WebNovelAyah Egois100.00%

Bab 1: Hukuman

Malam itu, di sebuah klub malam eksklusif di pusat Jakarta, suasana di ruang VIP penuh dengan lampu temaram dan musik keras yang menggema. Aroma alkohol bercampur dengan asap rokok memenuhi udara. Di salah satu sofa mewah, seorang pria muda berwajah khas Eropa duduk dengan tubuh yang mulai oleng. Tangan Jupiter Putra Atmaja, sang putra sulung keluarga Atmaja, memegang botol kaca berisi alkohol yang sudah setengah habis.

"Weee, Jupiter! Apa kabar, bro? Baru segini aja udah mabok? Lemah banget lo," ucap seorang pria lain yang tiba-tiba merangkul Jupiter sambil terkekeh.

Jupiter mendongak dengan mata sayu, seakan mencoba fokus pada pria itu. "Haha, santai aja, bro. Belum mabok, gue cuma pemanasan," balasnya dengan suara serak, tawa kecil keluar dari bibirnya.

Pria itu mengambil botol dari tangan Jupiter dan dengan bercanda mencengkoki alkohol ke mulutnya. Jupiter tertawa lepas, menikmati momen itu. Dalam pikirannya, ini adalah satu-satunya waktu ia merasa bebas, jauh dari tekanan sang ayah yang selalu menuntut kesempurnaan.

"WOI! Hari ini gue traktir semuanya!" teriak Jupiter dengan lantang, membuat perhatian teman-temannya beralih. "Minum sepuasnya, ini pesta gue!"

Namun, di sudut ruangan, seorang pria mengenakan seragam bartender memperhatikan Jupiter dengan cermat. Ia menyelinap ke belakang bar, menekan nomor di ponselnya. "Halo, bos. Tuan muda Jupiter sedang mabuk-mabukan lagi di tempat biasa," bisiknya.

---

Di sisi lain dunia, di padang pasir yang sunyi di Meksiko, Saturnus Putra Atmaja berdiri dengan jaket kulitnya. Ia menatap kosong ke arah horison, satu tangan menyelipkan rokok, sementara yang lain bermain dengan kunci mobilnya.

Tak lama, sebuah mobil mendekat dengan lampu menyilaukan. Seorang pria dengan wajah tirus turun dari mobil, membawa kantong plastik kecil berisi bubuk putih di tangannya.

"Sini," kata Saturnus dingin dalam bahasa Inggris, matanya menyorot penuh antusiasme.

Pria itu menyerahkan kantong tersebut, dan Saturnus dengan tergesa membuka dan menghirup bubuk itu langsung dari plastiknya. "Hahhh... this feels so good," katanya, matanya mulai kehilangan fokus.

Namun, transaksi itu tak luput dari pandangan seorang pria lain yang bersembunyi di kejauhan. Pria itu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Bos, tuan muda Saturnus sedang transaksi narkoba sekarang."

---

Di Tokyo, di sebuah hotel mewah, suara tawa dan obrolan samar terdengar dari balik pintu sebuah kamar. Di dalam kamar, Bumi Putra Atmaja, si anak ketiga keluarga Atmaja, duduk santai di antara beberapa wanita muda. Botol-botol minuman keras berserakan di lantai, dan aroma parfum mahal bercampur dengan alkohol menyelimuti ruangan.

Bumi menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan senyum puas di wajahnya. Baginya, uang ayahnya adalah tiket menuju kebebasan. Ia tidak peduli apa kata orang—selama ia bisa menghabiskan uang untuk kesenangan, hidupnya terasa berarti.

Di lorong hotel, seorang pria berkemeja hitam berdiri diam, memegang ponsel. "Halo, bos. Tuan muda Bumi sedang 'bermain' dengan wanita-wanita di kamar VIP," bisiknya dengan tenang.

---

Sementara itu, di Jakarta, di tengah jalanan yang penuh cahaya lampu jalan, suara deru motor sport memecah keheningan malam. Merkurius Putra Atmaja, si anak bungsu, menghentikan motornya di tengah kerumunan anak-anak muda yang menunggu balapan liar dimulai.

"Weee, Merkurius! Udah lama lo nggak nongol!" teriak salah satu dari mereka sambil tertawa.

Merkurius membuka helmnya, rambutnya yang basah karena keringat menyembul. "Yah, bokap gue tuh, orang kolot itu bikin ribet aja," katanya sambil tertawa kecil.

Tak lama, seorang pria dengan motor besar mendekat. "Weh, balapan yok, taruhan 20 juta," tantangnya.

Merkurius tersenyum sinis, darahnya mendidih karena tantangan itu. "Oke, gue juga 20 juta," jawabnya penuh percaya diri.

"Kalau rekening lo diblok lagi sama bokap lo gimana?" ejek pria itu.

Merkurius menatap pria itu tajam. "Kalau gue kalah, ambil motor gue."

Di kejauhan, seorang pria lain memperhatikan kejadian itu. Ia merogoh ponselnya dan berbicara pelan, "Bos, tuan muda Merkurius sedang balapan liar lagi."

---

Di lantai 20 sebuah gedung pencakar langit di Jakarta, Lio Putra Atmaja berdiri di depan jendela besar, menatap gemerlap lampu kota. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. Di belakangnya, Dean, tangan kanannya, berdiri menunggu instruksi.

"Bos Lio, seperti yang Anda dengar, anak-anak Anda kembali membuat masalah. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Dean hati-hati.

Lio mendengus, kedua tangannya bersedekap. "Hah. Blokir rekening Jupiter, Bumi, dan Merkurius. Biar mereka nggak bisa bayar alkohol, wanita, atau transfer kekalahan balapan," katanya dengan nada datar.

Dean mengangguk. "Dan untuk Saturnus?"

Lio menoleh dengan tatapan tajam. "Suruh Fachri bikin dia dihajar pengedar yang lagi transaksi sama dia. Biar dia tahu, dunia nggak akan baik sama orang lemah."

Di telepon, suara Fachri terdengar. "Siap, bos."

Lio menatap bayangan dirinya di kaca jendela. "Jupiter, Saturnus, Bumi, Merkurius... Mukulin kalian nggak bikin kalian berhenti. Tapi kali ini, kalian akan belajar dengan cara yang lebih keras."

Malam itu, di kota yang tak pernah tidur, keluarga Atmaja memasuki babak baru yang lebih gelap—saat cinta, dendam, dan ambisi saling bertarung dalam bayang-bayang kehancuran.

To be continued...