Selena duduk di sofa ruang tamu, tangannya erat menggenggam perutnya yang masih datar.
Di sampingnya, Ezra tampak gelisah, bolak-balik memeriksa ponselnya.
Mereka telah sepakat.
Teror ini sudah tidak bisa ditangani sendiri.
Mereka membutuhkan bantuan.
Ezra menghubungi seorang ulama ternama—Ustaz Rahman, seorang yang terkenal karena kemampuannya mengusir makhluk tak kasat mata.
Dan hari ini, pria itu akan datang untuk melakukan ritual pengusiran di rumah mereka.
Mereka berharap... ini bisa mengakhiri semuanya.
Namun, mereka tidak tahu bahwa yang akan terjadi justru sebaliknya.
2
Satu jam kemudian, suara bel berbunyi.
Ezra segera membuka pintu, dan di depan rumah berdiri Ustaz Rahman—seorang pria berusia sekitar 50-an, berjubah putih dengan sorban melingkar di kepalanya.
Tatapannya tajam, penuh wibawa.
Di belakangnya, dua orang asistennya membawa perlengkapan untuk ritual: air zam-zam, tasbih, kitab suci, dan dupa khusus untuk pengusiran makhluk halus.
Begitu masuk ke dalam rumah, Ustaz Rahman langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.
Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam.
Kemudian ia berbisik, "Mereka tidak ingin kita di sini."
Selena dan Ezra saling bertukar pandang.
"Hanya ada dua kemungkinan," lanjut sang ustaz, "Mereka pergi dengan cara baik-baik... atau mereka melawan."
Ezra menelan ludah.
Selena memegangi tangannya erat.
3
Ritual dimulai saat matahari mulai terbenam.
Ustaz Rahman duduk di tengah ruang tamu, sementara Selena dan Ezra duduk di belakangnya.
Dupa dinyalakan, menyebarkan aroma khas ke seluruh ruangan.
Air zam-zam mulai dipercikkan ke setiap sudut rumah.
Dan bacaan ayat suci mulai menggema di udara.
Awalnya, tidak ada yang terjadi.
Semuanya terasa normal.
Namun perlahan-lahan, sesuatu mulai berubah.
Udara di dalam rumah terasa lebih berat.
Lampu mulai berkedip.
Dan tiba-tiba, suara ketukan terdengar di dinding.
Tok... Tok... Tok...
Ustaz Rahman tetap tenang.
Ia melanjutkan bacaannya, mengabaikan suara-suara aneh yang mulai mengisi ruangan.
Namun kemudian, suara itu berubah menjadi suara tangisan.
Tangisan perempuan.
Lirih, menyayat hati, seperti seseorang yang sangat berduka.
Selena merinding.
Itu suara Natasya.
Lalu tiba-tiba—
BRUGGG!!
Pintu kamar terbanting sendiri dengan keras.
Dupa yang menyala terjatuh ke lantai.
Ustaz Rahman tidak gentar. Ia justru semakin meninggikan suaranya.
Dan saat itulah, sesuatu yang mengerikan terjadi.
4
Cermin besar di ruang tamu retak.
Lalu, dari dalam cermin itu, sesosok wanita perlahan muncul.
Natasya.
Namun kali ini, ia berbeda.
Kulitnya lebih pucat.
Matanya lebih hitam.
Dan di perutnya... ada sesuatu yang aneh—seperti seorang wanita yang sedang hamil.
"Pergi..." suaranya bergetar penuh kebencian.
Ustaz Rahman menatapnya tajam. "Engkau bukan penghuni rumah ini. Kembalilah ke tempatmu."
Natasya tertawa miring, kepalanya sedikit miring dengan gerakan yang tidak manusiawi.
"Rumah ini milikku.
Anak ini milikku.
Hidup Selena... juga milikku."
Selena mencengkeram tangan Ezra semakin erat.
Ustaz Rahman mulai membaca ayat yang lebih kuat, dan tiba-tiba, Natasya menjerit kesakitan.
Tubuhnya bergetar, seperti ada sesuatu yang menariknya kembali ke dalam kegelapan.
Namun sebelum ia menghilang, ia menatap Selena dengan tatapan yang mengerikan.
"Aku akan kembali."
Lalu, ia menghilang.
Dan suasana kembali sunyi.
5
Selena menghela napas berat.
Tangannya masih gemetar, tetapi ia merasa sedikit lebih lega.
Ezra menggenggam bahunya, mencoba menenangkan.
Ustaz Rahman berdiri, mengusap keringat di dahinya.
"Untuk sementara, mereka mundur," katanya. "Tapi ini belum selesai."
Selena menatapnya dengan panik. "Apa maksudnya, Ustaz?"
Pria itu menatap mereka dengan serius.
"Makhluk seperti mereka tidak mudah pergi. Mereka hanya mundur sementara... menunggu kesempatan untuk menyerang lagi."
Selena dan Ezra menelan ludah.
"Jadi... kita masih dalam bahaya?" tanya Ezra.
Ustaz Rahman mengangguk. "Rumah ini sudah ternodai oleh tragedi. Dan roh yang tertinggal memiliki keterikatan yang sangat kuat. Mereka tidak akan pergi dengan mudah."
Selena memegangi perutnya dengan penuh kecemasan.
Ia tidak hanya takut untuk dirinya sendiri... tetapi juga untuk anaknya.
Ezra menatap istrinya dengan penuh tekad.
"Kami tidak akan menyerah."
Ustaz Rahman tersenyum tipis.
"Kalian harus kuat. Jika mereka kembali, hadapilah dengan doa dan keyakinan."
Ezra dan Selena mengangguk.
Mereka tidak akan lari.
Mereka akan melawan.
Namun mereka tidak tahu... bahwa teror yang lebih besar masih menunggu di depan.
To Be Continue...