Panji muncul dengan buntalan kain coklat tersampir di punggung kirinya. Menyapa Nala dengan hangat. "Mau ke bawah ngga," kata Panji.
Nala sedikit bingung berdiri di pekarangan rumahnya.
"Tubuhmu udah enakan kan, kamu ga harus bantu-bantu. Duduk aja ngeliatin orang-orang. Selama ini kamu di kamar pasti bosen," ujar Panji tersenyum. "Kalo nanti kamu ga bisa jalan, aku yang gendong."
"Hah.. bisa kok!" tukas Nala cepat.
Panji tersenyum, "yaudah ayo,"
"Aku nutup pintu dulu," Nala berjalan ke rumahnya.
"Ngga usah aku aja," ujar Panji berlari dengan riang kemudian menutup pintu rumahnya. "Ayo..."
"Aku bisa jalan kok Panji," ujar Nala melihat kelakuan Panji.
"Biar kamu ga kebanyakan jalan, nanti capek," ujarnya berdiri di depan Nala.
"Yaudah ayo," ujar Nala berjalan pergi.
"Sebentar," kata Panji.
Nala menoleh. Ekspresi wajahnya seperti berkata, ada apa lagi.
Panji menyisir rambutnya pelan ke belakang,"Aku kan lebih tua dari kamu, aku nih seumuran kakakmu loh, lebih tua setahun mungkin..."
Nala menunjukan wajah bingung.
"Boleh gak kamu manggilnya Mas Panji, jangan Panji aja..."
"Oh... iya Mas Panji..." ujar Nala sopan.
Panji tersenyum, "yauda ayo kita ke bawah." Wajahnya tersipu malu, perasaannya terasa sangat senang sekarang.
Ini orang harus dibaik-baikin biar ga ngebakar rumah gue, pikir Nala.
--
"Tempatnya jauh ga..." ujar Nala.
"Deket kok, dikit lagi. Habis pepohonan ini langsung keliatan balai besar," jawab Panji melangkah kecil menyamai langkah kaki Nala.
"Kain yang kamu bawa isinya apa, bukannya disuruh bawa golok tadi?"
"Iya ini isinya golok, buat orang-orang. Biasanya dari jauh-jauh hari kalau ada pernikahan orang-orang bikin hiasan dari bambu-bambu, kadang bikin kursi tambahan, meja, goloknya dipake juga buat motong hewan..." ujar Panji menjelaskan.
Gila aja tu buntelan segede itu isinya golok semua, emang bahaya ini orang, kita harus hati-hati... pikir Nala.
Tak lama mulai terlihat balai pendopo dari kayu yang terlihat megah. Di sekitarnya tidak banyak pepopohan rimbun, tapi hawanya masih adem. Di sebelah kanannya ada lapangan diantara pepohonan dan daerah di sekitarnya cukup lapang. Terlihat suasananya cukup ramai.
"Nah itu balai desa, biasanya perayaan besar dilakuin di sana. Sehari-hari juga biasanya dipake anak-anak latihan nari, mewarnai kain, main alat musik, buat tidur-tiduran juga bisa," jelas Panji.
"Kenapa ibu-ibu itu masak sekarang, kan pernikahannya masih lama," tanya Nala.
"Kan yang laki-lakinya kerja, jadi yang perempuan masak buat makan kita... gitu."
"Ooh... jadi nanti ada makan-makannya."
"Iya nanti agak siangan."
"Oh... itu ibuku... kenapa semua orang ngeliatin kita."
Tanpa mereka sadari setiap mata memandangi mereka. Dua manusia yang sangat mencolok kehadirannya. Nala yang tidak pernah keluar rumah, wajahnya tampak asing dengan tampilan yang sangat berbeda karena kulit yang putih pucat membuatnya menjadi menarik mata banyak orang. Ditambah Panji, pemuda berbadan besar yang hanya tau bertarung sedang berjalan bersama anak perempuan dengan wajah bahagia, sungguh pemandangan langka.
"Nala, kenapa kamu ke sini..." ujar Raka menghampiri. Tatapannya tajam ke arah Panji.
"Tenang aja dia udah sehat, kalau ada apa-apa aku yang tanggung jawab," kata Panji.
Kenapa dia yang tanggung jawab... batin Nala.
"Engga kok, Nala bosen di rumah, ngga ada orang. Katanya ibu di sini, aku mau ketemu ibu."
"Ibu di sana," kata Raka menunjuk tempat ibu-ibu berkumpul.
"Yaudah, Nala ke sana. Makasi Mas Panji," tukas Nala segera pergi.
"Iya hati-hati," kata Raka.
"Ngga usah bantu-bantu, duduk aja," kata Panji.
Raka dan Panji saling tatap. Raka menyipitkan matanya tajam, Panji tersenyum lalu berlalu melewatinya, menurunkan buntalan kain yang dibawanya dan membukanya lebar-lebar.
Nala menghampiri ibunya yang berkacak pinggang melihat kehadirannya.
