Lampu meja masih menyala redup, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ponsel sudah ia letakkan di samping bantal, tapi pikirannya masih menari-nari liar, mengikuti jejak pesan Julian yang masih terasa hangat.
Clara menatap langit-langit kamar, berusaha mengatur napas yang entah kenapa terasa berat. Ada sesuatu yang tak biasa dalam dadanya—bercampur antara degup tak tenang, gugup, dan rasa yang sulit dijelaskan. Ia menutup mata, tapi semakin mencoba menghindar, justru bayangan Julian makin jelas di benaknya.
"Dia bukan cuma sekadar pengganggu… dia tahu cara membuatku goyah," gumamnya dalam hati.
Clara memutar posisi tidur, memeluk guling. Tapi yang terasa justru sisa hangat jaket yang kemarin malam melingkupi tubuhnya—jaket Julian. Bahkan dalam tidurnya pun pria itu hadir, dalam bentuk perlindungan diam-diam yang entah kenapa terasa... terlalu dekat.
Ia membuka mata, lalu menatap cermin kecil di sudut kamar.
"Apa yang kamu rasakan, Clar...?" bisiknya pada bayangannya sendiri.
"Jangan sampai kamu terlalu jatuh pada hal yang nggak pasti…"
Tapi kata-kata Julian bergaung kembali.
"Kali ini... jangan sampai ketiduran."
Senyum kecil menyelinap di sudut bibirnya. Godaan itu, sapaan yang hangat, perhatian yang diam-diam. Semua itu membuat benteng yang selama ini ia bangun perlahan merekah retak.
Ada rasa hangat. Ada juga rasa takut.
Tak lama kemudian, matanya mulai berat. Tapi bukan karena lelah, lebih karena pikirannya sudah terlalu penuh.
Dengan Julian. Dengan liburan besok.
Dengan kemungkinan yang mulai berani ia bayangkan.
--
Clara menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Di luar jendela, malam sudah larut, tapi matanya masih enggan terpejam. Pikirannya melayang, berputar-putar, seolah mencari alasan untuk apa yang ia rasakan saat ini.
Pesan terakhir dari Julian masih membekas. Ringan, menggoda, seperti biasa. Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Lebih dalam. Lebih menyentuh.
Namun di balik senyum kecil yang tak sengaja terbit di sudut bibirnya, Clara merasakan sebuah dorongan rasa bersalah yang tak bisa ia tolak.
"Mas Johan..."
Ia menyebut nama itu pelan, seolah takut mengusik kenangan yang masih hangat di hatinya. Wajah lelaki itu kembali terbayang—tenang, penuh kasih sayang, sosok yang selama ini mengisi hari-harinya sebelum semuanya direnggut tiba-tiba oleh takdir.
Clara memutar kepalanya ke sisi ranjang yang kosong. Sudah bertahun-tahun kosong. Tapi malam ini, kehampaan itu terasa lebih kuat, lebih menyesakkan. Terutama setelah Julian datang membawa cahaya baru yang entah dia siap terima atau tidak.
"Apa aku sudah terlalu lama menutup hati?" pikirnya.
Ia memejamkan mata. Tapi bukan untuk tidur—untuk meredam gejolak. Ada perasaan yang belum selesai. Ada rindu yang belum reda. Tapi juga ada harapan yang perlahan tumbuh—dan itu datang dari arah yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Julian...
Dia bukan Johan. Tidak akan pernah. Tapi kenapa hatinya mulai berdebar hanya karena satu pesan singkat dari lelaki itu?
"Apa Mas Johan akan marah kalau tahu aku mulai merasakan ini lagi...?"
Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari kehangatan yang dulu begitu familiar.
Tapi sekarang, semuanya berubah. Dan besok, ia akan bertemu Julian lagi.
Hatinya belum siap. Tapi mungkin... memang tak pernah akan benar-benar siap.
Clara menarik napas panjang, berbaring dalam gelap yang tak benar-benar sunyi. Detak jam di dinding terdengar seperti gema waktu yang terus berjalan tanpa ampun. Ia memeluk gulingnya erat-erat, mencari kehangatan di balik kenangan yang makin lama makin samar.
Bayangan Johan datang malam ini—dengan tatapan teduhnya, dengan sentuhan lembut yang dulu selalu mampu menenangkan badai di dalam dirinya. Ia ingat caranya Johan menyentuh pipinya saat ia sedang lelah, atau mengecup keningnya sebelum mereka tidur.
Clara memejamkan mata. Dalam gelap, ia seolah bisa merasakan lengan itu memeluk dari belakang.
Namun, pelukan itu tak nyata. Dan kerinduan itu tak bisa lagi diisi.
Clara membiarkan jemarinya menyusuri lengannya sendiri, pelan, seolah tubuhnya juga ingin mengingat sensasi yang sudah terlalu lama hilang. Tapi saat ia mulai larut dalam hasrat dan kenangan yang samar, suara lembut dari ponselnya menginterupsi segalanya.
Satu pesan masuk.
Dari Julian.
"Selamat malam, Clara. Istirahat yang cukup ya. Sampai ketemu besok pagi."
Clara menatap layar itu lama. Hanya dua kalimat sederhana. Tapi kenapa hatinya bergetar seperti ini? Kenapa pesan sesingkat itu bisa menghangatkan dadanya—padahal baru beberapa hari mereka saling mengenal lebih dekat?
