Saat Xiao Chiye berangkat, angin bertiup kencang; tak lama kemudian, hujan turun. Ia melaju menembus badai, dan tiba di Akademi Kekaisaran tepat ketika salah seorang sarjana, Gao Zhongxiong, berteriak di atas kerumunan, “Sebelum si pengkhianat dihukum mati, amarah rakyat takkan reda!”
Massa para cendekiawan bersujud dan serempak berseru, “Sebelum si pengkhianat dihukum mati, amarah rakyat takkan reda!”
Hujan menampar tanah tanpa henti; jubah para cendekiawan basah kuyup.
Xiao Chiye menarik tali kekang kudanya begitu tajam hingga hewan itu menari gelisah di tempat. Ia menatap punggung-punggung yang membungkuk itu sejenak, lalu mengangkat suara. “Di mana kalian lima tahun lalu? Jika kalian, para cendekiawan terhormat ini, telah berlutut dan menyampaikan keberatan kalian sejak anak si pengkhianat pertama kali memasuki ibu kota, dia takkan hidup sampai hari ini.”
Dada Gao Zhongxiong naik turun dengan marah. “Yang Mulia Panglima Tertinggi, seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sisa Shen itu belum sempat mengepakkan sayapnya. Selama Yang Mulia bersedia mencabut pengampunannya dan menghukumnya seberat mungkin, jiwa-jiwa setia yang gugur di Zhongbo masih bisa merasa tenang!”
“Titah kekaisaran dari Putra Langit bukanlah sesuatu yang dapat dikeluarkan saat fajar lalu dicabut saat senja,” kata Xiao Chiye. “Kalian bukan memohon kepada Yang Mulia dengan berlutut seperti ini—kalian mengancamnya. Kalian semua di sini adalah orang-orang berbudi yang setia dan berbakti. Ada seratus cara untuk menyampaikan keberatan kalian—mengapa harus memilih jalan yang bodoh ini?”
“Paduka,” Gao Zhongxiong mendongak, “mereka yang memegang pedang mati di medan perang, sementara mereka yang memegang pena mati karena keberaniannya menasihati! Jika kami hanya bisa menyaksikan saat Yang Mulia ditipu untuk mengambil keputusan ini tanpa berbuat apa-apa, lebih baik darah kami tumpah di pelataran malam ini. Biarkan kematian kami menjadi bukti kesetiaan kami!”
“Setiap kalimatmu membawa ancaman kematian.” Xiao Chiye mencibir. “Setelah sekian lama belajar, Cuma itu yang bisa dilakukan kaum sipil?”
Hujan kian deras. Para cendekiawan tetap tak bergerak.
Xiao Chiye turun dari kudanya dan berjongkok di hadapan Gao Zhongxiong. Air mengguyur tubuhnya deras. Ia mendekat dan bertanya, “Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?”
Raut wajah Gao Zhongxiong menampakkan keteguhan luar biasa. “Aku bergerak karena kesetiaanku pada sang raja!”
“Kurasa tidak,” sahut Xiao Chiye malas. “Tentu saja, kalau kau ingin melindungi seseorang dari luar, silakan saja. Hanya saja, tindakanmu hari ini telah menyeret tiga ribu cendekiawan di belakangmu. Jika ini membuat Putra Langit murka dan berujung pada pertumpahan darah, kalian semua takkan ada bedanya dengan sisa keluarga Shen—para pendosa yang tercela sepanjang sejarah. Dan itu belum bagian terburuknya. Yang lebih buruk adalah: meski kepalamu terguling, Yang Mulia tetap tidak akan mencabut titahnya. Dua belas tahun kau belajar keras demi menjadi alat bagi orang lain?”
Gao Zhongxiong mengangkat tangan untuk menyeka air hujan dari wajahnya. “Aku melakukan ini demi kesetiaan dan kebenaran; ini tak ada hubungannya dengan pengkhianatan keluarga Shen! Meskipun kami bertiga ribu mati di sini malam ini dan darah kami membanjiri pelataran ini, semua itu demi Yang Mulia!”
