MENJELANG AKHIR TAHUN, jalan-jalan di Qudu dipenuhi keramaian rakyat yang mengenakan hiasan kepala nao’e terbaik mereka—dianyam dari sutra atau kertas emas, dibentuk menyerupai bunga dan serangga yang melambangkan musim baru. Menyongsong datangnya Festival Musim Semi yang menandai tahun baru, rakyat jelata sibuk menyiapkan kue-kue dan olahan daging di rumah masing-masing. Di dalam istana, persiapan untuk Pesta Pejabat Istana telah dimulai sejak dua pekan sebelumnya. Seluruh jajaran Lembaga Hiburan Kekaisaran bekerja tanpa henti untuk menyelesaikan tugas mereka, namun hanya para kasim yang berhasil menangguk keuntungan di balik kekacauan itu—dengan menggelapkan sebagian persediaan.
Saat Xiao Jiming tengah mengenakan pakaiannya, Xiao Chiye membolak-balik sebuah buku catatan keuangan dengan suara berisik. “Saat para pejabat daerah tiba di ibu kota, sudah pasti po mereka harus ‘membayar penghormatan’ kepada para pejabat pusat. Tapi Pan Rugui benar-benar luar biasa dalam urusan ini; ia menyusun daftar yang sangat rapi. Baru setelah mereka menyetor uang, barulah mereka diizinkan melanjutkan.”
“Dan ini baru uang receh untuk mengawali tahun.” Lu Guangbai meniup busa pada tehnya dan menyisihkannya. “Biarlah aku beri kau sedikit gambaran: dalam satu tahun saja, jumlah uang yang masuk ke kantong seorang kasim junior di bawah Pan Rugui melampaui anggaran yang diberikan untuk satu batalion berisi seribu orang di perbatasan selama dua tahun. Sementara itu, tiap kali Zhou Agung mengerahkan pasukan, Kementerian Keuangan mendekat dengan sikap merendah, memohon seolah-olah anak kecil meminta belas kasih ayahnya. Namun setelah perang usai, kami diperlakukan seolah pengemis yang datang menagih utang.”
“Yang menguasai uanglah penguasa sejatinya,” ujar Xiao Chiye sambil tersenyum.
“Ketika kami datang menyelamatkan kaisar tahun ini, pasukan Libei harus menembus salju dan es,” kata Zhao Hui. “Prajurit dan kuda kelelahan, dan perlengkapan kavaleri lapis baja harus segera diperbaiki sebelum musim semi tiba. Pembayaran kepada bengkel-bengkel perbaikan pun masih tertunggak. Semua membutuhkan uang.” Ia berhitung dalam benaknya dengan cermat. “Sebelum memasuki Qudu, Pasukan Garnisun Libei bertani di lahan tempat kami ditempatkan, lalu menjual hasil panen berlebih untuk menambah dana operasional. Kami harus menghitung setiap sen dan menggunakan setiap sen seefisien mungkin. Bahkan istri putra mahkota tak dapat berfoya-foya membeli pakaian indah untuk menyambut Tahun Baru. Jumlah uang yang digelapkan seorang kasim istana seperti Pan Rugui melampaui keseluruhan pajak yang dikumpulkan oleh Prefektur Duanzhou. Para penyelidik dari kementerian memang gemar bersikap angkuh saat memeriksa pemerintah daerah, tetapi mereka tak berani mengucapkan sepatah kata pun tentang korupsi semacam ini ketika berada di Qudu!”
“Tapi mau bagaimana lagi? Kita memang kekurangan,” keluh Lu Guangbai. “Tahun demi tahun, kekhawatiran kita selalu berujung pada masalah dana. Setidaknya dengan Jiming berada di ibu kota tahun ini, Kementerian Keuangan tak bisa menunda-nunda lagi; mereka sudah mengajukan permohonan dana kepada Sekretariat Agung sejak lama. Pan Rugui pun bersikap lebih patuh dan telah menandatangani persetujuan. Mungkin Libei akan menerima dana sebelum ia meninggalkan ibu kota.”
Xiao Chiye menutup buku catatan keuangan dan menoleh ke arah Lu Guangbai. “Kami punya kakakku. Tapi bagaimana denganmu?”
