"Eh?" Semua anggota keluarga menganga, terkejut dengan ucapan Tuan Amca.
"Tapi, Azy hanya—"
"Aku menginginkannya, bukan gadis yang tidak sopan itu," Kata Tuan Amca dengan tegas, membuat ayah ibu serta Aza merasa sedikit malu.
*
*
Makan malam itu pun berakhir, hanya meninggalkan sisa kekesalan dan kemaluan pada Keluarga Air, termasuk gadis yang sok cantik itu.
"Yah, lumayan untuk menambah koleksi mainan baru," Kataku bergumam, menyeringai puas.
Sebenarnya tidak juga sih. Hanya saja, aku memilih Azy karena dia cukup pendiam. Gadis pendiam itu langka, harus segera dimiliki atau tidak akan segera diambil oleh orang lain.
Simpel, anggun, dan juga tenang. Itulah Putri Azy. Tapi yang kupikirkan adalah rumor buruk tentangnya.. apakah itu semua benar? Atau hanya sekedar kebohongan belaka?
Kurasa tidak ada salahnya untuk dekat seseorang, bukan? Selagi belajar memahami pribadi dari seorang gadis. Lagipula, ketua sialan itu benar. Cepat atau lambat, aku akan menikah dan melahirkan ahli waris.
"Kalau dipikir-pikir.. interaksi antara aku dan Putri Azy adalah yang pertama dalam seumur hidupku, kan?"
Pernikahan kami berdua akan diselenggarakan pada bulan Januari nanti, bertepatan dengan hari dimana Putri Azy ulang tahun.
Sebagai bentuk perkenalan diri lebih jauh, Ketua dan Dewi membuat sebuah rumah besar untuk kami berdua tinggal. Dengan campuran air dan api, bersatu menjadi sebuah mansion besar.
Hari ini, hari dimana Putri Azy datang. Gerbang halaman terbuka, memperlihatkan kereta dengan dua kuda di depannya. Dan satu sosok yang kukenal—Putri Azy.
Yang membuatku ingat tentang dirinya adalah tinggi tubuhnya yang bisa dibilang pendek, wajah agak bulat dengan bola mata bulat yang besar.
Beberapa pengawal berdiri di sekitarnya, salah satunya memegang tangannya—perlahan menuntunnya turun dari kereta.
Kemarahan memuncak dalam diriku, tatapan ku membara. Betapa beraninya dia memegang tangan dari seorang gadis yang akan menjadi istriku?
Bukan karena apa—tetapi karena memang begitulah kenyataannya. Dia, Putri Azy, gadisku, seseorang yang akan menjadi istriku di hari yang akan mendatang.
Namun, aku tetap menjaga ekspresi ku tetap netral. Tanpa mengatakan apapun, aku segera melangkahkan kakiku mendekatinya—menepis tangan pengawal itu dari tangan sang Putri. Agak kasar.
"Kau mengotori tangannya," Aku membentak, menatap tajam ke arah pengawal yang berdiri dengan bingung.
Tidak menunggu tanggapannya, aku melepaskan sarung tangan berwarna putih miliknya, melemparnya ke sembarang arah sebelum menyekanya dengan sapu tangan yang kubawa di saku.
"Tu—"
"Diam."
Aku gugup. Aku malu. Aku takut. Aku gembira. Aku bingung. Aku—tidak tahu! Apakah ini adalah salah satu cara yang sering dilakukan oleh pasangan tunangan lainnya?
Aku benci ini. Bagaimana jika Tuan Amca melihat bekas luka di punggung dan dibagian dekat tulang selangka ku? Bagaimana? Aku tidak ingin membuatnya salah paham.
Tidak peduli apa yang kurasakan, sepertinya Tuan Amca tidak merasakan apapun. Seperti biasa—tenang.
Beberapa pelayan dan pengawal membungkukkan badan mereka. Memberikan sambutan hangat yang meriah untukku dan juga Tuan Amca, cukup membuatku terkejut.
"Nona Azy!" Sapa salah satu pelayan dengan riang.
Dia cukup cantik, lebih tinggi dariku sekitar.. 2cm? Entahlah.
Namun, sapaan itu bagaikan sebuah tombol di salah satu tubuhnya yang membuat Tuan Amca mendidih karena marah..
