, Lex. Aku mau kita batalin pernikahan ini!" ucapku datar, menatapnya tanpa ragu.
Ekspresi Alex berubah, terkejut dan menggeleng kuat.
"Gak! Aku gak mau, Putri! Aku udah bilang kan? Apapun yang terjadi, kita akan tetap menikah dan..."
Aku meraih ponsel dan menunjukkan sebuah video. Tanpa basa-basi, kukeraskan volumenya sehingga suara erangan dan rintihan terdengar jelas dari pemeran di dalamnya. Mata Alex langsung melotot, terkejut tak percaya. Tangannya dengan kasar meraih ponsel dari tanganku dan buru-buru menghapus video tersebut.
"Percuma kamu hapus, toh aku udah lihat juga sebelumnya. Hebat ya, kalian bermain kasih di belakangku?" kataku sinis sambil bertepuk tangan pelan.
"Gimana rasanya bersetubuh dengan Aisyah? Adikku yang paling manis dan lebih cantik dariku, huh? Ah, gak usah kamu jelasin. Aku udah tahu betul apa jawabanmu!" ucapku kembali dengan getir, menahan rasa pedih di hati.
Alex meremas kuat ponsel di tangannya, seolah berusaha menahan amarah. Akhirnya dia tak tahan lagi dan menghardik.
"Ya, aku sangat menikmatinya! Aisyah jauh lebih peduli, lebih perhatian, bahkan dia bersedia memuaskan nafsuku di ranjang! Dan itu semua gak bisa kamu lakukan! Cih, menjaga kehormatan katamu, huh?! Maaf, tapi aku butuh kepuasan, bukan sekadar cinta omong kosong belaka!"