“Paduka Kaisar tak bersedia menerima kehadiranku,” aku Lu Guangbai. “Klan Lu tidak disukai di Qudu. Delapan Klan Besar selalu menganggap kami sebagai orang-orang kasar dari gurun. Terutama Klan Hua, mereka bahkan enggan menatap mata kami. Sekalipun kau menyarankan agar aku membayar segala macam ‘penghormatan’ kepada Pan Rugui, aku tidak punya uang untuk itu; untuk makan sehari-hari saja kami nyaris tak sanggup. Garnisun lain masih bisa bertani demi bertahan hidup di masa sulit, tapi Komando Bianjun hanya memiliki hamparan pasir kuning sejauh mata memandang. Tidak ada lahan pertanian sama sekali.”
“Kali ini kami mengerahkan pasukan secara tergesa-gesa, tapi seluruh bekal bagi prajurit dan kuda selama perjalanan dibayar dari tabungan pribadi Marsekal Agung Qi. Terus terang saja, kalau bukan karena kemurahan hati Marsekal Qi, pasukanku takkan pernah berhasil melintasi Menara Pengawas Tianfei. Tapi seberapa banyak uang yang dimiliki Marsekal Qi? Ia bahkan mulai menguras mas kawin yang diberikan oleh ibu selir tuanya. Pasukan pribadinya nyaris harus menjual celana mereka sendiri! Kementerian Keuangan hanya tahu melempar tanggung jawab setiap hari—aku sudah berputar-putar bersama mereka sampai kepala pening. Ini sudah jelas kelalaian! Mereka terus menolak mencairkan dana, mengira bahwa orang dusun seperti aku tak akan mampu berbuat apa-apa.”
Jarang sekali Lu Guangbai menunjukkan amarah, tetapi kali ini ia tak mampu menahannya. Komando Bianjun menjaga perbatasan padang pasir Kekaisaran; selain Libei, merekalah pasukan garnisun yang paling sering bersentuhan langsung dengan Kavaleri Biansha. Sepanjang tahun mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hidup terseok di bawah bayang tajam sabit musuh. Tidur pun tak cukup, makan pun tak kenyang. Namun Qudu memperlakukan Adipati Biansha dengan begitu merendahkan, hingga ia dikenal sebagai pangeran paling miskin di antara bangsawan. Klan-nya tak menyimpan sepeser pun dari hadiah-hadiah kerajaan; semuanya dijual untuk membiayai kebutuhan logistik militer.
Setelah Xiao Jiming selesai mengenakan pakaiannya, para pelayan wanita keluar satu per satu, meninggalkan mereka berempat saja di dalam ruangan. Xiao Jiming menyesap tehnya dengan tenang, lalu berkata dengan nada malas, “Tepat waktu juga tahun ini—Pesta Pejabat Musim Semi. Qi Zhuyin seharusnya tiba dalam beberapa hari lagi, bukan?”
“Benar,” jawab Lu Guangbai. “Awalnya aku khawatir, tapi setelah kupikir ulang, biarlah mereka menunda perkara ini sesuka hati. Kalau mereka masih mengulur-ulur waktu hingga Marsekal Agung masuk ibu kota—yah, semoga mereka siap menerima akibatnya.”
“Dia memang sedang dipuja di Qudu sekarang,” kata Xiao Jiming. “Bahkan para bandit dan lintah darat di ibu kota pun segan padanya. Mungkin urusan keuangan saat ini bisa dibereskan, tapi kau tak bisa terus-menerus bergantung padanya. Komando Bianjun memiliki arti strategis yang sangat besar. Kudengar kemarin Kementerian Keuangan akan memintamu merekrut prajurit lagi tahun ini.”
Lu Guangbai mengelus bibir cangkir tehnya. “Perekrutan? Lupakan saja. Semua orang ketakutan setelah kejadian di Zhongbo. Kementerian memang khawatir Bianjun akan dijebol Kavaleri Biansha; mereka sangsi dua puluh ribu pasukan dan kuda di bawahku bisa menahan serangan. Tapi kalau aku merekrut lebih banyak, apa mereka akan memberi dana untuk menggaji mereka? Aku jelas tak sanggup. Bahkan jika mereka menodongkan pedang ke leherku sekalipun, aku tetap takkan melakukannya tahun ini.”