"Aku tidak peduli denganmu. Enyahlah dari hadapan Putri Agung milikku,"
Cukup mengejutkan, apakah Tuan Amca selalu seperti itu? Menyeramkan! Bagaimana bisa dia bisa bersikap kasar pada orang lain?
Yah.. aku tidak terlalu peduli. Apapun demi mendapatkan kembali ketenangan ku, aku merasa lega.
Pintu dibuka, memperlihatkan pemandangan kolam renang.. di dalam ruangan? Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan jelas. Yang pasti—itu besar dan megah.
"Lepaskan pakaianmu dan pakai ini," Kata Tuan Amca, menyerahkan jubah mandi yang hangat padaku.
Lembut-nyaman. Aku pun melepaskan gaunku. Membiarkan kain itu jatuh ke lantai sementara aku memakai jubah mandi yang telah diberikan sebelum berbalik ke arahnya.
Sekilas, ekspresi kagum terlintas di matanya, sebelum dengan cepat bagaikan kilat diganti dengan ekspresi tegas seperti biasanya.
Apakah Tuan Amca berencana membantuku untuk mandi? Astaga.. untung saja jubah ini berlengan panjang dan menutupi punggung ku dengan sempurna.
"M-maaf.. tapi, sebelumnya.. anda tidak perlu repot-repot membantu saya.." Kataku, bergumam lemah.
"Jangan idiot. Aku ingin membantumu dan memastikan mu mandi dengan benar. Terutama setelah bajingan itu menggenggam tanganmu dengan mesra." Tuan Amca membalas dengan ketus.
Mau bagaimana lagi.. aku pun menganggukkan kepala dengan berat hati. Selama Tuan Amca memandikan ku, aku terus bersandar pada bathub. Menolak untuk berbalik ataupun bersandar padanya maupun membuka jubahku sedikit. Aku takut luka di punggung dan dadaku terlihat.
*
*
Ini tidak terlalu buruk. Memiliki seseorang di sisiku dan memanjakannya cukup memuaskan. Mengingat sebentar lagi kami akan menikah.
Tapi, rasanya begitu canggung.
Ada apa dengannya? Setelah beberapa hari kami tinggal bersama, sikapnya selalu aneh. Entah itu takut ataupun waspada.
Bersembunyi, mengintip, bahkan memelototi diriku dari jauh. Apakah dia berpikir kalau aku tidak menyadarinya? Gadis bodoh.
Yah, selama tidak ada orang lain yang dapat mengganggu kami, itu tidak masalah. Apapun yang dilakukannya, juga bukan urusanku dan dia berhak melakukannya.
Namun, aku salah.
Di malam hari yang tenang. Aku sedang duduk di ruangan ku. Membaca buku tentang bagaimana cara menjadi suami idaman di masa mendatang sambil menikmati secangkir teh hangat.
Tenang. Hingga akhirnya, suara benturan terdengar. Agak keras. Para pelayan di luar ruangan ku dengan heboh segera berlari ke sumber suara.
"Ada apa ini?" Tanyaku, dengan cepat menerobos kerumunan para pelayan.
Disana, tergeletak sesosok tubuh gadis kecil. Penuh luka. Kini, wajahnya hampir penuh dengan luka sayatan. Dengan air mata yang menyertai, membuat wajahnya terlihat semakin berantakan
"Cepat bawa Nona Azy!" Kepala pelayan berseru, menyadarkan ku kembali kepada kenyataan.
Tak sempat mencerna seluruh situasi, aku melamun. Duduk di samping tempat tidur sambil menggenggam tangannya dengan erat. Apa yang terjadi? Kenapa? Kenapa Azy dipenuhi dengan luka baru?
Tangan mungilnya, terasa lemah dan dingin di tangan ku. Kontras dengan suhu tubuh ku yang lebih hangat.
Aku jadi teringat pertemuan pertama kami. Dia menyembunyikan lengannya, bukan?
Merasa penasaran, aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Lebam, lecet, dan.. bahkan tusukan?
"Jangan bilang.."
Aku membuka kancing gaunnya. Disitulah, semuanya terungkap.
Luka lama dan luka baru bersatu. Apa-apaan ini? Perbuatan siapa? Azy.. Putri yang dikenal itu, dipenuhi dengan bekas luka di tubuhnya?