“Istana belum mencabut jabatan Shen Zechuan, dan mereka juga belum mengeluarkan titah untuk menenangkan para cendekiawan,” kata Xiao Chiye. “Tidakkah kau mengerti maksud Yang Mulia?”
“Selama Yang Mulia belum mencabut perintahnya,” desak Gao Zhongxiong, “kami tak akan berdiri, makan, ataupun mundur!”
Petir dan badai mengguncang langit di atas mereka. Xiao Chiye berdiri tegak. Chen Yang maju membawa payung, tetapi Xiao Chiye mengangkat tangan untuk menghentikannya. Hujan membasahi jubahnya; bahkan lencana yang tergantung di ikat pinggangnya meneteskan air.
“Paduka,” bisik Chen Yang, “Pengawal Seragam Bersulam sudah tiba!”
Xiao Chiye menoleh dan melihat Qiao Tianya datang menunggang kuda di tengah hujan. Ia turun dari pelana dan memberi salam dengan menggenggam kedua tangan.
Bisik-bisik merebak di antara para cendekiawan saat mereka mengenali Kavaleri Merah.
“Masalah yang merepotkan sekali. Tak sepatutnya merepotkan Yang Mulia Panglima Tertinggi.” Qiao Tianya meletakkan tangan di gagang pedangnya dan tersenyum. “Karena yang menjadi sasaran adalah anggota Pengawal Seragam Bersulam, tentu saja kami yang harus menyelesaikannya.”
“Menyelesaikannya.” Xiao Chiye mengangkat lengan nyaris tanpa berpikir dan meletakkannya di bahu Qiao Tianya. “Bagaimana menurutmu caranya menyelesaikan ini? Ini hanya beberapa cendekiawan tak bersenjata; tak perlu sampai melibatkan Pengawal Seragam Bersulam.”
“Kaisar adalah otoritas tertinggi di Qudu.” Qiao Tianya melirik ke samping padanya. “Siapa pun yang berani menentang Yang Mulia adalah musuh Pengawal Seragam Bersulam.”
Xiao Chiye menatap matanya. Setelah beberapa saat, keduanya meledak tertawa.
“Saudaraku,” kata Xiao Chiye, “kau benar-benar pria yang setia.”
“Dingin dan basah di sini.” Qiao Tianya mengeratkan genggamannya pada pedang. “Akan kukirim orang untuk mengantar Paduka kembali ke kediaman.”
“Aku baru saja tiba.” Tangan Xiao Chiye berat di bahu Qiao Tianya, mencegahnya mencabut pedang. Masih tersenyum, ia berkata, “Tak ada salahnya tinggal sedikit lebih lama.”
“Situasinya rumit. Kenapa Paduka malah memilih terjun ke lumpur seperti ini?”
“Justru karena rumit makanya aku ikut turun; kita tak bisa menyelesaikan semuanya sekaligus,” ujar Xiao Chiye. “Lagipula, para cendekiawan ini adalah benak-benak cemerlang negeri ini. Tak satu pun dari kita sanggup menanggung dosa kehilangan mereka.”
Di barisan belakang Pengawal Seragam Bersulam, seorang pria berbaju tipis berlengan lebar turun dari kudanya. Ia tak membawa pedang; di antara yang lain, penampilannya tampak mencolok. Qiao Tianya mengendurkan cengkeraman pada gagangnya dan berseru, “Lanzhou, kemarilah sebentar.”
Shen Zechuan menoleh dan bertemu pandang dengan Xiao Chiye.
Qiao Tianya menepis tangan Xiao Chiye dari bahunya dengan gerakan malas. “Kekhawatiran Paduka memang beralasan. Namun Pengawal Seragam Bersulam tidak menyelesaikan tugas dengan membabi buta. Aku sudah membuat pengaturan; titah kekaisaran seharusnya tiba kapan saja… Nah, itu dia. Kalian berdua kenal lama, bukan? Temanilah Panglima Tertinggi sebentar, Lanzhou. Para cendekiawan ini membuatnya ketakutan.”
