Rahasia yang tidak ditulis

Hari berikutnya masih tetap sama suasananya.

dimulai dengan keheningan. Lira duduk di balkon kamarnya, memandangi taman belakang yang tampak terlalu simetris untuk disebut alami. Embun pagi belum mengering saat langkah pelayan terdengar mendekat, membawakan sarapan yang hanya disentuh sedikit. Lidahnya terasa mati rasa terhadap rasa, pikirannya terlalu sibuk menebak siapa dirinya sebenarnya.

Ia mulai menjelajahi rumah. Bukan karena tertarik, tapi karena tak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti rasa penasaran yang perlahan tumbuh. Setiap ruangan terlihat seperti museum indah, rapi, namun tanpa jiwa. Seolah setiap barang ditempatkan hanya untuk dipamerkan, bukan digunakan.

Namun ada satu ruangan di ujung lorong lantai dua yang menarik perhatiannya.

Pintunya tertutup. Tidak terkunci, tapi berbeda dari kamar lainnya yang terbuka lebar. Gagangnya dingin saat disentuh, dan ada suara kecil seperti desahan udara saat pintu itu dibuka.

Ruangan itu tampak seperti ruang kerja. Meja besar dari kayu mahoni berdiri di tengah, dikelilingi rak buku tua dan lemari arsip. Di balik jendela, tirai berat dibiarkan setengah terbuka, membuat cahaya pagi masuk setengah-setengah. Cukup untuk membuat bayangan di sudut ruangan terasa bergerak.

Di atas meja, ada foto bingkai kecil. Dua anak kecil berdiri berdampingan, tersenyum ke arah kamera. Yang satu berambut gelap dan tampak percaya diri, sedangkan yang satu lagi terlihat lebih tenang dan entah kenapa, wajahnya sangat mirip dengan Lira.

Namun, bingkai itu dilapisi debu, seolah sudah lama tidak disentuh.

Di dekatnya, ada satu lembar kertas tua. Tulisannya terpotong, seakan sobek dari buku atau catatan yang lebih besar.

"Jika ia mengingat, semuanya akan runtuh. Jaga dia dari dirinya sendiri."

Tangan Lira sedikit gemetar saat meletakkan kembali kertas itu. Kalimat itu menancap dalam.

Seribu pertanyaan kembali muncul di pikirannya, apa maksud semua ini?

Mengapa seseorang harus dijaga dari dirinya sendiri?

Tak lama setelah ia keluar dari ruangan, langkah kaki terdengar dari bawah tangga. Lira menatap dari bawah hingga mendapat wajah Nevan dan tubuh tegapnya yang berdiri tepat di depannya, seolah menatap dengan pandangan sulit dibaca.

"Kamu tak seharusnya masuk ruangan itu," katanya pelan, tapi nadanya cukup tajam untuk membuat Lira mundur selangkah. Nevan maju dan menarik gagang pintu untuk menutupnya rapat kemudian merogoh saku celananya, mengambil kunci dan mengunci ruangan lama itu.

"Aku hanya... mencari sesuatu yang bisa membuatku ingat," jawab Lira hati-hati.

Nevan tak langsung menjawab. Ia menunduk sebentar, lalu berkata, "Ada hal-hal yang sebaiknya tak diingat. Bahkan oleh kamu, Lira."

Ucapan itu menggantung di udara seperti kabut yang enggan sirna.

Nevan berjalan pergi meninggalkan Lira, seperti teka-teki dunia yang tidak ada ujungnya, Lira merasakan pusing di kepalanya.

Malam telah datang dengan hembusan angin sejuk, Lira kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk membuka diary hitam itu. Tapi kunci kecilnya tak ditemukan di manapun. Ia mencoba membuka paksa, tapi gagal.

Lalu ia menemukan sesuatu yang aneh.

Di balik lapisan bawah laci meja, tersembunyi secarik kertas. Tulisannya berbeda dari tulisan sebelumnya.. lebih tajam, tergesa.

"Kamu bukan Lira. Kamu bukan siapa pun yang mereka katakan. Temukan kamar di belakang lukisan bunga merah. Di sana semuanya dimulai."

Dada Lira bergemuruh. Lukisan bunga merah? Ia tidak pernah melihatnya... atau mungkin belum?

Suara langkah samar terdengar lagi. Kali ini, di lorong luar kamarnya.Ia menempelkan telinga ke pintu. Suara itu berhenti.

Dan seperti sebelumnya, bisikan datang kembali, bahkan lebih jelas dari bisikan kemarin.

"Jangan percaya mereka."

Lira dilema, siapa yang harus dia percaya? semua tampak meyakinkan.

Langkahnya kembali berlawanan arah, dia akan mencari lukisan bunga merah itu besok saja. Sekarang dia hanya ingin menatap isi kamar dengan jelas, pasti ada petunjuk di dalam sana, pikirnya.

Angin malam seperti tahu isi hatinya, hati itu kembali gelisah. Ia menggoyangkan kakinya pelan, lalu.. tak sengaja menyenggol box berukuran sedang di kolong bawah kasurnya.

Lira berdiri, berbalik dan memposisikan badannya jongkok untuk mengambil box yang sekarang sudah ia pegang.

Untuk kesekian kalinya, Lira kembali terkejut dengan ekspresi yang menjelaskan banyak pertanyaan.

Ada beberapa lembar Foto gadis dengan wajah yang hampir sama, itu.. sama seperi foto yang ia temukan di ruangan kemarin.

"Lira, siap sebenarnya perempuan ini? dan kamu siapa? aku sejujurnya tidak tau harus mendengarkan siapa, a-ku.. aku bingung.." ia menangis, begitu sakit rasanya saat merindukan seseorang yang ia tidak tau dimana tempatnya sekarang, menjadi Lira adalah takdir yang tidak Aira inginkan, Aira benci ini.

Tanpa sadar, seseorang memantau Lira dari luar kamar, berdiri sebentar lalu pergi.