Aku tidak bisa menjelaskannya secara rinci. Ini benar-benar gila. Siapa yang melakukannya?
Aku kembali duduk di kursi. Terkejut dan tidak percaya. Aku masih tidak dapat mencerna semuanya.
"Hngh-!"
Aku terlonjak. Azy? Apa dia sadar? Dengan terburu-buru, aku segera menutup kembali dadanya. Mengancing semua gaunnya dan kembali menutup tubuhnya dengan selimut.
"Putri? Kamu mendengar ku?" Aku memanggil, meraih pipinya dengan lembut.
"Jangan sentuh.."
"Eh? Kenapa? Putri? Ini aku,"
"Jangan sentuh..."
Tunggu, apa dia mengingau? Dahinya mengernyit. Keringat dingin langsung mengucur deras di wajahnya.
Apa yang terjadi? Putri ku...
"Putri.. sadarlah. Itu mimpi, oke?" Aku memanggil lagi.
Percuma, Putri Azy justru semakin gelisah. Kerutan di dahinya semakin dalam, air matanya mulai mengalir lagi.
"Jangan sentuh aku, Aza!"
Aku membeku. Aza? Jalang itu? Ada apa? Apa yang terjadi di antara mereka?
Merasa bimbang, aku memeluknya. Tidak peduli seberapa keras dia melawan. Naluri ku mengalir di dalam diriku. Aku harus melindunginya. Aku harus mengetahui semuanya.
"Putri.. ini aku. Sshhtt, jangan menangis, oke?"
"T-tidak.. lepaskan aku.. kau, kau bukan—ayah sama saja.. lepaskan!" Azy berteriak
"Putri!.." Aku membentak, tak dapat menahannya.
"Tenanglah, oke? Ini aku.. kau aman. Tidak ada gadis itu maupun ayahmu.. kau bersamaku..."
*
*
*
Haa! Senangnya hatiku hari ini! Sayang sekali ayah tidak memukulnya dengan jeruji besi. Tapi tidak apa, setidaknya dia menderita.
Hai, aku Aza. Putri tercantik di Dunia Air. Kakak mungkin lebih cantik dari ku, tapi itu dulu.
Aku imut, manja, dan yang terpenting, menyenangkan! Semua orang menyukaiku. Bahkan, beberapa lelaki muda mengajakku berkencan!
Menjadi putri dari Dewi Air itu memang sebuah anugerah. Kau dapat hidup mewah, dibayangi oleh kekayaan dan kehormatan. Sungguh, aku bersyukur.
Sore tadi, kakak datang. Dengan alasan ingin datang menemui ayah dan ibu. Aku tidak suka itu. Kakak terlalu baik. Aku tidak mau perhatian mereka beralih kepada kakak.
Sebelum kakak pergi menemui mereka, aku menghampirinya. Dengan pisau dapur yang kuambil, aku melukai pipiku sendiri.
Darah pun mengalir, kakak terkejut. Aku tidak peduli. Aku melukai pipiku yang lain, menusuknya sedikit lalu menariknya hingga menjadi luka sayatan yang lebar.
"Aza!" Kakak berseru, dengan cepat mengambil pisau itu dari tanganku.
"Apa kau gila? Apa kau baik-baik saja?" Tanya kakak dengan nada khawatir.
Mendengar keributan di bawah, ayah dan ibu segera menghampiri. Betapa terkejutnya mereka ketika melihatku terluka.
Kesempatan pun datang.
"Kakak melukaiku.. ini sakit, Bu.." Aku merengek, sementara kakak, ayah dan ibu sama-sama terkejut.
"Azy! Apa kamu gila!?" Ayah berseru, segera melihat pisau yang ada ditangannya.
"Dasar gadis brengsek!"
Untuk hukumannya, kakak dilukai pipinya sama seperti diriku. Ditambah dengan sayatan di tangannya, sebagai tambahan agar kakak sadar, kata ayah.
Kakak terdiam. Wajahnya berdarah. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Apa tidak perih? Yah, aku tidak peduli.
Salah sendiri karena tidak membela diri. Namun, membela diri bagaimana? Dia kan tetap salah hihi!