Nala membuka mata perlahan, suara cuitan burung terdengar di kupingnya. Langit-langit kayu itu menyadarkannya bahwa semalam bukanlah mimpi. Dia bangkit dan duduk. Matanya memperhatikan ruangan sekitar. Tangannya menggaruk punggungnya gatal.
Ini gue beneran jadi Anala ya. Jadi gue masuk ke cerita di novel? Kok bisa ya...
Seorang wanita paruh baya memasuki kamarnya, "sudah bangun nak," ujarnya membawa nampan kayu dan meletakannya di meja kemudian menghampiri Nala, memegang jidatnya merasakan panas tubuhnya.
Semalem itu bulan purnama, tapi ada satu hal lagi yang harus dipastikan..
"Bu.. kapan si Raka itu akan menikah?"
"Mas mu? Berapa hari lagi ya..." ujarnya menghitung jari, "enam hari lagi. Ibu udah mulai siap-siap ni buat pernikahan kakak mu, kamu sehat-sehat jangan sakit lagi. Semalem kamu kenapa keluar rumah?!"
"Itu..."
Berarti semalam Anala meninggal, tapi entah gimana caranya sekarang tubuh ini gue yang isi, jadi Anala masih hidup. Kalo kaya gini, ceritanya bakalan berubah ga ya...
"Untung ada Mas Panji yang ngeliat kamu! Kalau engga, kita sekeluarga ngga ada yang tau kamu di luar, kamu bisa mati kedinginan tau nggak!"
Nala memegang lehernya bingung. Panji?
"Kamu harus berterima kasih sama Mas Panji, kalo engga ada dia... haduh... ibu nggak bisa ngebayangin," ujarnya mengambil piring di meja. "Makan ini, habisin."
Panji! Tokoh antagonis utama di novel ini! Dia digambarkan sebagai pria kuat, tinggi besar berotot yang jadi rivalnya Raka, tokoh utama novel ini. Orang yang akan jadi pamong desa setelah ayahnya nanti. Dia tokoh kuat secara fisik dan mental yang jadi sumber semua kekacauan di novel. Dia juga akan ngebakar rumah ini karena cemburu dengan pernikahan Raka. Anjir!
Nala menatap piring kayunya yang berisikan nasi dengan ayam suir. Pening.
"Habiskan ya, kalo udah habis panggil ibu nanti kita duduk di luar, katanya kamu itu harus kena sinar matahari. Udah lama kan kamu ga keluar," ujar ibunya sambil mengelus kepala Nala, kemudian pergi keluar.
Nala menghabisi nasinya dengan berbagai macam pikiran. Skripsi gue gimana coy... pikirnya sambil meringis. Tapi gue juga penasaran sama dunia ini. Mungkin ini kesempatan gue untuk meraih kebebasan! HAHAHAHAHA! Gue akan keliling desa dan menikmati hidup gue sebagai gadis desa tanpa memikirkan kerumitan di dunia gue sebelumnya!
--
Nala duduk di bale kayu tepat berada di bawah pohon depan rumahnya. Sesekali angin menghembus. Rumah ini benar-benar dikelilingi pepohonan hijau, halaman rumahnya cukup luas dan dipagari kayu setinggi pinggang orang dewasa. Di luar pagar itu terdapat jalan setapak dari bebatuan dan tanah.
Sesekali suara burung berkicau.
Yakan... hidup itu emang harus kaya gini... santai... menikmati angin, menghirup udara segar. Karena latar cerita ini di zaman dulu banget dan bukan di zaman modern. Cocok deh sama keiinginan gue yang mau tinggal di desa.