"Kamu ngapain ke sini," katanya mendelik.
"Nggak ada orang di rumah. Di sini rame, Nala mau liat juga. Udah sehat kok, kuat."
"Eyyy si geulis, siapa ini cantik pisan," kata ibu-ibu yang sedang memotong-motong sayuran.
Nala tersenyum, "saya Nala, anaknya Pak Bhanu."
"Eealaaaah! Anak mu Yu!"
"Ngga pernah keluar bukannya lagi sakit!"
"Putih banget kulitnya."
"Nggak pernah keluar, nggak kena sinar matahari."
"Itu putih karena sakit, pucet!"
"Udah sehat ya?"
"Cantik ey, tapi kurus banget."
"Kurus banget, kamu nggak kasih makan Yu."
Banyak sekali celotehan ibu-ibu yang berkumpul. Nala jadi topik utama perbincangan karena tiba-tiba muncul.
Nala disuruh duduk dan hanya memperhatikan, matanya sibuk mengamati orang-orang yang sedang heboh. Harusnya kalo kemarin malam Nala mati, ibu-ibu ini sibuk masak untuk upacara kematian. Pernikahan Mas Raka akan diundur. Kemudian akan ada isu-isi buruk tentang keluargaku. Fitnah, teror, dan kebencian. Kemudian rumahku terbakar. Ibu terluka. Keluargaku akan pindah ke desa bawah, dan pernikahan itu akhirnya batal. Entah karena alasan apa, keluarga Dhyan membatalkannya. Lalu bapak meninggal, dipukuli sampai mati oleh preman pasar. Orang-orang suruhannya Panji. Orang itu... berbahaya. Anak buahnya banyak. Dia masih muda tapi ada banyak orang yang rela mati untuk melindunginya. Saat itu aku berhenti membaca bukunya, masih ada banyak halaman yang belum terbaca, aku ingat tebal sisa buku yang belum ku buka. Aku terlalu takut untuk melanjutkan ceritanya. Aku benci sekali dengan tokoh utama yang begitu lemah. Mungkin diakhir cerita, Raka akan membalaskan dendamnya, tapi aku tidak yakin apa orang itu bisa memiliki dendam. Kemudian sekarang Anala hidup. Cerita akan berjalan ke arah yang berbeda. Pernikahan akan terjadi beberapa hari lagi. Pertanyaannya apa yang akan dilakukan Panji untuk membatalkan pernikahan ini...
Nala mentap Panji yang sedang memegang bambu dan golok. Sedetik kemudian Panji menoleh menatapnya, dia tersenyum.
Lihat manusia liar itu, melambaikan goloknya padaku. Tersenyumlah Nala, siapa tau dia akan melemparnya jika kamu abaikan...
Nala tersenyum kemudian segera mengalihkan pandangannya menatap seorang perempuan dan mengajaknya bicara.
Panji dikejauhan dengan semangat memotong bambu ditangannya.
--
"Nah bapak ibu sekalian, mohon perhatiannya semua," ujar Pak Tama yang tengah berdiri di depan balai. Semua orang dengan rapih duduk saling berhadapan, dihadapan mereka ada nasi dan lauk pauk yang ditata di atas daun pisang yang disusun memanjang, terdapat banyak barisan, semua warga berkumpul mulai dari yang muda sampai yang tua.
"Salah satu warga kita yang selama ini sakit dan hanya bisa berbaring di rumah, sekarang sudah sehat. Mungkin bapak ibu, dan adek-adek sekalian belum kenal. Sini nak maju," kata Pak Tama menyuruh Nala bangkit dari duduknya.
Nala bingung di suruh maju tiba-tiba. Orang-orang celingak-celinguk mencari sosok yang dimaksud. "Ga papa, maju aja biar orang-orang pada kenal sama kamu," kata Pak Bhanu menyuruh Nala bangkit.
Nala bangun dan maju ke depan.
Anjaaay... ramet banget ini satu desa lagi ngumpul, deg-degannya berasa kaya mau presentasi di depan kelas... batin Nala.
"Nah kenalin, siapa namanya," kata Pak Tama pada Nala.
"Anala Bhanudara..." suaranya pelan. Nyali Nala menciut.
Panji tersenyum memperhatikan dari tempatnya duduk melihat Nala yang malu-malu.
"Suaranya pelan sekali... lemah lembut seperti perawakannya. Kenalin bapak ibu, ini Anala, anaknya Pak Bhanu! Sekarang ini udah mulai sehat, bisa keluar rumah meski agak ringkih. Doakan semoga sehat terus biar bisa berbaur sama kita-kita..." jelas Pak Tama. "Nah ini warga desa hutan, meski tidak sebanyak desa bawah orangnya, tapi di sini kita tetap erat kebersamaannya, nanti kamu kenalan sama orang-orang... saling sapa kalau ketemu," tukas Pak Tama pada Nala.
Nala hanya bisa tersenyum kikuk kemudian dengan sopan pamit untuk duduk lagi bersama keluarganya.