“Itu benar.” Xiao Chiye menegakkan tubuhnya. “Dulu, meski mereka lamban dalam menyediakan logistik bagi daerah lain, Kementerian Keuangan selalu cepat mencairkan dana dan jatah pangan untuk garnisun Zhongbo. Sekarang semuanya sudah mati, lupakan soal uang—bagaimana dengan gabahnya? Tak mungkin semua itu dibawa lari oleh Kavaleri Biansha saat mereka mundur.”
Tiga orang lainnya menoleh padanya.
“Anak bodoh, lupakan saja itu,” kata Lu Guangbai. “Semua gabah yang berhasil direbut kembali digunakan untuk membayar tunggakan gaji di tiga belas kota Juexi tahun ini. Sekarang kau paham kenapa Kementerian Keuangan terus menghindar? Delapan Klan Besar telah menghabiskan hampir satu dekade membangun Delapan Batalion Agung, dan perlengkapan serta anggaran mereka adalah yang terbaik di Zhou Agung. Tapi semua uang itu berasal langsung dari dana pajak—lebih dari dua juta tail! Siapa pun tahu angka itu gila! Tapi kalau Permaisuri Janda dan Sesepuh Sekretariat Hua sama-sama menutup mata, siapa di Kementerian Keuangan yang cukup berani untuk mengangkat masalah ini? Tahun lalu, tiga belas kota itu dilanda wabah belalang—tak ada satu butir pun hasil panen. Dengan luka sebesar itu pada perbendaharaan negara, dari mana lagi Kementerian Keuangan bisa mencari dana untuk menanggung beban Juexi?”
“Mereka hanya bisa bertahan berkat Komisaris Administrasi Provinsi, Jiang Qingshan,” lanjut Lu Guangbai. “Ia memaksa para pejabat prefektural dari semua tingkatan untuk membuka lumbung pribadi mereka dan membagikan pangan kepada rakyat yang terdampak. Jiang Qingshan menyelamatkan ratusan ribu jiwa, tapi ia dibenci oleh semua pejabat Juexi. Sebelum tahun baru, kudengar para penagih utang sudah mendobrak pintunya, menuntut pembayaran. Ia seorang pejabat provinsi berpangkat dua, tapi ibunya yang sudah berusia delapan puluh tahun masih harus menenun kain demi melunasi utang keluarga! Mereka sudah berada di ambang kehancuran, seandainya Qudu tak segera membayar. Pada akhirnya, Sesepuh Sekretariat Hai yang mengajukan laporan dan bertarung melawan Sekretariat Agung serta Pan Rugui selama dua pekan—dan itu pun hasilnya nyaris tak cukup untuk menutup kekurangan.”
Zhao Hui tak bisa menahan diri untuk ikut bersuara. “Para pejabat ibu kota mengaku miskin, tapi sogokan mengalir dalam jumlah besar, sementara yang benar-benar bekerja harus mengencangkan ikat pinggang. Kita berjalan di atas pecahan kaca di sini; rasanya sia-sia saja kita datang ke Qudu. Benar-benar membuat hati ciut.”
Di luar, salju turun, namun tak ada nuansa perayaan di dalam ruangan. Kekacauan menumpuk satu demi satu, dan kilau gemerlap Qudu bagai kain tipis yang mengambang di atas luka terbuka—menutupi luka meski nanah telah mencemari tanah. Salju datang tepat waktu: menyamarkan semuanya begitu indah hingga orang-orang bisa pura-pura tak melihat kebusukan di baliknya, dan tetap hidup dalam mabuk angan di negeri fatamorgana ini.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Menjelang tengah malam, Pan Rugui duduk di atas kursi sandar dengan mata terpejam. Di sampingnya tergeletak serbet kertas yang dilipat menyerupai bunga, untuk mengelap tangannya usai meditasi. Xiaofuzi tak berani menarik napas terlalu keras saat menunggu di bangku kaki, membawa wadah kuas di tangannya.
Setelah satu jam berlalu, Pan Rugui mengembuskan napas dan membuka matanya. Xiaofuzi segera menyodorkan kuas. Dengan dahi berkerut konsentrasi, Pan Rugui menuliskan beberapa kata di telapak tangan Xiaofuzi.
Xiaofuzi langsung meluncurkan sanjungannya. “Berkat bimbingan Yang Mulia akhir-akhir ini, Lao-zuzong makin tampak bersinar dari hari ke hari. Tadi, hamba bahkan melihat seberkas asap ungu naik dari atas kepala Anda—betapa pertanda yang agung!”
