"Keindahan... alam...?" Azric tanpa sadar melontarkan kalimat itu, meskipun bahkan dirinya sendiri tidak sepenuhnya yakin kenapa. Mungkin karena langit terlalu biru, atau karena kupu-kupu tadi terlalu... bersinar? Entahlah.
SWINGGG! — Sebuah suara angin menebas udara di belakangnya.
"Hm? Sepertinya ada yang memperhatikanku... atau hanya ilusi serangga iseng belaka?"
Suara itu… lembut seperti bisikan bunga musim semi, tenang dan penuh kasih. Tapi... gerakan pemilik suara itu? Terlalu cepat. Terlalu mematikan. Seperti boneka porselen yang menyimpan granat aktif di dalam dadanya.
Azric segera merunduk kembali ke dalam semak, napasnya tertahan. Jaraknya hanya beberapa meter dari gadis itu. Ia tampak duduk, memeluk lutut, seperti sedang menunggu seseorang atau sesuatu.
"Fiuh... untung saja dia nggak lihat ke sini," bisik Azric, merayap mundur perlahan seperti kelinci yang hendak kabur dari kandang harimau.
Namun takdir berkata lain—
BUKK!!
"Aduh! Apa-apaan—"
Sebelum sempat mengutuk nasibnya, Azric mendongak. Di hadapannya, berdiri seorang wanita berkulit cokelat gelap seperti coklat premium yang baru meleleh dari oven. Tingginya menjulang hampir dua meter. Tubuhnya seperti pahatan dewa perang: otot-ototnya padat, namun tetap membentuk lekuk feminin yang... berbahaya. Sangat berbahaya.
"Raksasa?!" ucap Azric dengan suara tercekat.
"APA-APAAN KAU, TIKUS KECIL!" bentak wanita itu, siap mengangkat tinjunya yang sebesar helm motor.
Namun—
"Nasya? Ada sesuatu di sana?" suara lain terdengar, halus dan teduh seperti kabut pagi.
Wanita raksasa —Nasya,langsung berhenti. Fokusnya teralih, dan Azric tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menghilang seperti ninja dapur.
"Bellasia! Kau baca buku lagi di taman? Aku baru saja menemukan penguntit mesum! Tapi... huh?"
Tatapan Nasya menyapu ke bawah. Tempat Azric terjatuh tadi... kosong. Tidak ada jejak. Bahkan daun pun tidak bergerak.
"Beruntung sekali kau, tikus kecil."
Bellasia menutup bukunya perlahan. "Kau yakin itu bukan ilusi, Nasya?"
...
Huh... huh... huh... Azric terengah-engah, menahan napas dan detak jantung yang berdebar seperti genderang perang. Ia belum pernah merasakan rasa takut seperti ini. Bahkan ibunya tidak pernah seintimidasi ini—oke, mungkin kecuali saat nilai ulangannya jeblok.
...
Setelah menenangkan diri, Azric menyusuri lorong sekolah. Sampai akhirnya, ia terpaksa menjawab panggilan paling sakral umat manusia: panggilan alam.
FLUSSSHHHHH!
Suara toilet bergemuruh seperti pusaran samudra Pasifik… berlebihan, memang. Tapi begitu adanya (Aku tidak tau mengapa aku menulis ini…)
KLAAK! — Pintu terbuka perlahan. Sosok besar muncul dari dalam.
Pria itu besar. Bukan besar biasa. Besar macam... Beruang Grizzly yang baru lulus gym. Bayangan di belakangnya bahkan membentuk siluet beruang sungguhan.
Azric mengusap mata. Sekali lagi.
Masih ada.
"Halo~" sapa pria itu ramah, senyumnya menggemaskan seperti boneka teddy bear. Suara bass-nya memantul di dinding toilet.
Azric membeku, hanya bisa mengangguk sambil mundur pelan.
"Atmosfernya... berubah total. Dari aura horor ke... teddy bear bersuara berat?"
...
