Setelah lampion-lampion terakhir menghilang di langit, perkemahan pun mulai dibongkar perlahan. Tawa dan canda dari siang hari berganti dengan keheningan yang hangat. Beberapa anak mulai menguap, digendong orang tuanya menuju mobil. Tenda dilipat, api unggun dipadamkan.
Clara membantu Bu Dewi membereskan peralatan makan, sementara Julian memastikan semua barang sudah dimuat ke dalam mobil. Lampu-lampu kendaraan mulai menyala satu per satu, menerangi jalan setapak di antara pepohonan.
"Clara, ayo. Kita berangkat sebelum anak-anak benar-benar ketiduran semua," ucap Julian sambil membuka pintu penumpang.
Clara mengangguk pelan, melihat sekeliling. Hatinya terasa berat. Ada bagian dari dirinya yang ingin tetap di sini, di antara tawa anak-anak, bintang-bintang, dan lampion yang tadi membawa harapan ke langit.
Di dalam mobil, beberapa anak yang ikut bersama Julian sudah terlelap. Clara duduk di kursi depan, bersandar sambil memeluk tas kecilnya. Perjalanan kembali ke desa terasa lebih sunyi, tapi bukan sunyi yang menakutkan—melainkan sunyi yang memberi ruang untuk berpikir dan meresapi.
Julian menyetir dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya bertumpu di jendela. Sesekali dia melirik ke arah Clara yang diam, tapi tidak tampak gelisah.
"Lampionmu tadi… warnanya paling terang," katanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Clara menoleh, tersenyum lembut. "Mungkin karena aku menaruh harapan yang paling sederhana."
Julian meliriknya sekilas. "Sederhana itu kadang yang paling dalam."
Clara hanya mengangguk pelan. Tatapannya beralih ke luar jendela, ke bayangan pepohonan yang terus berlalu.
Tak lama, satu per satu anak-anak diturunkan di rumah masing-masing. Orang tua mereka sudah menunggu, mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan dengan senyum lelah namun bahagia.
Mobil Julian akhirnya berhenti di depan rumah Clara. Suasana desa sudah tenang, lampu-lampu rumah mulai dimatikan, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menemani.
Clara membuka pintu pelan, lalu menoleh.
"Terima kasih… untuk semuanya," katanya pelan.
Julian hanya tersenyum, kali ini tanpa kata. Tapi saat Clara hendak turun, dia berkata lirih:
"Clara…"
Clara menoleh.
"Kau terlihat seperti dirimu sendiri hari ini."
Clara terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi tatapannya lembut, penuh makna. Ia menutup pintu, berjalan masuk rumahnya, meninggalkan Julian yang menatap punggungnya sebentar sebelum akhirnya melajukan mobil pelan ke rumah kontrakannya.
Malam itu desa terasa lebih hangat, meski perjalanan mereka sudah selesai—sesuatu yang lain baru saja dimulai.
Clara masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Lampu ruang tengah masih menyala samar, menyambutnya dengan kehangatan yang berbeda. Sepatu dilepas, langkahnya pelan, nyaris tak berbunyi.
Ada perasaan kosong yang menunggu di balik pintu—bukan perasaan yang menyakitkan, tapi lebih seperti ruang kosong setelah sesuatu yang menyenangkan berakhir.
Clara berdiri di depan jendela, menatap jalan yang baru saja ia lewati bersama Julian dan anak-anak. Rasanya seperti mimpi singkat. Bahkan tawaan anak-anak di dalam mobil masih terasa bergema di telinganya.
Di tangannya, secarik kertas kecil yang ia ambil dari dalam tas—kertas harapan yang ia tuliskan semalam, saat lampion-lampion melayang di langit malam.
Perlahan, ia buka lipatannya. Tulisan tangannya sendiri terasa begitu jujur hingga dadanya menghangat.
"Semoga aku bisa memaafkan diriku sendiri. Dan membuka hati… sekali lagi."