Shen Zechuan merapikan lengan bajunya dan memandang para cendekiawan yang masih berlutut di bawah hujan. Xiao Chiye melirik padanya. “Cepat sekali kau mengambil kembali lencanamu.”
“Token Er-gongzi juga dikembalikan dengan cukup cepat,” balas Shen Zechuan.
Xiao Chiye menyunggingkan senyum, namun dingin tetap membayang di matanya. “Sekilas, protes ini tampak diarahkan padamu, tapi sasaran sejatinya adalah istana. Rupanya kemarin belum cukup memuaskan, dan begitu keluar dari kandang, kau langsung mengobarkan badai?”
Shen Zechuan memiringkan kepala, menatapnya dengan wajah polos. “Er-gongzi menilainya terlalu tinggi. Aku mana sanggup menimbulkan badai sebesar ini. Jika istana yang dituju, entah siapa yang sedang berharap Yang Mulia berseteru dengan Klan Hua. Bukankah Er-gongzi lebih paham daripada aku?”
“Tidak juga,” sahut Xiao Chiye. “Hal-hal berbelit semacam ini bukan keahlianku.”
Shen Zechuan tersenyum tipis. “Kita ini sudah lama saling kenal. Tak perlu lagi bermain peran.”
Xiao Chiye tak menjawab. Ia hanya mengangkat satu jari dan menyentil lencana yang tergantung di pinggang Shen Zechuan. “Kantor Pelatih Gajah itu tempat yang tak buruk. Kau pasti puas.”
“Memang,” sahut Shen Zechuan. “Kebetulan aku cukup mahir menjinakkan binatang buas.”
“Itu bukan keahlian,” timpal Xiao Chiye. “Lebih tepat disebut komunikasi antar sesama makhluk.”
“Aku tak berani mengakuinya demikian,” ujar Shen Zechuan, diselingi batuk pelan. “Kalau pembicaraan kita gagal dan aku kembali ditendang, bukankah semua jerih payahku akan sia-sia?”
“Kalau begitu, gunakan taringmu.” Xiao Chiye mengambil payung dari Chen Yang dan membukanya, meneduhi mereka berdua. “Bukankah kau punya gigi setajam pedang dan lidah yang lebih tajam? Tak ada yang perlu ditakuti.”
“Aku menghargai hidupku.” Shen Zechuan menarik napas pura-pura putus asa. “Katanya, setetes kebaikan wajib dibalas dengan limpahan mata air. Masih banyak yang ingin kubalas pada Er-gongzi.”
Xiao Chiye mencibir. “Sepertinya kau salah orang.”
“Tidak mungkin.” Shen Zechuan melirik sekilas ke arahnya dan berkata tenang, “Aku tahu betul siapa kau.”
“Baik.” Xiao Chiye menoleh juga. “Aku pun ingin tahu sebesar apa utangku padamu.”
Suara-suara dari luar payung menghilang perlahan. Mereka berdiri berdampingan, kontras tinggi badan di antara keduanya begitu kentara.
“Sayangnya, kau tak bisa menarik diri dari perkara ini,” ujar Xiao Chiye, memandangi barisan cendekiawan yang masih berlutut di bawah hujan. “Kalau ada satu saja yang kehilangan nyawa malam ini, kau yang akan dipersalahkan.”
“Lebih dari tiga puluh ribu jiwa telah tewas tanpa keadilan, dan jumlah itu terus bertambah,” jawab Shen Zechuan ringan. “Kalau mereka takut mati, mestinya tak membiarkan diri dijadikan alat. Dan kalau pun seseorang ingin menjatuhkan kesalahan padaku, siapa bilang aku harus diam dan menerima?”
Keduanya kembali terdiam, membiarkan hujan menyelimuti dunia di sekitar mereka.