Di lorong guru, sebagian besar meja tampak kosong. Mungkin mereka sedang bertugas jadi pengawas lapangan. Terutama setelah kerusuhan kantin barusan... penyebab utamanya: si rambut merah.
"Kenapa dia di sana? Dan siapa dua orang lain itu? Guru? Murid? Rambut putih? Ya udahlah, bukan urusanku."
Azric melenggang ke kelas. Tampak Teman misteriusnya, teman sebangkunya sedang baca manga berjudul One Bald?
...
Karena kegiatan MPLS, jam pulang dipercepat. Di gerbang sekolah, kerumunan seperti konser K-Pop. Anak-anak dijemput motor, mobil, bahkan ada yang pakai pengawalan. Anak CEO, mungkin?
"Gak peduli. Aku punya sepeda kece. Pulang, yuk."
...
Setibanya di rumah:
"AHHH!! Hari ini penuh kejutan! Dari raksasa, sampe teddy bear! Gila sih..."
Ibunya sedang nonton TV. Seperti biasa.
"Cuekin aja. Waktunya ganti baju, belajar, lalu rebahan. Hidup produktif, katanya."
Azric memang bukan tipe pemalas. Dia nggak akan buang waktu buat scroll TokTok sambil bilang 'motivasi doang' tapi nggak gerak. (Kalau kamu ngerasa kena, maaf ya, LOL :p)
"Akhirnya selesai belajar... waktunya—"
"AZRIC!! Makan sore udah siap! Kalau dingin nggak enak lho, Nak!!"
"Ma—maaa... baru juga mau rebahan..." Azric bangkit juga akhirnya. Karena, ya, makanan tetap prioritas.
Nyam. Nyam. Nyam. Nasi hancur di dalam mulut. Tekstur lauknya renyah, rasa pedasnya pas. Surga.
"Di sekolah tadi gimana, Nak?" tanya ibu.
"Ada orang gila, orang baik, misterius, ramah, kaya... dan wanita pintar nan cantik."
Ibu mendongak. "Wanita pintar dan cantik?"
"EKHEMM!" Azric nyengir. "Namanya... Bellasia."
Ibunya menahan senyum. Tapi Azric tahu, dia nggak bakal lolos malam ini.
...
Malam hari. Kota Atmaloka. Angkringan 'Pecel Lele'.
BRUKKK!
"WOY!! MINGGIR LU BNG**T! MAT* SANA LU!!"
Suasana damai hancur dalam sekejap. Seorang pemuda berdiri di atas meja, menginjak piring dan sambel yang berada di sebelahnya.
"Jadi lu, ya? Anak baru yang berani-beraninya ngusik junior gue?"
Tatapan pemuda itu tajam, namun kosong. Seperti orang yang punya masalah pribadi dengan kehidupan.
"Benar, ini dia orangnya? Si rambut merah jelek ini?!"
Cecunguk di belakangnya mengangguk takut-takut.
"Diam aja? Takut? HAH?!"
Tanpa aba-aba—
SRRAAAKKK—DOMMM!!
Satu tendangan ke perut, cukup untuk menerbangkan sang senior dari atas meja ke tanah.
"HUUAGH!!"
SRRTTT... VOSHH!!
Rambut merah itu melangkah ke depan. Tanpa ekspresi. Dengan satu ayunan, ia menghantam tengkorak si senior dengan tendangan kapak.
KREEGGG!!
Suara retakan. Seperti batu bata dihancurkan palu.
Tak berhenti di situ. Ia mengambil kursi plastik, lalu—
BRANG!! BRANGG!! BRANGG!!!
Darah muncrat. Orang-orang hanya menonton. Tak ada yang berani menyela.
Cecunguk yang tadi sok jago? Sekarang seperti boneka kain habis cuci. Si Rambut merah akhirnya membuat mereka bonyok dan berada di ujung tanduk nyawanya.
Rambut merah berdiri di antara tubuh bonyok, kembali duduk, dan menyendok nasi pecel lelenya yang belum habis.
[Name : Eric Law]
[Title : Underworld 3rd, si Cabe Gila]