Ia meletakkan ponselnya perlahan, lalu kembali berbaring. Kali ini, ia tak melanjutkan lamunannya.
Kenangan Johan masih ada, masih hangat. Tapi pesan dari Julian membawa rasa yang berbeda. Rasa yang membuatnya bingung, bertanya-tanya... dan untuk pertama kalinya sejak lama, sedikit ingin membuka diri lagi.
--
Langit masih sedikit berwarna abu-abu ketika aroma embun pagi menyelimuti desa. Suasana yang biasanya tenang kini dipenuhi gelak tawa dan suara riang anak-anak. Di depan balai desa, deretan koper dan tas besar sudah disusun rapi, menandakan antusiasme yang telah disimpan sejak beberapa hari lalu.
Bu Dewi, Bu Rina, dan Bu Tatik sibuk memastikan semua barang bawaan lengkap. Suami-suami mereka membantu mengangkat koper ke dalam bagasi mobil besar yang akan digunakan untuk liburan. Anak-anak mereka berlarian ke sana kemari, tertawa dan saling memanggil nama teman-temannya.
"Bu, aku duduknya di dekat jendela ya! Kayak kemarin waktu ke supermarket!" teriak salah satu anak sambil berlari ke arah mobil Julian yang sudah terparkir di depan, bersih dan mengilap seperti baru keluar dari salon.
Anak-anak lain pun ikut mengekor, menyerbu mobil itu seolah itu bukan sekadar kendaraan, tapi bagian dari kenangan seru mereka sebelumnya. Mereka berebut tempat duduk, berceloteh tanpa henti.
Julian yang baru datang dengan kemeja santai dan senyum hangat di wajahnya, membungkuk sedikit sambil membuka pintu belakang, "Tenang-tenang, kalian semua dapat tempat. Tapi nggak boleh dorong-dorongan, ya."
Para ibu hanya geleng-geleng kepala melihat anak-anak mereka yang terlalu semangat. Bu Dewi tertawa kecil, "Kayaknya liburannya bukan karena tempat wisatanya, tapi karena bisa naik mobil Pak Julian."
Julian tertawa renyah, "Kalau gitu saya harus bersihin mobil ini lebih sering ya, Bu. Jadi makin disayang anak-anak."
Clara berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan semua yang terjadi sambil memeluk map kecil berisi data peserta. Senyumnya samar, tapi matanya jernih. Ada sesuatu dalam sorotnya pagi itu—antara rasa kagum, canggung, dan... sesuatu yang belum berani ia definisikan.
Tatapan mereka sempat bertemu.
Dan untuk sepersekian detik, dunia terasa sunyi dari suara bocah-bocah yang tertawa.
--
Mobil sedan hitam milik Julian terparkir tepat di depan balai desa. Matahari baru muncul sepenuhnya, cahayanya menyelinap di antara pepohonan dan menerpa kaca mobil yang mengilap. Beberapa anak kecil sudah berdiri di dekatnya, saling menunjuk dan berseru gembira.
"Aku mau duduk di mobil Om Julian lagi!" seru salah satu anak, disambut tawa dari teman-temannya.
Julian membuka pintu belakang, membantu dua anak menaikkan tas kecil mereka sebelum mereka melompat masuk ke kursi belakang. "Dua orang aja, ya. Sisanya ikut mobil yang lain. Mobil Om kecil, nanti nggak muat."
Anak-anak yang berhasil ikut pun bersorak kecil. Wajah mereka berseri, seakan ikut dalam mobil Julian adalah bagian dari petualangan yang tak boleh dilewatkan.
Clara baru tiba dengan langkah cepat, rambutnya diikat rapi dan tas selempang kecil tergantung di bahunya. Matanya bertemu dengan mata Julian sesaat, lalu ia segera membuka pintu penumpang depan.
"Maaf, sempat bantu Bu Rina yang ketinggalan bekal," katanya sambil duduk.
Julian mengangguk pelan, "Nggak masalah. Justru sekarang mobilku jadi lebih tenang. Ada kamu."
Clara melirik cepat ke arahnya—mata Julian tertuju ke jalan, tapi sudut bibirnya menahan senyum.
Clara hanya tersenyum kecil, menatap ke depan, menyembunyikan detak jantungnya yang seolah melompat. "Jangan ngajarin anak-anak menggoda kayak gitu."
"Tapi aku lagi goda kamu," jawab Julian ringan, nyaris seperti gumaman.
Clara tak menjawab. Ia menahan senyumnya, lalu pura-pura sibuk merapikan jaket tipis di pangkuannya. Sementara itu, dua anak di kursi belakang mulai menyanyikan lagu anak-anak, menciptakan suasana yang hangat dalam mobil.
Di luar, warga masih bersiap di kendaraan masing-masing. Suara ibu-ibu terdengar riuh, memberi arahan, memastikan bekal, mainan, dan perlengkapan lainnya sudah aman.
Julian menyalakan mesin. Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan jalan desa. Clara mencuri pandang lagi. Ada kehangatan baru yang ia rasakan, samar… tapi nyata.
Liburan baru dimulai, dan hatinya—entah sejak kapan—sudah lebih dulu melangkah.
--