Sementara itu, Qiao Tianya tengah duduk santai di bawah bangunan beratap sambil menikmati biji melon; begitu melihat tandu yang dinanti tiba, ia menepuk-nepuk jubahnya untuk menyingkirkan kulit biji, lalu berdiri. Ia memperhatikan siluet yang bergoyang perlahan di balik kabut hujan.
Tirai tandu terangkat, memperlihatkan Pan Rugui yang duduk di dalam. Seorang kasim muda menopangnya, dan Ji Lei berjalan di sampingnya sambil membawa payung. Dengan jubah berhias kotak mandarin bergambar harimau, daun moxa, dan lima racun, serta topi hitam lebar yang khas, Pan Rugui mengikuti langkah Qiao Tianya menuju kerumunan cendekiawan.
Qiao Tianya menanggalkan sikap sembarangan yang biasa ia pakai. “Hujan selebat ini, tapi mereka berhasil membuat Direktur keluar rumah juga.”
Pan Rugui melemparkan pandangan sekilas ke arah Gao Zhongxiong, lalu bertanya kepada Qiao Tianya, “Dia tidak mau mundur?”
“Cendekiawan memang keras kepala,” jawab Qiao Tianya ringan. “Tidak bisa dipikat dengan imbalan, tak gentar oleh ancaman.”
“Kalau begitu, mungkin ancamannya yang kurang keras.” Pan Rugui masih menyimpan kemarahan dari kehilangan tangan kanannya kemarin dan kini tak lagi dapat menahannya. Dibantu oleh kasim muda di sisinya, ia melangkah mendekati Gao Zhongxiong. “Kau pasti banyak membaca kitab klasik. Lantas mengapa tak paham makna dari ‘melampaui batas’? Urusan istana semestinya dibicarakan di lingkungan istana. Bocah-bocah ingusan seperti kalian tak punya hak ikut campur!”
Melihat wajah yang begitu lekat dengan faksi Klan Hua, Gao Zhongxiong pun tegak duduk dengan tegas. “Setiap orang punya kewajiban terhadap negara. Kami, para cendekiawan dari Akademi Kekaisaran, hidup dari tunjangan istana—maka sudah sepantasnya kami mengabdi kepada tahta! Kini para penjilat licik menyusup ke setiap sudut istana. Jika kami tidak—”
“Penjilat licik, katamu?” Pan Rugui mendengus dingin. “Sungguh kata-kata yang mengesankan! Siapa yang menyuruhmu menjelekkan istana dan mencemarkan nama Yang Mulia?”
“Itu adalah ungkapan dari kesetiaan—”
“Cukup,” potong Pan Rugui tajam. “Kau bertindak atas dorongan para pengkhianat berhati busuk, terang-terangan melawan titah kekaisaran, dan menghasut kelompokmu untuk mencemarkan nama baik istana dan rakyat. Jika ini dibiarkan, apa gunanya hukum? Pengawal! Tangkap dia!”
Gao Zhongxiong tak pernah membayangkan Pan Rugui akan seberani itu, menangkapnya tanpa alasan sah. Ia tetap duduk tegak di bawah hujan dan berteriak lantang, “Siapa yang berani menyentuhku! Aku dipilih langsung oleh Yang Mulia untuk belajar di Akademi Kekaisaran! Para bajingan berdiri di hadapan kami, dan para kasim telah membawa negara ke ambang kehancuran!” Suaranya parau, namun tetap menggelegar, “Sang Permaisuri Janda mengendalikan negara dan enggan menyerahkan kekuasaan pada pemilik sahnya. Jika ada yang patut ditangkap, itu adalah para menteri pengkhianat sepertimu!”
“Bawa dia pergi!” seru Ji Lei, melihat Pan Rugui sudah terbakar amarah.
Pengawal Seragam Bersulam maju ke depan; Gao Zhongxiong berusaha bangkit, namun tak berhasil. Ia mengangkat kedua lengannya ke arah istana dan berteriak, “Anggap kematianku hari ini sebagai teguran bagi negara! Kalau kasim itu hendak membunuhku, biarkan saja! Yang Mulia…!”
