Selena menatap dua garis merah di alat uji kehamilan di tangannya.
Jantungnya berdebar. Tangannya gemetar.
Ia positif hamil.
"Ezra..." bisiknya lirih.
Ezra yang baru keluar dari kamar mandi, menatapnya dengan bingung. "Ada apa?"
Selena mengangkat alat tes itu dengan tangan bergetar. "Aku... aku hamil."
Sesaat, Ezra hanya menatapnya, seolah belum bisa memproses kata-kata itu.
Lalu, dengan cepat ia mendekat dan menarik Selena ke dalam pelukannya.
"Kita berhasil..." suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan.
Mereka menangis dalam kebahagiaan, tidak percaya bahwa mereka akhirnya mencapai titik ini.
Namun ada satu hal yang terasa aneh.
Malam itu... rumah mereka sunyi.
Tidak ada suara bisikan.
Tidak ada ketukan di dinding.
Tidak ada tangisan bayi yang mengganggu tidur mereka.
Semuanya... terlalu tenang.
2
Hari-hari berlalu tanpa gangguan.
Ezra dan Selena bisa tidur nyenyak.
Tidak ada benda yang bergerak sendiri.
Tidak ada sosok yang muncul di cermin atau di sudut kamar mereka.
Rasanya seperti... rumah itu telah kembali normal.
Seolah-olah roh-roh yang menghantui mereka sudah pergi.
Mereka mulai berpikir bahwa mereka telah menang.
Mungkin kehadiran bayi mereka telah membawa cahaya yang mengusir kegelapan di rumah ini.
Namun, jauh di dalam hatinya, Selena merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Keheningan ini terasa... salah.
Terutama karena satu hal yang mengganggunya—sejak hari ia mengetahui kehamilannya, ia tidak pernah lagi melihat Natasya.
3
Malam itu, Selena berdiri di depan cermin di kamar mandi, mengusap perutnya yang masih datar.
Ia tersenyum sendiri, membayangkan kehidupan yang akan datang.
Namun tiba-tiba, lampu kamar mandi berkedip.
Selena menegang.
Ia mengangkat wajah, menatap bayangannya di cermin.
Lalu ia melihatnya.
Natasya.
Berdiri di belakangnya.
Namun kali ini, wajahnya berbeda.
Mata Natasya kosong, tetapi penuh dengan sesuatu yang tidak pernah Selena lihat sebelumnya—kegilaan.
Rambutnya berantakan.
Bibirnya sobek, seolah ia telah merobeknya sendiri.
Dan pakaiannya? Tidak lagi berlumuran darah seperti biasanya.
Kali ini, pakaiannya seperti seorang wanita hamil.
Selena membeku, ingin berteriak, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak.
Lalu, perlahan, Natasya tersenyum.
"Selamat, Selena..." bisiknya.
"Kau mendapatkan sesuatu yang seharusnya menjadi milikku."
Tiba-tiba, cermin di depan Selena retak, membentuk pola menyerupai pecahan tulang.
Selena tersentak mundur, memegangi perutnya.
Natasya mengangkat tangan ke arah Selena, dan suaranya berubah menjadi jeritan histeris.
"KAU TIDAK BERHAK ATASNYA!!!"
Cermin hancur berkeping-keping.
Lampu kamar mandi meledak.
Dan Selena terjatuh ke lantai, menangis ketakutan.
4
Ezra berlari ke kamar mandi, menemukan Selena terduduk di lantai, tubuhnya gemetar.
Ia segera memeluknya. "Apa yang terjadi?! Selena, kau baik-baik saja?"
Selena terisak, menggenggam perutnya erat-erat.
"Natasya..." suaranya bergetar. "Dia kembali..."
Ezra mengernyit. "Apa maksudmu? Kita sudah tidak pernah melihat mereka selama berminggu-minggu."
Selena menatapnya dengan mata penuh ketakutan.
"Dia tidak pernah pergi, Ezra. Dia hanya... menunggu."
Ezra menegang. "Menunggu apa?"
Selena menelan ludah.
"Menunggu aku hamil."
Ezra merasakan bulu kuduknya meremang.
Selena melanjutkan dengan suara bergetar, "Dia... dia gila, Ezra. Dia iri padaku. Dia merasa aku telah merebut sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya."
Ezra mengepalkan tangannya.
"Dia tidak bisa melakukan apa pun, Selena. Kita tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."
Selena mengangguk, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini baru permulaan.
5
Malam itu, Selena tidak bisa tidur.
Ia hanya bisa memeluk perutnya, mencoba melindungi anaknya dari sesuatu yang tak terlihat.
Ezra tertidur di sampingnya, tetapi tidurnya gelisah.
Lalu, di tengah keheningan malam, Selena mendengar sesuatu.
Suara tawa.
Perlahan, ia membuka matanya.
Di ujung ranjang, berdiri seseorang.
Natasya.
Tapi kali ini, bukan seperti hantu yang biasa Selena lihat.
Kali ini, tubuhnya lebih nyata.
Lebih hidup.
Natasya menatap Selena dengan ekspresi bahagia.
Lalu dengan suara yang mengerikan, ia berbisik:
"Kita akan menjadi ibu bersama-sama."
Selena membelalakkan mata, tubuhnya menegang ketakutan.
Namun sebelum ia sempat berteriak—
Tiba-tiba, tangan Natasya menembus perutnya.
Selena merasakan sesuatu yang dingin dan menyakitkan menjalar ke dalam rahimnya.
Ia ingin berteriak, tetapi tubuhnya kaku.
Natasya tersenyum lebih lebar.
"Bayimu adalah bayiku."
Gelap.
6
Pagi harinya, Selena terbangun dengan napas tersengal.
Ia langsung memegangi perutnya.
Masih ada.
Namun ada sesuatu yang berbeda.
Ia merasa lemas.
Ezra melihatnya dengan wajah cemas. "Kau baik-baik saja?"
Selena menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Ezra..." suaranya hampir tidak terdengar.
"Dia ingin anak kita."
Ezra menggenggam tangannya erat. "Kita tidak akan membiarkan dia mengambilnya."
Namun Selena hanya bisa menangis.
Karena ia tahu, ini bukan lagi sekadar gangguan biasa.
Ini adalah perang.
Dan Natasya sudah memulai serangannya.
To Be Continue...