Ia menatap kata-kata itu lama, seolah membaca bagian dari dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Matanya sedikit berkaca, tapi bukan karena sedih. Lebih karena lega—karena ia akhirnya berani menuliskannya, mengakuinya, pada dirinya sendiri.
Tak ada pesan dari Julian malam itu. Dan Clara justru bersyukur. Ia butuh malam ini tanpa distraksi, tanpa godaan. Hanya dirinya dan pikirannya… dan bayangan Johan yang perlahan menjadi lebih damai dalam ingatan.
Ia menatap kertas itu sekali lagi, lalu melipatnya dengan hati-hati, menyelipkannya di dalam buku catatannya.
"Aku akan mencoba…" bisiknya lirih.
Lalu ia berdiri, mematikan lampu, dan melangkah masuk ke kamar dengan perasaan yang berbeda—tidak sepenuhnya tenang, tapi lebih ringan dari sebelumnya.
"Terima kasih, Julian…" bisiknya pelan, walau tak ada yang mendengar.
Dan malam pun berlalu dengan hening yang menenangkan.
--
Rumah Julian senyap saat ia masuk. Hanya terdengar dengung halus dari kulkas dan detak jarum jam di ruang tengah. Ia menaruh kunci mobil di meja dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Masih ada debu halus dari perjalanan tadi—tapi bukan itu yang membuat dadanya berat.
Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan secarik kertas kecil yang dilipat rapi. Lampion malam tadi telah lama terbang, tapi harapannya… tertinggal di kertas ini.
"Semoga kamu bisa bahagia… walau bukan bersamaku."
Ia menatap tulisan itu lama. Ada senyum kecil, getir, di sudut bibirnya. Tak ada nama yang tertulis, tapi ia tahu pasti kepada siapa kata-kata itu ditujukan.
Clara.
Perempuan yang bahkan tanpa sadar telah membuka celah kecil dalam benteng yang selama ini ia jaga rapat-rapat.
Julian bersandar, mendongak ke langit-langit seolah mencari jawab yang tak bisa ia katakan langsung. "Lucu, ya," gumamnya, "akhirnya aku tahu rasanya berharap… tanpa harus memiliki."
Ia tidak mengirim pesan malam ini. Tidak menggoda, tidak menyapa.
Karena justru di keheningan ini, ia ingin Clara tahu bahwa ia ada… tanpa harus memaksa.
Ia hanya menatap layar ponselnya sebentar, lalu mematikannya. Tak ingin mengganggu apa pun yang sedang Clara rasakan di rumahnya malam ini.
Lalu, sebelum tidur, Julian memeluk bantal dan menatap lampu kecil di meja, bergumam pelan:
"Kalau takdir memintaku mencintai dalam diam, setidaknya biarkan dia merasakannya… meski hanya lewat caraku menjaga jarak."
--
Kamar Clara terasa hening, hanya suara detak jam dinding yang mengisi keheningan itu, detik demi detik berjalan seperti menyayat waktu yang terus berlalu. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan piyama sederhana, rambutnya terurai sedikit berantakan. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai, seolah berharap malam bisa berbicara dan memberinya jawaban.
Ia menyender pelan, menarik napas panjang. Rasa lelah di tubuhnya tak sebanding dengan lelah yang ia simpan di hati. Ada banyak hal yang menumpuk selama ini—kerinduan, rasa bersalah, kebingungan, dan ketakutan untuk membuka hati lagi.
Wajah Johan terlintas dalam benaknya. Senyum hangatnya, genggaman tangannya yang dulu selalu membuat Clara merasa utuh. Tapi waktu telah mengambilnya, dan Clara belum pernah benar-benar mengizinkan siapa pun masuk lagi sejak saat itu.
Hingga Julian muncul.
Dan entah bagaimana, kehadiran pria itu seperti mengusik ruang yang sudah lama ia kunci rapat. Cara Julian bicara, menatapnya, atau sekadar diam bersamanya—semua itu membuat dinding pertahanan Clara mulai retak sedikit demi sedikit.
Namun rasa bersalah tetap bergelayut.