Nala mengepalkan jemarinya kemudian membukanya lebar-lebar, begitu terus berulang sambil berpikir. Tubuh Anala ini lemah banget, masa keluar rumah malem-malem aja sampe pingsan. Tapi kerasa banget ngga ada tenaganya anjir, kalo kaya gini gimana gue mau keliling desa ngeliat pemandangan... tapi kalo di cerita itu Anala emang lemah banget si, bahkan sampe ga bisa keluar kamar saking ga ada energinya, terus akhirnya mati. Sekarang karena gue yang ada di tubuh Anala, kayanya tubuhnya bisa recovery deh, soalnya gue punya tenaga buat keluar, dalam beberapa hari kedepan gue akan jalan-jalan! Dulu gue sempet sedih karena tokoh ini mati di awal cerita, soalnya nama kita sama. Gue Nala, dia Anala. Sekarang gue malah masuk ke tubuhnya dia...
"Nala..." panggil Panji. "Anala."
Nala mengadah kaget, seorang pria dengan tubuh kekar berdiri di hadapannya. Sebelum sempat bersuara pria itu langsung duduk di sebelahnya. Tangan kanannya langsung memegang pipi Anala, keduanya saling bertatapan. Anala menahan nafasnya tanpa sengaja, menatap mata tajam yang sedang menatapnya lekat. Tangan itu turun ke lehernya. Tangannya yang laim menggenggam tangan Anala.
"Hey..." ujarnya. Anala terdiam. "Kenapa berhenti bernafas..." katanya sambil menggenggam pundak kanannya. Anala seketika menarik nafasnya, kaget. Tangan itu mengelus lengannya lembut. "Kamu sehat?" tanyanya.
"Kamu siapa..." tanya Nala. Membuat Panji terpaku.
"Maaf atas ketidaksopananku," ujarnya menarik kedua tangannya. "Perkenalkan aku Panji. Semalem kita bertemu... kamu bertanya tentang bulan... ingat?"
"Oh! Oo..ohh... itu kamu. Semalem gelap sekali, aku tidak mengenalimu," ujar Nala. "Terimakasih ya kata ibuku kamu menolongku."
"Itu bukan masalah..." ujar Panji tersenyum riang memalingkan wajahnya sambil menyisir rambutnya kebelakang dengan jemari tangannya. "Ehem.. kamu sendiri bukannya ga pernah keluar rumah ya... kenapa semalem tiba-tiba pergi keluar, bukannya kamu sakit," ujarnya kembali menatap Nala sambil meraih tangannya dan menggenggamnya dengan santai.
"Itu... aku pengen lihat bulan... tiba-tiba aja aku ada energi buat keluar, kayanya aku udah sembuh hahaha, aku akan sering-sering keluar mulai sekarang," jawab Nala semangat.
Panji mengadahkan wajahnya ke atas. Hanya ada dedaunan pohon. "Dari sini nggak kelihatan ya bulannya."
"Iya banyak pohon."
"Nanti kalau ada bulan purnama lagi aku ajak keluar mau ga, di pemandian air terjun, di bawah sana, tempatnya terbuka, di sana kamu bisa lihat langit malam dengan jelas. Indah banget, banyak bintang-bintang, kamu pasti suka."
Nala tersenyum memikirkan langit malam di dunia ini, tergiur akan pemandangan langit dengan bintang yang bersinar, selama ini dia belum pernah melihat langit dengan penuh bintang karena di kota tidak ada bintang yang terlihat. "Itu terdengar menyenangkan," ujarnya tersenyum.
Tapi ni orang bar-bar anjir, lihat otot tangannya... badannya bagus sih... tapi gue bisa mati kalo dipukul ni orang. Mengingat berbagai kelakuan orang ini di novel aslinya...
Nala tersenyum, kemudian manatap tangannya yang masih digenggam dengan erat oleh Panji. "Hangat..." ujar Nala. Panji tersenyum lebar. Nala dapat merasakan sukmanya menghangat, punggungnya yang tidak lagi kaku. Nala menarik paksa tangannya kaget. Kehangatan di tangannya itu hilang dan dia dapat merasakan tubuhnya memiliki tenaga. Ia mengepalkan jemari tangannya bingung. "Itu apa..." ujarnya takut. Berasa dikirimin tenaga, anjir! Ni orang sakti banget!