Pan Rugui mengelap tangannya dan bertanya, “Kau tahu kenapa kau tak diterima di Direktorat Urusan Upacara?”
“Karena Anda terlalu menyayangi hamba,” jawab Xiaofuzi cepat.
“Menyayangimu itu urusan lain.” Pan Rugui melemparkan bunga kertas ke tangan Xiaofuzi yang telah siap menangkap. “Tapi tak tahu tempat itu masalahmu sendiri. Yang Mulia sudah tercerahkan selama dua tahun, tapi bahkan ia belum memancarkan aura ungu. Aku ini Cuma seorang pelayan. Kalau aku naik lebih dulu, bukankah itu keterlaluan?”
Xiaofuzi menyodorkan secangkir teh hangat dengan senyum menjilat. “Anda adalah junjunganku, langitku. Menyaksikan Lao-zuzong bermeditasi rasanya seperti melihat Taishang Laojun sendiri! Mana mungkin hamba berpikir yang bukan-bukan?”
“Mm.” Pan Rugui berkumur. “Satu-satunya kelebihanmu yang patut dipuji hanyalah kesalehan bakti ini.”
Xiaofuzi terkekeh, lalu mendekat ke kaki Pan Rugui. “Festival Musim Semi sudah dekat; sudah sepatutnya hamba menunjukkan bakti kepada Lao-zuzong. Saat menyiapkan keperluan Tahun Baru tadi, hamba sempat melihat seorang kecantikan menawan di kediaman Pangeran Chu! Hamba sudah cari tahu, dan pikir hamba, kalau Yang Mulia tak memerlukannya… rasanya ia lebih layak dipersembahkan kepada Anda.”
“Seperti apa cantiknya dia sampai bisa disebut menawan?” gumam Pan Rugui. “Apakah ia sebanding dengan Nyonya Ketiga dari Klan Hua? Lagi pula, bukankah dia milik Pangeran Chu? Pangeran itu keras kepala—aku khawatir dia takkan melepaskannya begitu saja.”
“Sekalipun Pangeran Chu berdarah bangsawan, masa bisa lebih luhur daripada Yang Mulia sendiri?” sahut Xiaofuzi. “Yang Mulia tidak melarang, jadi kenapa hamba tak boleh mempersembahkannya kepada Anda? Jangan khawatir; semuanya akan diatur sebagaimana mestinya sebelum musim semi tiba. Nanti, saat Anda melihatnya langsung, tinggal nasibnya yang menentukan apakah ia diterima atau tidak.”
Pan Rugui meletakkan cangkir tehnya. “Tak perlu buru-buru. Aku bukan orang yang serakah ataupun haus nafsu. Tapi bicara soal Pangeran Chu yang keras kepala itu… bagaimana kabar Tuan Muda Kedua Xiao di ibu kota?”
Xiaofuzi mulai memijat kaki Pan Rugui. “Ha! Tuan Muda Kedua Xiao itu memang luar biasa. Sejak menginjakkan kaki di ibu kota, tiap malam ia berpesta pora! Selain makan, minum, dan bersenang-senang, tak ada satu pun hal berguna yang ia lakukan. Pangeran Chu dan kawan-kawannya langsung menyambutnya dengan tangan terbuka—memang benar, burung sejenis akan terbang bersama!”
“Itu semua tak jadi soal, tapi dia tetaplah anggota Klan Xiao. Yang Mulia menempatkannya di Dinas Regalia Kekaisaran, namun posisinya terasa terlalu dekat—hal itu membuatku tak tenang.” Pan Rugui merenung sejenak, lalu tersenyum. “Aku baru saja terpikir tempat yang sempurna untuknya. Kenakan sepatu untukku. Aku akan pergi ke Aula Mingli menghadap Yang Mulia!”
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Keesokan harinya menandai Perjamuan Pejabat Istana dalam rangka Festival Musim Semi. Jam demi jam berlalu tanpa kejutan, hingga perjamuan mulai memasuki penghujungnya, dan suara Kaisar Xiande terdengar lantang, memecah suasana yang mulai lengang.
“A-Ye, apakah kau merasa nyaman tinggal di Qudu?”
Xiao Chiye menghentikan gerakannya mengupas jeruk, lalu menjawab dengan tenang, “Ya, Yang Mulia. Hamba merasa nyaman.”