Qiao Tianya merangkul leher Gao Zhongxiong dari belakang. Meski tercekik, sang sarjana masih berusaha berkata, “Yang Mulia…! Bila pengkhianat menguasai istana, masih adakah tempat bagi orang yang setia dan tulus?”
Yang terlintas dalam benak Xiao Chiye hanya satu hal: Sial.
Dan yang terjadi berikutnya sama seperti yang ia perkirakan. Tangis amarah dan kesedihan menyapu tiga ribu cendekiawan. Mereka tak lagi peduli pada hidup atau mati, hanya terbakar semangat. Di bawah deru badai, para cendekiawan bangkit berdiri dan menerjang barisan Pengawal Seragam Bersulam.
“Para kasim membawa petaka bagi negeri!” Para pemuda mencopot kantong di pinggang mereka dan melemparkannya ke arah Pan Rugui. Seruan pilu terdengar bergema, “Para pengkhianat menguasai istana!”
Ji Lei segera melindungi Pan Rugui, menariknya mundur ke arah tempat aman. “Apa yang kalian lakukan? Mau memberontak?!”
“Itulah pengkhianat sejati negara!” Para cendekiawan menubruk penjaga yang berusaha menghalangi mereka. Jari-jari menunjuk lurus ke arah wajah Ji Lei, dan ludah berterbangan saat mereka berteriak, “Pengkhianat! Pengkhianat negara!”
Xiao Chiye melemparkan payung ke arah Shen Zechuan dan segera melangkah turun dari tangga.
Shen Zechuan berdiri sendirian di puncak tangga, memandangi kericuhan di bawah dengan sorot mata yang tenang dan tak tergoyahkan. Pan Rugui telah didorong kembali masuk ke tandunya; di tengah kekacauan itu, Ji Lei bahkan kehilangan sebelah sepatunya. Dengan suara pelan nyaris tak terdengar, Shen Zechuan berkata, “Arus bawah bergolak. Sungguh pertunjukan yang mengesankan, Tuan Ji.”
Terdengar tawa lirih dari balik payung. Ia memutar gagangnya dengan santai, lalu menoleh untuk memperhatikan sosok Xiao Chiye yang menjauh dalam hujan.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Di bawah atap beranda, Guru Agung Qi dan Ji Gang duduk sambil menikmati anggur dan teh.
“Apakah pembunuhan Xiaofuzi hanyalah taktik untuk mengeluarkan Chuan-er?” tanya Ji Gang sambil menyesap tehnya.
Guru Agung Qi tampak enggan menenggak araknya sekaligus; ia hanya menyesap perlahan, memeluk labu araknya erat-erat. “Siapa tahu?” katanya. “Silakan berspekulasi sesukamu.”
“Bagaimanapun caranya, yang paling penting adalah keselamatannya,” ujar Ji Gang sambil menoleh padanya.
Guru Agung Qi mengguncang labunya. “Di medan pertempuran, kemenangan sering kali bergantung pada manuver nekat. Kau melatihnya ilmu bela diri agar dia tetap tenang dan mampu melindungi diri saat menembus bahaya. Tapi terkadang, demi hasil yang besar, keselamatan harus dikesampingkan—karena hanya dari situasi paling gentinglah kemenangan sejati bisa diraih.”
Ji Gang memandangi hujan yang semakin deras, kekhawatiran perlahan membayangi wajahnya. “Tugas yang kau titipkan padaku sudah kuatur semuanya.”
“Kita sedang melempar kail yang panjang,” gumam Guru Agung Qi sambil menggaruk kakinya. “Kalau belum siap menantang gelombang selama bertahun-tahun, yang kau tarik nanti tak lebih dari ikan busuk dan udang mati. Dan andai suatu hari nanti, sebelum semuanya selesai, kita harus mengorbankan nyawa kita… maka pengaturan hari ini akan jadi langkah pamungkas untuk menyelamatkan hidupnya.”