"Kalau aku membuka hati... apakah aku mengkhianati kenangan tentangmu, Johan?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Tangannya menyentuh dada, tepat di atas jantung yang berdetak dengan campuran rasa yang sulit dijelaskan. Ia tidak tahu ke mana arah perasaan ini akan membawanya. Tapi satu hal yang ia tahu: ia tidak bisa terus bersembunyi.
Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan karena sudah menemukan jawaban, tapi karena untuk pertama kalinya, ia mengizinkan dirinya bertanya.
--
Keesokan harinya, Clara bangun dengan rasa ringan yang asing, seolah malam tadi menutup luka yang sudah lama terbuka.
Clara berdiri di balik meja warungnya, menatap uap yang mengepul dari teko teh. Jemarinya menggenggam cangkir hangat, namun matanya justru kosong menatap keluar jendela kecil di sisi warung.
Perlahan, ia duduk dan menyandarkan tubuh di kursi, menatap ke arah lampion kecil yang ia simpan dari liburan kemarin. Ia menggulung lengan bajunya dan menyentuh permukaan kertas lampion itu dengan ujung jari, lalu tersenyum samar.
Lirih, hampir seperti bisikan, ia berkata pada dirinya sendiri,
"Kamu ini kenapa, sih, Clara... baru juga buka hati dikit, udah bingung sendiri."
Ia tertawa pelan, suara yang terdengar lebih sebagai pelampiasan dari rasa asing di dadanya.
"Johan pasti bakal ketawa lihat aku kayak gini. Aku tahu dia nggak akan marah... tapi tetap aja rasanya aneh. Rasa bersalah itu kadang suka datang tiba-tiba."
Ia memeluk tubuhnya sendiri, seperti memberi pelukan penguat.
"Tapi aku capek terus-terusan nunggu waktu yang tepat. Mungkin nggak akan pernah ada waktu yang benar-benar siap."
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang.
"Kalau aku harus mulai dari sekarang... mungkin nggak apa-apa, ya?"
Kemudian, suara sendok jatuh di dapur membuatnya tersadar kembali ke dunia nyata. Ia berdiri, menyiapkan piring, mengatur ulang pikirannya. Tapi hatinya, sedikit demi sedikit, mulai melepas genggamannya pada masa lalu.
--
Pagi itu warung Clara mulai ramai seperti biasa. Aroma nasi uduk dan gorengan hangat menyambut para warga yang mampir. Suara anak-anak berlarian dan tawa ibu-ibu mewarnai suasana. Clara tengah menuangkan teh saat Bu Rina duduk di bangku depan, mengipasi dirinya dengan tangan.
"Clara, kamu belum ke balai desa pagi ini?" tanya Bu Rina sambil menyeruput teh manis.
Clara menggeleng pelan, "Belum, kenapa, Bu?"
Bu Dewi yang duduk tak jauh ikut menyahut, "Tadi pagi si Julian itu ke kantor Pak Lurah. Katanya sih mau ngomongin soal program taman baca sama kegiatan untuk anak-anak desa."
"Wah, serius?" Clara sedikit terkejut, alisnya naik.
"Iya," sambung Bu Tatik. "Kayaknya dia beneran niat tinggal lebih lama di desa. Aku dengar dari Pak Lurah, Julian juga nanyain soal lahan kosong dekat lapangan, yang mau dijadikan tempat belajar outdoor."
Clara menunduk sejenak, menggenggam cangkirnya lebih erat. Perasaan hangat dan bingung bercampur jadi satu. Ia belum tahu bagaimana harus menyikapi semuanya, tapi satu hal yang pasti—Julian tidak hanya datang dan pergi seperti angin. Ia sungguh menetap. Dan dengan segala niat baiknya, ia perlahan-lahan membuat ruang di kehidupan Clara yang sebelumnya sunyi.
"Apa jangan-jangan... dia punya alasan lain ya?" celetuk Bu Rina sambil melirik Clara nakal.
Clara hanya tersenyum kecil. Tapi pipinya, tak bisa bohong. Sedikit hangat. Sedikit gugup. Dan mungkin… sedikit berharap.
--