"Menurutmu itu apa, bisa ngerasain kan..." ujar Panji tersenyum.
"Nanti kamu jadi sakit... ngasih tenagamu kaya gitu..." ujar Nala menutup mulutnya dengan jemarinya takut.
"Ha? HAHAHAHA!" ketawanya besar dan sangat riang. "Kamu perhatian banget sih," ujarnya merapikan helaian rambut Nala menaruhnya di belakang telinga. "Aku bisa kasih semua energiku padamu agar kamu hidup. Gimana? Kamu mau ga nikah sama aku?"
"Hah?" Nala terpaku dengan perkataan yang keluar dengan lembut dari mulut seorang pria berbahaya di hadapannya ini. Senyumannya terlontar, begitu manis. Nala yang selama 21 tahun hidup tak pernah memiliki pacar, tak pernah diperlakukan secara romantis oleh lawan jenis, hampir saja bilang iya pada pria dihadapannya itu kalau saja bukan karena kemunculan seorang pria paruh baya yang muncul di depan gerbang kecil pekarangan rumahnya.
"Hey... ngapain itu, Panji!"
Panji menoleh, menatap sumber suara. "Bapak... kok pulang."
"Kamu ngapain! Disuruh ambil golok ngapain duduk-duduk di situ! Dari tadi orang nungguin! Lagian... sama siapa itu!" Pria tua itu berkacak pinggang. Tidak seperti Panji, pria yang dipanggil bapak itu tidak bertubuh besar seperti Panji, tubuhnya biasa saja seperti kebanyakan bapak-bapak, kumisnya hitam tebal. Panji terlihat dua kali lipat lebih besar dari bapaknya.
"Ini... ini! Kenalin! Bapak belum pernah liat pasti! Ini Nala! Anaknya Pak Bhanu! Yang tadi pagi Panji ceritain!" Panji bangkit dari duduknya dengan semangat.
"Oh! Nala!" Wajah bapak tua itu seketika tersenyum lebar, kumis-kumis itu seperti ikut tersenyum, dia terlihat seperti bapak yang baik. "Kenalin saya Arkatama! Bapaknya Panji!"
Panji langsung berujar, "panggil aja Pak Tama, orang-orang manggilnya gitu. Beliau ini pamong desa, kalau ada urusan yang bersangkutan dengan desa kamu bisa ketemu Pak Tama. Tapi kalau lewat aku juga bisa, kan aku anaknya. Jadi kalau ada apa-apa kamu cari aku aja ngga papa," tukas Panji panjang lebar menjelaskan dengan lembut sambil tersenyum.
Nala tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa tersenyum.
"Kok jadi kamu yang menjelaskan! Nala kalau ada urusan apa-apa ke saya! Bukan ke dia! Karena itu tugas saya sebagai pamong desa. Tugas kamu Panji! Ambil golok yang ada di rumah! Kamu ini! Bapak tunggu ya! Kamu lari ke rumah sekarang!" Tegasnya melototi Panji. Kemudian tersenyum pada Nala, "yuk Nala, mari ke pendopo, orang-orang lagi siap-siap untuk pernikahan kakakmu, semua orang ada di sana, ibumu juga ada lagi masak-masak sama ibu-ibu yang lain," ujarnya lembut.
Sebelum Nala sempat membalas, Panji sudah kembali lagi berbicara, "Nala kalau mau ke bawah sama aku aja ya, tunggu sebentar aku akan pulang dulu." Panji segera pergi keluar dari pekarangan rumahnya. "Bapak duluan aja sana," katanya lalu berlari pergi.
Pak Tama tersenyum, "duluan ya Nduk.." kemudian berjalan pergi dengan cepat. Meninggalkan Nala sendirian dalam kebingungan.
Barusan ada apa sih anjiiiiir! Tangannya menggaruk pelipis bingung.