Kaisar Xiande mengalihkan pandangannya kepada Xiao Jiming. “Kami telah memikirkannya. Menempatkan A-Ye di Dinas Perlengkapan Kekaisaran terasa seperti menyia-nyiakan kemampuannya. Ia adalah pemuda bertalenta yang telah mengabdi di medan perang. Menahannya terlalu dekat dengan sisi kami justru terasa mengekang. Maka, bagaimana jika begini: biarkan A-Ye bergabung dengan Angkatan Darat Kekaisaran. Xi Gu’an sebelumnya memimpin pasukan itu, tapi kini ia tengah mengawasi Delapan Batalion Besar. Bebannya begitu berat—A-Ye dapat mengambil alih sebagai panglima tertinggi.”
Alis Lu Guangbai langsung berkerut dalam. Setidaknya Dinas Perlengkapan Kekaisaran masih berada di bawah pengawasan langsung kaisar. Bila terjadi sesuatu, Yang Mulia takkan bisa mengabaikannya begitu saja. Tapi Angkatan Darat Kekaisaran? Dalam beberapa tahun terakhir, pasukan itu tak ubahnya kaki tangan istana, menjalankan perintah-perintah sepele di Qudu. Jika ini dimaksudkan sebagai hadiah, seperti apa bentuk hadiah yang dibayangkan mereka?
Namun sebelum Lu Guangbai sempat bangkit dari duduknya untuk menyatakan keberatan, Xiao Chiye telah terlebih dahulu berdiri dan membungkukkan badan dalam-dalam.
“Panglima tertinggi terdengar begitu agung, hampir seperti gelar marsekal.” Ia tersenyum santai, bibirnya melengkung dengan keleluasaan yang nyaris menantang. “Terima kasih, Yang Mulia.”
Penasehat Agung Hua tertawa terbahak-bahak. “Yang Mulia sungguh arif! Inilah pahlawan muda yang tengah menapaki jalannya, Shizi.”
Suara tepuk tangan dan ucapan selamat bergema dari berbagai penjuru aula, naik dan turun bagai riak gelombang. Di antara hiruk-pikuk itu, Xiao Jiming hanya tersenyum samar. Ia menatap lekat-lekat adiknya—namun tak mengucapkan sepatah kata pun.
“Tata ini tak ubahnya sebilah pisau yang ditancapkan ke jantung Jiming,” gumam Lu Guangbai kepada Zhao Hui sambil menundukkan kepala untuk meneguk araknya.
Begitu perjamuan berakhir, Xiao Chiye menghilang tanpa jejak. Kawan-kawannya yang gaduh berebut mengucapkan selamat atas kenaikan pangkatnya, dan ia menyambutnya dengan senang hati. Baru lewat tengah malam mereka muncul kembali dari kedai arak dan rumah hiburan, dengan langkah sempoyongan.
Pangeran Chu, Li Jianheng, yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Xiao Chiye, adalah bajingan sejati. Bahkan saat melangkah menuju tandunya, ia masih menarik-narik lengan baju Xiao Chiye sambil bergumam dengan cadel, “Hebat benar kau! Di Angkatan Darat Kekaisaran, kau tak perlu repot-repot berpatroli atau berjaga. Kerja ringan, gaji cukup. Tak perlu mempertaruhkan nyawa, tapi uang tetap mengalir. Semua yang terbaik di dunia kini jatuh ke pangkuanmu! Aku yakin kau pun tertawa dalam tidurmu!”
Xiao Chiye ikut menyeringai—tajam dan jahat. “Tepat sekali. Bukankah itu sebabnya aku mengajakmu minum pertama kali? Mulai sekarang, kita akan menguasai jalanan Qudu bersama!”
“Ya, ya!” Li Jianheng mendesah kabur dan menepuk bahunya. “Itu baru semangat! Datanglah ke rumahku beberapa hari lagi… akan kuangkat gelasku lagi untukmu…”
Xiao Chiye memandangi tandu yang perlahan menjauh hingga lenyap dari pandangan, lalu naik ke kudanya. Kuda itu ia ternakkan sendiri, berasal dari garis keturunan kuda liar yang ia jinakkan di kaki Pegunungan Hongyan. Lincah dan garang, dengan bulu hitam legam kecuali bercak putih di dadanya. Saat Xiao Chiye memacunya, toko-toko di sepanjang jalan buru-buru menyalakan lentera untuk menerangi jalannya. Ia mengangkat tangan. “Padamkan.”
