Bab 2, Keputusan yang Terlambat

Suara tangisan tertahan mengisi ruangan, bercampur dengan napas panik yang memburu. Ibu berdiri gemetar di ambang pintu, kedua tangannya menutupi mulutnya, seolah ingin menahan jeritan yang hendak pecah.

Lina, di sisi lain, berdiri kaku, matanya terpaku pada sisa-sisa tubuh Dimas yang berserakan di lantai kamar. Bau anyir memenuhi udara, membuat perutnya bergejolak. Ia ingin menjerit, ingin berlari, tetapi kakinya terasa berat.

"Kita harus pergi dari sini," suara Lina akhirnya keluar, nyaris berbisik.

Ibu tidak menjawab. Matanya masih dipenuhi keterkejutan.

Lina menggenggam tangan ibunya erat. "Ayo, Bu. Sekarang!"

Tanpa pikir panjang, mereka berdua berlari keluar rumah, meninggalkan potongan tubuh Dimas yang mulai menghitam seolah membusuk dalam hitungan detik.

Mereka tidak berani menoleh ke belakang.

Langkah mereka terhenti di depan rumah tetangga—rumah Bu Ratna. Lina mengetuk pintu dengan panik, dan tidak lama kemudian, seorang wanita tua membuka pintu dengan wajah bingung.

"Astaga, Lina? Ibumu? Ada apa ini?" tanya Bu Ratna cemas, melihat ekspresi ketakutan mereka.

Lina menelan ludah. Ia ingin menjelaskan, tetapi suaranya tercekat. Ibu lebih dulu menjawab, dengan suara bergetar,

"Dimas… dia… dia sudah tiada."

Bu Ratna terdiam, matanya melebar. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Lina menarik ibunya masuk ke dalam rumah. Mereka duduk di sofa, berusaha menenangkan diri.

Hening.

Ibu masih menggenggam dadanya, wajahnya pucat pasi. "Kita harus pergi dari rumah itu, Bu," bisik Lina akhirnya.

Ibu menoleh padanya dengan tatapan kosong.

"Aku tidak bisa tinggal di sana. Aku tidak akan membiarkan Ibu tinggal di sana sendirian," lanjutnya, suaranya lebih mantap. "Aku punya rumah di Bandung. Kita bisa pindah ke sana. Ibu bisa tinggal bersamaku."

Ibu menatap lantai, matanya berkaca-kaca. "Rumah itu…"

"Rumah itu sudah terkutuk, Bu," potong Lina. "Natalia… Ayah… Dimas… semua menghilang begitu saja. Aku tidak ingin kita menjadi yang berikutnya."

Lina menelan ludah, suaranya semakin bergetar. "Ibu satu-satunya keluarga yang tersisa."

Ibu mengusap wajahnya, berusaha mencerna semuanya. Kemudian, ia mengangguk lemah. "Baik… Kita pindah."

Lina menghela napas lega, seolah beban besar baru saja diangkat dari pundaknya.

Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama.

Mereka harus kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang.

Dan saat mereka kembali… sesuatu yang janggal terjadi.

---

Rumah itu tampak berbeda.

Pintu yang tadi mereka biarkan terbuka kini tertutup rapat. Cahaya lampu dari dalam tampak terang, seolah rumah itu baru dan tidak pernah dihuni sebelumnya.

Lina dan ibu saling berpandangan.

"Apa kita salah rumah?" bisik ibu, tetapi Lina menggeleng.

Tidak mungkin. Ini rumah mereka.

Mereka melangkah masuk perlahan.

Di dalam, tidak ada jejak kehancuran. Tidak ada barang yang berantakan. Tidak ada darah.

Semuanya rapi. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ibu berdiri di tengah ruang tamu, matanya mengitari sekeliling. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang sama dengan Lina.

"Ini… aneh."

Lina menelan ludah, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyergap. "Kita kemasi barang secepatnya, lalu pergi dari sini."

Mereka segera naik ke lantai atas. Ibu masuk ke kamarnya untuk mengemas pakaian, sementara Lina masuk ke kamarnya sendiri. Tangannya bergerak cepat, memasukkan barang-barang penting ke dalam koper.

Tapi saat ia keluar dari kamar…

Ia melihatnya.

Pintu kamar Dimas.

Tadi… tubuh Dimas ada di sana. Hancur. Berserakan.

Lina berhenti di depan pintu.

Tangannya terangkat, perlahan mendorongnya terbuka.

Dan…

Jasad Dimas telah menghilang.

Tidak ada potongan tubuh. Tidak ada kepala. Tidak ada tangan.

Hanya darah yang masih menggenang di lantai, merah pekat, seolah baru saja mengering.

Jantung Lina hampir berhenti.

Sama seperti Natalia.

Mereka menghilang tanpa jejak.

Seseorang… atau sesuatu… telah mengambil mereka.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari belakangnya.

Lina berbalik cepat.

Tidak ada siapa-siapa.

Hanya lorong yang kosong.

Dan saat itu, ia menyadari satu hal.

Ia masih memakai cincin yang ia ambil dari kamar Natalia.

Dan cincin itu… kini terasa lebih berat di jarinya.

To Be Continue...