Matahari Zherion bersinar terang pagi itu, menembus kaca jendela kelas dan memantul pada layar holo-penunjuk yang mengambang di depan ruang. Ezora duduk diam di barisan ketiga dari depan, menatap ke luar jendela tanpa benar-benar memperhatikan pelajaran yang tengah disampaikan.
Sudah seminggu sejak insiden di kapal selam itu terjadi. Sudah seminggu sejak ia menghancurkan segala sesuatu dalam keadaan yang bahkan tidak sepenuhnya ia ingat. Dan kini... dunia terus berjalan, seolah-olah tak ada yang pernah terjadi.
Tapi tidak baginya.
"Aku berubah," batinnya.
***
Bel istirahat berbunyi.
Kantin sekolah dipenuhi suara riuh obrolan dan langkah kaki. Di antara keramaian itu, Ezora duduk sendiri di sudut dekat jendela, mengaduk minuman hangatnya yang sudah mulai dingin. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk menyusun rute menuju Distrik 9 malam ini—daerah paling terlupakan di bawah jembatan neon kota. Tempat di mana data tak menjangkau dan keberadaan manusia nyaris dihapus.
"Ezora!"
Sebuah suara ceria memecah lamunannya. Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan yang diikat ke samping menghampirinya sambil membawa kotak bekal berwarna perak.
"Zeneva..." Ezora mengangguk, sedikit terkejut.
Zeneva menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Murid pindahan dari akademi militer itu memiliki aura gadis klub musik—ceria, energik, dan terlalu hangat untuk dunia yang mulai terasa dingin.
"Kamu lagi banyak pikiran, ya?" tanya Zeneva sambil membuka bekalnya, mengeluarkan nasi bento dengan telur setengah matang yang tampak rapih.
Ezora ragu sejenak. "Nggak juga… mungkin cuma kurang tidur."
Zeneva memiringkan kepala, menatapnya lekat-lekat. "Wajah kamu kayak... 'jauh dari sini'. Kayak kamu lagi duduk di dua tempat sekaligus."
Ezora tersenyum tipis. "Mungkin aku memang sedang di tempat lain."
***
Sesaat keduanya terdiam. Hanya suara siswa lain dan denting peralatan makan yang terdengar.
"Aku suka kamu, Ezora," kata Zeneva tiba-tiba.
Ezora nyaris tersedak. "Hah?"
"Maksudku… kamu itu aneh, tenang, tapi kayak... menyimpan sesuatu." Zeneva menggigit potongan wortel. "Aku nggak punya masa lalu, tahu nggak? File hidupku rusak. Identitasku dimasukkan ulang pakai data darurat militer. Tapi saat lihat kamu... entah kenapa aku kayak pernah punya teman seperti kamu juga."
Kalimat itu menusuk. Ezora menatap Zeneva—penuh cahaya, tapi di balik matanya ada kehampaan sunyi.
"Aku iri sama kamu," lanjut Zeneva. "Kamu punya hidup normal. Teman, sekolah, proyek AI keren. Aku? Aku cuma... alat. Yang bahkan mengandalkan chip stabilizer buat tetap bangun tiap pagi."
Ezora menunduk. Kenyataan yang Zeneva idamkan adalah ilusi. Karena dirinya pun bukan gadis biasa. Dan kalau Zeneva tahu kebenarannya... mungkin dia tak akan duduk di sebelahnya lagi.
***
Malam hari, Distrik 9
Ezora menyusuri lorong sempit dengan hoodie gelap menutupi wajah. Bau sampah, logam, dan hujan bercampur dalam udara. Cahaya neon dari atas jembatan hanya menyentuh sedikit permukaan tanah—membuat bayangan tampak lebih hidup dari manusia.
Di bawah jembatan besar, sekelompok orang berkumpul di sekitar tong api. Sebagian tidur dengan selimut plastik, lainnya duduk diam dengan tatapan kosong. Anak-anak berlarian tanpa suara.
Ezora menghampiri seorang pemuda bersandar di dinding berlumut. Bajunya lusuh, tangannya gemetar sedikit.
"Nama?" tanya Ezora pelan.
Pemuda itu mendongak, terpaku pada mata Ezora yang berpendar samar dalam gelap.
"...Zie."
"Kau bisa membaca kode?"
"…Sedikit. Kenapa?"
Ezora mengangguk. Ia menyodorkan tablet holografik. Teks ungu menyala pelan di tengah layar: LEGACY OF SHADOW AND TRUTH.
"Ini adalah undangan. Aku sedang membangun sesuatu. Organisasi. Namanya… LOST."
Zie menatapnya, bingung sekaligus takut. "Kenapa aku?"
"Karena kau sudah dihapus dari data," ujar Ezora. "Dan hanya yang sudah hilang… yang bisa benar-benar melihat."
Dalam minggu-minggu berikutnya, Ezora merekrut lebih banyak.
Anak jalanan, eks-prajurit, peretas yang dibuang sistem. LOST tumbuh dalam diam, bersembunyi di celah-celah kota, di antara kabel dan kebisingan mesin. Setiap anggota adalah hantu data, dan setiap dari mereka mendapat kehidupan kedua bersama Ezora.
Tapi di permukaan, sekolah tetap berjalan.
Zeneva masih duduk di samping Ezora setiap istirahat. Membawa cerita-cerita kecil, kadang tertawa terlalu keras. Kadang menatap jendela terlalu lama.
Ezora mulai curiga—bukan karena Zeneva tahu sesuatu. Tapi karena ia menyembunyikan sesuatu. Sama seperti dirinya.
***
Suatu malam, di ruangan bawah tanah terlantar yang dulunya pusat distribusi air kota, lampu neon tipis menyala redup. Kabel-kabel menggantung dari langit-langit seperti akar, dan layar-layar holo di dinding berkerlap-kerlip menampilkan data-data kota yang tak tercatat di sistem pusat.
Di tengah ruangan beton itu, Ezora berdiri dikelilingi para anggota barunya.
Mereka mengenakan pakaian seadanya. Ada yang membawa senjata usang, ada yang menenteng terminal hacking. Mata-mata mereka menyala dengan keyakinan baru.
"Mulai hari ini," ucap Ezora, suaranya mantap, "kita bukan lagi hantu kota. Kita bukan hanya data yang dilupakan. LOST akan bergerak dari balik layar. Dan saat mereka sadar… semuanya sudah terlambat."
Seseorang bertanya dari balik kerumunan, "Apa tujuan kita, pemimpin?"
Ezora menatap ke arah layar utama, di mana lambang LOST—huruf L bercahaya ungu membentuk mata terbalik—muncul perlahan.
"Membuka mata dunia," jawabnya.
Dan dalam hatinya, suara itu kembali berbisik:
"Bukalah matamu... karena putri kegelapan telah bangkit."
Ezora menutup matanya. Ia bisa merasakan denyut mata kanannya, seperti pulsa dari dunia lain. Dingin. Dalam. Mencengkeram.
Dan di tempat lain, jauh dari sana… satu mata lagi terbuka dalam kegelapan.