Selamat tinggal teman baik...tapi ...

Keesokan paginya, langit Desa Sona masih temaram saat kereta akademi kembali datang. Profesor Erik berdiri dengan kedua tangan di pinggang, siap berangkat.

Zayan berdiri dengan ransel usang di punggung, wajahnya setengah tegang.

Hazel berdiri di sampingnya, tersenyum… tapi ada sedikit kesedihan di matanya.

> "Yakin mau berangkat?" tanya Hazel pelan.

> "Iya. Ini… kayak satu-satunya jalan yang masuk akal buatku sekarang."

Hazel mengangguk, lalu menyerahkan kotak kecil.

> "Bekal buat di jalan. Roti madu dan… harapan."

Zayan menatap Hazel, ingin bilang sesuatu, tapi…

> "TUNGGU!" suara keras menghentikan mereka.

Profesor Erik menunjuk Hazel dengan mata menyipit.

> "Kamu. Anak manis dengan energi sihir alami. Kau bukan pemuda biasa, bukan?"

> "Hah?" Hazel bingung. "Saya cuma bantu di ladang dan… kadang bantu penyembuhan kecil."

> "Justru itu! Kamu punya bakat alami. Mana-mu mengalir lancar tanpa pelatihan. Langka! Mau ikut ke akademi juga?"

Hazel membeku. "Aku? Tapi aku... aku belum pernah keluar desa."

> "Alasan tepat untuk mulai."

Zayan menatap Hazel. "Hei, kamu nggak harus..."

Hazel menggigit bibir bawahnya. "Zayan... sejujurnya, aku nggak pernah merasa punya arah di desa. Sejak kecil aku merasa... aneh. Berbeda. Kadang aku dengar suara... kadang aku melihat cahaya yang orang lain nggak lihat."

Zayan terkejut. "Kamu juga...?"

Hazel tertawa kecil. "Mungkin kita memang ditakdirkan ketemu."

Profesor Erik mengangkat kedua tangannya tinggi.

> "Kalau gitu, sudah diputuskan! Dua siswa baru! Dua benih harapan! Dua... uh, entah. Pokoknya ayo naik!"

Zayan dan Hazel saling menatap. Dalam diam, keduanya tahu: ini bukan cuma soal akademi. Ini tentang menemukan siapa mereka sebenarnya.

---

Perjalanan Dimulai

Di atas kereta, Zayan menatap jendela, melihat Desa Sona semakin kecil. Hazel duduk di seberangnya, wajahnya bercampur gugup dan penasaran.

> "Hazel."

> "Hm?"

> "Kalau nanti... hidup di sana susah, kamu boleh nyesel kok."

Hazel tertawa, lalu memukul lengannya pelan.

> "Kalau nanti kamu jadi pahlawan besar dan sombong, aku yang bakal nyesel."

Zayan tersenyum. Sistem muncul di pundaknya dengan wajah sok bijak.

> [Babak baru dimulai. Bersiaplah, Pahlawan... dan Teman Cowoknya yang Imut.]

> "Tolong jangan sebut dia gitu terus..."

---