Bab 12, Amarah yang Terlepas

Rumah itu masih berdiri kokoh, seolah menunggu mereka kembali.

Malam sudah turun, dan udara dingin semakin menusuk.

Lima orang berdiri di depan rumah yang seharusnya kosong itu.

Rumah Natalia.

Rumah yang telah menjadi saksi dari begitu banyak tragedi.

Lina menggenggam erat jaketnya. Hatinya terasa berat.

"Jadi… kita benar-benar masuk?" tanya Nana dengan suara ragu.

"Kita harus memastikan semuanya," jawab Natan.

Tanpa berkata apa-apa, Lina melangkah maju.

Mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban.

Ia meraih kenop pintu dan…

Klik.

Pintu terbuka dengan sendirinya.

---

MENGELILINGI RUMAH NATALIA

Begitu mereka melangkah masuk, aroma anyir langsung menyergap.

Darah.

Masih berceceran di beberapa sudut rumah.

Semua tetap sama seperti dua minggu lalu.

Natan dan Lina naik ke lantai atas.

Sementara Rara, Nana, dan Sela menyusuri bagian bawah rumah.

Langkah kaki mereka menggema di kegelapan.

Saat mereka sampai di depan kamar Dimas, Lina menelan ludah.

Pintu itu sedikit terbuka.

Di dalamnya, hanya ada sisa darah kering dan keheningan yang menyesakkan.

Dimas sudah lama menghilang.

Lina mengalihkan pandangan.

"Ayo," katanya pelan.

Mereka melanjutkan perjalanan ke kamar Natalia.

Dengan tangan gemetar, Lina memutar kenop pintu.

KLIK.

Pintu terbuka, memperlihatkan kamar yang tak tersentuh sejak ia pergi.

Namun, ada sesuatu di meja rias.

Lina melangkah mendekat.

Sebuah kertas.

Dengan tinta merah yang mengering.

Lina membaca tulisan itu dengan suara bergetar:

"Kau ingin melepas cincinnya? Lakukanlah."

---

CINCIN YANG TERLEPAS

Lina menatap tangannya.

Cincin itu masih ada di jarinya.

Tapi… sesuatu terasa aneh.

Seakan longgar.

Ia mencoba menariknya.

Dan… cincin itu lepas dengan mudah.

Selama ini, cincin itu tidak pernah bisa ia lepas.

Jantungnya berdegup kencang.

Lina merasa ada sesuatu yang salah.

Angin dingin tiba-tiba berhembus dari jendela yang tertutup.

Saat itulah…

Suara itu terdengar.

"Lina…"

Lina membeku.

Suara itu…

Berbisik langsung di telinganya.

Ia menoleh ke cermin meja rias.

Bayangan seseorang berdiri di belakangnya.

Seseorang yang tidak seharusnya ada di sana.

Matanya membelalak.

Natalia.

Memandangnya dengan mata kosong dan senyuman mengerikan.

Lina ingin berteriak, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak.

"Lina…" suara itu kembali berbisik.

Lina merasakan napas dingin di tengkuknya.

Lalu…

BRAK!

Tiba-tiba, seluruh rumah bergetar.

Lampu padam.

Dan dari bawah, terdengar teriakan.

---

KEMATIAN YANG LEBIH MENGENASKAN

Rara, Nana, dan Sela berlari ke arah pintu depan.

Namun, sesuatu yang tak terlihat menahan mereka.

"Kita harus keluar!" teriak Rara panik.

Namun sebelum mereka sempat bergerak…

Langkah kaki itu terdengar.

Pelan.

Berat.

Natalia turun dari lantai atas.

Dengan mata kosong dan senyuman mengerikan.

Dengan pisau yang sama.

Pisau yang dulu ia gunakan untuk membunuh ayahnya.

Pisau yang kini akan ia gunakan lagi.

Untuk membunuh mereka.

Sela mencoba membuka pintu.

Terkunci.

Ia menoleh dan…

Natalia sudah di depannya.

Dengan satu gerakan cepat…

Crotttt!

Pisau itu menembus tenggorokannya.

Sela tidak sempat berteriak.

Darah menyembur dari mulutnya saat tubuhnya ambruk.

Rara dan Nana berteriak.

Mereka berlari ke dapur, tapi Natalia lebih cepat.

Dengan satu tebasan, ia mengenai kaki Nana.

Nana tersungkur, mencakar lantai, berusaha bangkit.

Namun Natalia menendangnya hingga terjatuh lagi.

"Kau tidak seharusnya ada di sini," bisiknya.

Lalu…

Pisau itu menusuk dadanya berulang kali.

Nana hanya bisa memandang kosong sebelum tubuhnya tak lagi bergerak.

Rara terduduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar.

Matanya dipenuhi air mata.

"Kenapa…" suaranya bergetar. "Kenapa kau melakukan ini… Natalia?"

Natalia tersenyum.

"Kau tidak akan mengerti."

Dan dalam sekejap…

Pisau itu menembus jantungnya.

Darah membasahi lantai saat tubuh Rara jatuh tanpa nyawa.

---

Kini, hanya tersisa dua orang.

Lina dan Natan.

Mereka mendengar semuanya dari lantai atas.

Dan mereka tahu…

Mereka tidak akan keluar dari rumah ini hidup-hidup.

To Be Continue...