Bab 9, Rahasia yang Terungkap

Setelah kejadian menyeramkan di tengah hutan, keenam orang itu terus berjalan menuruni gunung dengan napas tersengal. Langkah mereka terburu-buru, seperti dikejar sesuatu yang tak terlihat. Rasa takut masih menempel di tubuh mereka, seakan udara malam yang dingin menusuk kulit tak cukup membuat mereka menggigil.

Juna, yang berjalan di belakang, tampak gelisah. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak tadi. Ia akhirnya menghentikan langkahnya, membuat yang lain ikut berhenti.

"Kalian sadar nggak, ada sesuatu yang aneh?" Juna berkata pelan, matanya menyapu wajah teman-temannya.

"Apa maksudmu?" tanya Natan, menatapnya dengan heran.

Juna menghela napas. "Aku baru ingat sesuatu… Kasus Natalia… Itu terjadi di gunung ini, kan?"

Lina langsung membeku. Detak jantungnya terasa semakin cepat.

"Ya… aku tahu," jawabnya pelan.

Mereka semua saling bertukar pandang. Kesadaran itu menghantam mereka seperti hantaman palu. Mereka tidak hanya diteror oleh Natalia, tetapi juga berada di tempat di mana semua itu bermula.

"Aku ingin tahu lebih lanjut," kata Juna. "Tapi tempat ini terlalu terbuka. Kita harus cari tempat yang lebih aman untuk bicara."

Di depan mereka, samar-samar terlihat sebuah gubuk kayu kecil, seperti tempat peristirahatan darurat bagi para pendaki. Bangunannya tampak usang, tetapi masih cukup kokoh untuk dijadikan tempat berlindung sementara.

Tanpa membuang waktu, mereka masuk ke dalam.

---

Di dalam gubuk yang gelap dan lembap itu, mereka duduk melingkar dengan satu senter sebagai penerang. Lina menggenggam lututnya, merasa tak nyaman. Semua mata tertuju padanya.

"Jadi… siapa sebenarnya Natalia?" tanya Rara, suaranya bergetar.

Lina menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat.

"Natalia adalah kakakku."

Ruangan menjadi sunyi.

"Sebenarnya aku sudah tahu sedikit soal kasus ini dari berita," lanjut Lina. "Tapi ibu juga menceritakan semuanya kepadaku. Lima tahun lalu, Natalia dan teman-temannya mendaki gunung ini… tapi hanya Natalia yang berhasil turun dengan selamat. Yang lain, satu per satu, mati mengenaskan."

Sela menelan ludah. "Mereka… dibunuh?"

Lina mengangguk. "Mayat mereka ditemukan di berbagai tempat… tubuh mereka tercabik-cabik, seolah diterkam sesuatu."

"Jadi…" Nana bergidik, "Natalia melihat semuanya?"

"Ya."

Semua terdiam. Pikiran mereka berusaha mencernanya.

"Dan sekarang," suara Lina melemah, "dia kembali… membunuh siapa saja yang ada di jalannya."

Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara napas mereka yang terdengar.

Tiba-tiba, Juna mengendus udara dengan dahi berkerut.

"Kalian mencium sesuatu?" tanyanya.

Mereka saling berpandangan, lalu mulai memperhatikan udara di sekitar. Benar saja, ada bau busuk yang perlahan menyusup ke hidung mereka—bau yang tajam, menyengat, dan tidak seharusnya ada di tempat ini.

Mereka langsung menyalakan senter, mencari sumber bau itu.

Dan saat itulah mereka melihatnya.

Di sudut ruangan, terduduk seorang pria dengan kepala tertunduk. Tubuhnya kaku, kulitnya pucat seperti lilin. Dari wajahnya yang sudah membusuk, masih bisa dikenali bahwa dia dulunya adalah seseorang yang hidup… seseorang yang pernah memiliki cerita.

Reza.

Salah satu teman Natalia yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.

Rara menutup mulutnya, menahan jeritan. Nana mundur beberapa langkah, hampir jatuh karena kakinya gemetar.

"Mayat…" bisik Natan.

Mereka semua mundur dengan napas tersengal. Ini bukan lagi sekadar cerita. Ini nyata.

Dan kemudian… sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.

Dari sudut ruangan, suara langkah pelan terdengar. Mereka membeku, mata mereka melebar dalam kengerian.

Di sebelah mayat Reza, seorang gadis duduk dengan tenang. Tangannya yang pucat mengusap wajah Reza dengan lembut, seperti seorang kekasih yang masih merindukan pujaan hatinya.

Natalia.

Hatinya yang kosong tampak dipenuhi emosi yang rumit—kesedihan, kemarahan, kehilangan.

Lalu, ia mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan senyum miring yang mengerikan.

"Lagi ngomongin aku, ya?"

To Be Continue...