Siang hari menyapa rumah tua itu dengan cahaya hangat yang menyelinap lewat jendela kaca buram. Ella dan Ridwan duduk bersisian di lantai ruang tengah, membersihkan tumpukan buku-buku tua yang berdebu. Sesekali mereka tertawa saat menemukan kertas-kertas berisi catatan tangan aneh atau gambar anak kecil yang tak mereka kenali.
"Ini... sepertinya bukan dari pemilik rumah sebelumnya," gumam Ella sambil mengangkat lembaran lusuh yang penuh coretan aneh. Simbol-simbol kecil seperti ukiran Aravelle, meski tak utuh. Ridwan menatapnya, diam. Pikirannya mulai menelusuri kembali jalan-jalan yang pernah ia lupakan.
Namun ia mengangguk, tersenyum kecil. "Mungkin. Atau mungkin... itu petunjuk kecil dari masa lalu kita."
Ella menatap Ridwan lama. Ada sesuatu di balik senyumnya yang terasa jauh. Tapi ia memilih diam. Di luar, matahari mulai bergeser turun.
Sore mereka lewati di dapur. Ella memasak sup kaldu dari bahan seadanya, dan Ridwan memotong roti kering sambil mencuri-curi pandang padanya. Cahaya jingga senja menyinari wajah Ella, dan di momen itu, Ridwan merasa... seolah waktu berhenti.
Ia menyentuh pipi Ella perlahan, membuat gadis itu menoleh. "Kamu tahu?" katanya pelan. "Kadang aku takut ini cuma mimpi. Bahwa besok kamu hilang lagi."
Ella membalas sentuhan itu. "Kalau pun ini mimpi, aku nggak mau bangun."
Tak ada suara lain selain detak jam tua dan gelembung kecil dari panci di atas kompor. Ella berdiri di hadapan Ridwan, lalu menyentuh dagunya dengan lembut. Tatapan mereka saling mengunci—dan dalam satu detik yang panjang itu, Ridwan menariknya ke dalam ciuman hangat yang tak ingin lekas selesai.
Ciuman itu bukan sekadar hasrat. Di baliknya ada kerinduan, ada luka yang tak terucap, ada ketakutan kehilangan yang tak pernah mereka benar-benar bicarakan. Ella memeluk Ridwan erat, seolah ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar ada di sana, bersamanya.
Mereka tetap berdiri di tengah dapur yang remang, membiarkan dunia di luar berlalu tanpa gangguan. Sentuhan mereka lembut, penuh rasa. Ridwan mengusap rambut Ella perlahan, lalu memeluknya lebih erat lagi. Dalam pelukan itu, mereka menemukan kembali sesuatu yang sempat hilang—rasa aman, rasa pulang.
Malam datang dengan perlahan, dan setelah makan seadanya, mereka naik ke lantai atas. Ella tertidur lebih cepat malam itu. Lelah dan tenang. Tapi tidak lama setelahnya, tubuhnya mulai gelisah. Napasnya berubah dangkal, jemarinya meremas seprai, dan bibirnya menggumamkan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dipahami.
Ridwan terbangun. Ia menatap wajah Ella yang tampak resah.
"Ella...?" bisiknya.
Tapi Ella tak membuka mata. Ia seperti terjebak. Matanya bergerak cepat di balik kelopak. Dan dari bibirnya, meluncur kalimat yang membuat darah Ridwan membeku.
"Aku bukan dia... aku bukan Ella itu..."
Jantung Ridwan berdentam. Kata-kata itu—ia pernah mendengarnya. Tapi bukan di sini.
Dan saat itu pula, suara itu kembali terdengar.
Tuk... tuk... tuk.
Tiga ketukan. Perlahan. Dalam. Dari lantai bawah.
Ridwan menoleh ke arah jendela, lalu ke pintu kamar. Angin malam masuk dari celah kecil, membawa serta dingin yang menggores kulit.
Lalu bisikan itu datang. Lirih. Pelan. Tapi menusuk seperti sembilu.
"Ridwan... jangan lupa aku..."
Tubuh Ridwan menegang. Ia menarik Ella ke dalam pelukannya, memeluk lebih erat dari sebelumnya.
Dan saat itu—semuanya kembali.
Fragmen yang tersebar di benaknya selama ini menabrak dalam satu ledakan memori. Aroma padang lavender. Suara tawa anak perempuan yang pernah ia jaga. Darah di tangannya. Simbol bersayap di dada. Sebuah pintu—terbuka. Dan seseorang yang hilang karenanya.
Ella.
Bukan hanya sekarang.
Tapi dulu.
Ia-lah yang membiarkan pintu itu terbuka. Ia-lah yang membiarkan Aravelle mengoyak ingatan mereka demi menyeimbangkan dunia. Dan sekarang... saat Ella mulai mengingat, saat tubuhnya tertarik kembali ke dalam mimpi-mimpi Aravelle yang kelam, semua itu terulang. Aravelle memanggilnya lagi.
Tapi tidak seharusnya Ella yang memikul beban itu.
"Sial," gumamnya pelan, memeluk Ella lebih erat. "Aku... seharusnya aku yang mengunci pintunya."
Karena ia—Ridwan—bukan hanya seseorang yang tersesat di dunia itu. Ia adalah sang juru kunci. Penjaga gerbang. Orang terakhir yang bisa menutup celah antara Aravelle dan dunia nyata.
Dan ia telah lalai.
Kini pintu itu terbuka, dan suara yang keluar dari dalamnya akan terus menghantui Ella. Menariknya. Merasuki mimpi-mimpinya, perlahan memecah kenyataan dari dalam dirinya. Hingga ia lupa siapa dirinya sendiri.
Kecuali...
Kecuali Ridwan kembali.
Kembali ke dunia yang ia tinggalkan. Dunia yang pernah melukai mereka berdua. Dunia yang tidak mengenal waktu.
Ia menatap wajah Ella. Lembut. Damai. Tapi di balik kelopak mata yang tertutup itu, Ridwan tahu, mimpi buruk sedang mengintai. Ia menyentuh keningnya, mengecupnya.
"Maaf, El... Tapi aku janji. Aku akan menutup pintunya."
Ia berdiri perlahan. Mencium bahu Ella sekali lagi sebelum mengambil jaket tua yang tergantung di belakang pintu kamar. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah senja yang mulai menyelinap.
Lalu ia turun ke lantai bawah. Tanpa suara. Hanya napas berat dan langkah kaki yang semakin mantap menuju rak buku itu—rak yang siang tadi mereka bersihkan bersama. Rak yang menyimpan celah kecil ke ruang lain yang tidak bisa dilihat manusia biasa.
Tangannya menyentuh sisi rak, mencari simbol tersembunyi di belakang kayu lapuknya. Ia menekannya.
Klik.
Udara di sekitarnya berubah. Dingin. Menekan. Seolah rumah itu sendiri menahan napas.
Dan dari balik celah rak, kabut ungu samar menyelinap keluar. Mengundangnya.
Ridwan menoleh sekali lagi ke arah tangga. Ke arah kamar tempat Ella tertidur.
"Tunggu aku..." bisiknya. "Dan jangan buka pintunya lagi, sebelum aku kembali."
Lalu ia melangkah masuk.
Dan rumah tua itu kembali diam.
Tapi di lantai atas, Ella menggeliat dalam tidurnya. Bibirnya bergerak nyaris tanpa suara, menyebut satu nama.
"Ridwan..."
Dan dari dalam mimpinya, ia mendengar suara pintu tertutup—dengan suara yang tidak bisa disalahartikan.
Pintu yang kini tak bisa dibuka dari luar.