Para pelayan toko saling berpandangan, tetapi tak satu pun berani membantah. Lentera padam satu per satu, hingga yang tersisa hanyalah cahaya pucat bulan musim dingin yang membayang di atas jalanan berlapis es. Xiao Chiye bersiul—dan alap-alapnya meluncur turun dari gelapnya langit malam, menyambut panggilan itu dengan pekikan tajam. Ia menghentakkan tumit ke sisi kuda, dan kuda perangnya mengembuskan uap hangat sebelum melesat dalam derap kencang.
Angin dingin menghantam tubuhnya, menyapu habis sisa mabuk dari wajahnya. Dalam gelap, ia bagaikan binatang yang terpojok, berusaha mencabik jalan keluar; derap tapak kuda seperti dentuman dirinya menghantam dinding penjara tak kasatmata. Ia melaju membelah jalanan sunyi, dan senyum di wajahnya perlahan sirna ditelan malam—meninggalkan hanya dingin dan kesunyian yang menusuk.
Tak ada yang tahu sudah sejauh apa kudanya berlari ketika akhirnya Xiao Chiye terjatuh. Ia menghantam timbunan salju besar dan tetap tergeletak di sana, kepala tertunduk. Kudanya melangkah memutari tubuhnya, lalu menundukkan kepala dan menyentuh kepala tuannya. Alap-alap yang bertengger di pelana menoleh miring, menatapnya dengan sorot mata keheranan.
Xiao Chiye terbatuk, berusaha menahan diri, namun akhirnya menyerah—ia bertumpu pada tangannya dan memuntahkan isi perut ke dalam salju. Beberapa menit kemudian, ia bangkit dengan susah payah, lalu bersandar pada dinding terdekat. Cincin tulang yang dikenakannya di ibu jari terasa longgar, dan baru kini ia sadar bahwa cincin itu telah terlepas saat ia terjatuh. Ia baru saja membungkuk untuk mencarinya di antara salju ketika suara rendah terdengar dari kejauhan.
“Siapa di sana?”
Xiao Chiye mengabaikannya.
Seorang pemimpin regu dari Angkatan Darat Kekaisaran mengangkat lentera, berusaha menerangi jalan. “Berani sekali—ah, Yang Mulia?”
Xiao Chiye menoleh. “Kau mengenalku?”
Pemimpin regu itu menggeleng jujur. “Hamba khawatir tidak mengenali Yang Mulia…”
“Aku saudaramu.” Xiao Chiye menanggalkan jubah kotornya dan menundukkan pandangan kembali ke salju, mencari-cari cincin ibu jarinya. Ia mengumpat pelan. “Lentera—ke sini. Kau—ke sana.”
Pemimpin regu itu melangkah hati-hati mendekat. “Anda Er-gongzi, bukan? Kami baru saja menerima titah. Ini terlalu pagi untuk inspeksi—masih gelap. Mungkin kalau Anda datang lagi besok…”
Xiao Chiye mengulurkan tangan, dan pemimpin regu itu menyerahkan lentera kepadanya.
“Tempat apa ini?” tanya Xiao Chiye.
“Tembok ini menandai batas Qudu; ini adalah Kuil Penyesalan,” jawab pemimpin regu itu dengan hormat.
“Itu saja.”
Pemimpin regu itu tahu benar nada pengusiran; ia hendak mundur ketika suara Xiao Chiye kembali terdengar, tajam. “Shen Zechuan ada di sini? Di dalam kuil?”
“Iya.” Nada suara pemimpin regu mulai gugup. “Dia ditahan di—”
“Bawa dia keluar.”
Sejenak pemimpin regu itu tertegun. Lalu ia memprotes, “Itu tidak boleh! Sekalipun Anda Panglima Agung! Yang Mulia dengan tegas melarang—”
“Di Angkatan Darat Kekaisaran, akulah yang memegang kata akhir.” Xiao Chiye mengangkat lentera.
Pemimpin regu itu tergagap ketakutan, “Meski begitu, jangan sampai a-anda m-membunuh…”
“Aku ingin dia keluar ke sini dan menyanyikan lagu sialan untuk menghiburku!” Xiao Chiye melempar lentera, dan cahaya padam seketika. Ia berdiri dalam kegelapan, matanya perlahan dipenuhi oleh kebengisan.