Kemudian acara makan siang itu berjalan dengan hikmat. Canda gurau sesekali terlontar.
"Calon istrinya Mas Raka yang mana bu," tanya Nala pada ibunya.
"Dhyan? Ya di rumahnya. Kalau mau nikah itu pengantin pria dan wanitanya nggak boleh ketemu dulu sejak seminggu sebelum pernikahan. Pengantin wanitanya di rumah aja, ga boleh keluar rumah juga... pamali."
"Ooh..." kata Nala. Nala tau adat dan latar belakang seluruh cerita di desa ini, tapi masih tetap bertanya karena sesungguhnya dia sangat penasaran dengan wujud Dhyan, perempuan yang katanya paling cantik di desa.
--
Siang berlalu cepat, sore datang menjemput. Nala berdiri memandangi jalan tak jauh dari balai.
"Kalau jalan yang itu nanti ke air terjun... kedengeran kan suaranya samar-samar," kata Panji yang tiba-tiba muncul menunjuk jalan setapak kecil di antara semak dan pepohonan, jika tidak diperhatikan dengan seksama jalan itu terlihat tidak seperti jalan karena jalannya menurun jadi terlihat seperti menghilang. "Nah kalau jalan yang besar itu untuk ke desa bawah, jalannya lebih lebar. Lewat sini juga bisa si ke desa bawah," tangannya menunjuk jalan kecil itu lagi, "cuma jalannya agak jauh, sama agak memutar," jelasnya lagi.
"Ooh..." jawab Nala pelan. "Di desa bawah ada apa."
"Ada... semuanya ada," tukas Panji. "Kamu harus liat sendiri ada apa di sana, nanti kalau mau jalan-jalan sama aku boleh."
Nala tau apa saja yang ada di desa bawah. Tempat perekonomian berputar. Di sana ada pasar besar, lahan pertanian, peternakan, berbagai hal. Nala tidak sabar untuk mengunjungi desa itu dan melihat kehidupan tradisional seperti yang ada dalam benaknya.
"Nala," panggil ibunya.
Nala dan Panji menoleh.
"Ayo pulang," lanjutnya. Semua orang bergegas meninggalkan balai karena hari mulai gelap, berpencar masuk ke dalam hutan menuju rumah masing-masing. Beberapa orang menyalakan obor di sekitar balai.
Nala dan Panji berjalan berdampingan, keluarganya jalan tak jauh di depan mereka. Jalan setapak yang mereka lalui agak menanjak perlahan, rumah mereka berada di jalur menuju pintu gerbang pendakian.
"Kalau malam, sepi ya di sini," ujar Nala.
"Iya, karena di sini hutan, malam itu jadi berbahaya karena bisa aja ada hewan buas, rumah jadi tempat paling aman."
"Waktu itu kamu ngapain malam-malam keluar rumah."
"Aku... aku biasanya ada tugas keliling desa. Jaga keamanan."
"Emang gak takut ketemu hewan buas, katanya berbahaya."
"Orang-orang yang jaga keamanan desa itu bisa bela diri semua, kamu tenang aja."
Nala tau, desa hutan ini punya pasukan keamanan yang cukup kuat. Hampir setiap pemuda di desa ini dari kecil sudah dilatih bela diri dengan keras. Nala juga tau kalau Panji berbeda, selain bela diri, dia seperti punya kemampuan khusus lebih dari orang normal. Kemampuan turun menurun berdasarkan garis keturunan. Keluarganya ditakdirkan untuk menjadi penjaga gunung ini.
"Kamu takut ya... aku kenapa-kenapa," ujarnya terkekeh geli.
"Dih... engga. Badanmu sebesar itu hewan buas juga pasti takut buat mendekat," tukas Nala. Panji terdiam. "Maksudnya, kamu kan besar, pasti hebat..." jelas Nala.
"Aku kelihatan nyeremin ya..." kata Panji.
Saat remaja, dibandingkan pemuda yang lain, Panji memang terlihat lebih besar. Dengan wajahnya yang tegas dan sorot mata yang tajam, dia memang terlihat sedikit menyeramkan. Aura pemimpinnya sudah terlihat sejak dia kecil. Orang-orang sudah segan hanya karena kehadirannya meski tanpa emblem cucu orang hebat, atau anak pamong desa.
"Engga kok, kamu kelihatan manis," ujar Nala.
Kok gue jadi kaya ngegodain dia! Tapi mukanya emang manis kalo senyum. Mukanya galak, tapi ganteng! Gimana sih!
Panji tersenyum malu, sedikit terkekeh sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Di dunia ini belum pernah ada seseorang yang menyebutnya manis. Meski itu kebohongan, Panji akan menerimanya karena itu ucapan dari Nala.
"Udah sampai..." kata Panji di depan pekarangan rumah Nala. "Istirahat ya..." ujarnya berjalan pergi. Nala hanya melambai menatap kepergian Panji.