Bitter Frost

SELIR ISTANA WEI menatap sekeliling dengan gelisah saat mengikuti seorang kasim menuju tempat audiensinya. Melihat hanya dinding-dinding istana yang asing di sekelilingnya, ia bertanya, “Gonggong, di manakah kita? Di mana Yang Mulia Permaisuri janda?”

Kasim yang berjalan di depan tidak menjawab.

Keheningan yang ganjil itu membuat bulu kuduknya meremang. Ia berhenti melangkah dan mengeluh sakit perut, membuat keributan besar dan bersikeras ingin kembali. Kasim yang memimpinnya adalah wajah asing yang belum pernah ia lihat. Ketika menoleh, wajahnya tampak muda dan tak dikenal. “Kita akan segera sampai,” ujarnya lembut. Kepada para kasim yang ikut mengiringi, ia berkata, “Topang Nyonya Wei saat berjalan. Jangan sampai beliau terjatuh.”

Para kasim di kedua sisi langsung menggenggam lengan Selir Wei. Ia meronta, meninggikan suaranya untuk berteriak, tetapi tangan-tangan lain segera membekap mulutnya. Para kasim itu dengan cekatan mengangkat tubuhnya dari tanah dan berlari menyusuri lorong.

Di sebuah halaman kecil yang sepi, terdapat sebuah sumur; air masih menggenang di dasarnya. Kasim itu mencondongkan tubuh dan mengintip ke dalam. “Di sini. Masukkan nyonya itu.”

Selir Wei meronta sekuat tenaga. Kuku-kukunya yang terawat mencakar lengan kasim terdepan, rambutnya acak-acakan saat ia menggeleng dan terisak, berusaha mencengkeram bibir sumur sekuat tenaga.

Kasim itu membelai tangan indahnya. Saat memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat batu dan menjatuhkannya ke atas jari-jari sang selir, suaranya terdengar penuh iba.

Di kejauhan, terdengar bunyi plung yang bergema dari dasar sumur. Suara itu mengejutkan burung-burung di dahan yang menjulur dari balik tembok merah, dan kawanan itu pun beterbangan ke angkasa.

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Kaisar Xiande terbaring di dalam kereta. Li Jianheng berlutut di sampingnya, mendekap semangkuk obat. Napas sang kaisar begitu lemah hingga ia bahkan tak punya tenaga untuk batuk. Ia memberi isyarat pada Li Jianheng, yang segera meletakkan mangkuk itu dan mendekat.

“Saudara Kaisar, apakah kau merasa lebih baik?”

“Jianheng,” lirih sang kaisar, sembari menaruh tangannya di punggung tangan Li Jianheng.

“Hamba dan adikmu ada di sini,” ujar Li Jianheng sambil kembali menangis. “Aku di sini.”

“Almarhum kaisar, di tahun-tahun terakhirnya, memerintah di bawah kendali orang lain. Saat itu, saudara sulung kita adalah putra mahkota Istana Timur, sedangkan kita...” Mata sang kaisar menatap dalam-dalam. “Kita seperti dirimu—seorang pangeran yang tak punya kuasa. Nasib adalah hal yang tak dapat ditebak. Pada akhirnya, kekaisaran ini jatuh ke tangan kita. Namun sejak kita naik takhta, kita terbelenggu di setiap langkah. Setiap gerakan bagaikan boneka yang menari di balik layar. Jika Permaisuri janda ingin kita tertawa, maka kita tertawa. Kini ia ingin kita mati, maka kita harus mati.”

Li Jianheng tercekat oleh emosi.

“Kelak,” lanjut sang kaisar, “sebagaimana ayah kita dahulu, dan sebagaimana yang telah kita alami, kau pun akan menjadi pria kesepian itu di atas takhta.”

Li Jianheng pun pecah dalam tangis. Ia menggenggam tangan sang kaisar dan memohon, “Saudara Kaisar! Bagaimana mungkin aku bisa memerintah? Aku hanyalah seekor cacing di dalam kekaisaran klan Li ini. Bagaimana mungkin aku bisa duduk di puncaknya? Saudara Kaisar, aku takut, aku sangat takut.”

“Jangan takut.” Dengan ledakan tenaga yang tiba-tiba, sang kaisar menggenggam tangan Li Jianheng dan membuka matanya lebar-lebar. “Kau berbeda dari kami—kerabat permaisuri janda telah kalah! Kematian adalah akhir yang menanti Hua Siqian dan Pan Rugui. Bunuh mereka, dan permaisuri janda takkan punya siapa pun lagi untuk membantunya! Kekuasaan akan kembali jatuh ke tanganmu, dan kau akan menjadi… penguasa atas seluruh daratan di kolong langit ini! Apa yang tak mampu kami lakukan… kau bisa… Kita…”

Sang kaisar batuk hebat hingga seluruh tubuhnya terguncang, namun ia tetap enggan melepaskan genggaman pada tangan Li Jianheng. Dengan darah mengalir dari mulutnya, ia masih melanjutkan, “Lenyapkan kerabat permaisuri janda dan awasi para pejabat istana dengan cermat. Klan Hua memang kalah hari ini, tapi masih ada… yang lain… yang harus kau waspadai. Jangan biarkan siapa pun tidur terlalu nyenyak di ranjang kekuasaan kekaisaran! Mereka… yang menyelamatkanmu hari ini… bisa membunuhmu… besok! Kuasa militer itu seperti harimau… Xiao…”

Sang kaisar memuntahkan darah segar, membuat Li Jianheng panik bukan kepalang.

“Kau tak boleh…” Kaisar terengah-engah, mencengkeram tangan Li Jianheng begitu kuat hingga meninggalkan lebam. “Tak boleh… melepaskan… A-Ye…”

Kau tak boleh melepaskan A-Ye kembali ke Libei!

Tak peduli apakah ia hanya seorang bangsawan muda yang hidup santai atau seorang jenius luar biasa, Klan Xiao hanya akan tetap menjadi anjing setia selama ia tinggal di Qudu. Sekalipun kerabat permaisuri janda telah dikalahkan, itu tak berarti garnisun perbatasan tak akan pernah menyatukan kekuatan dan membentuk pasukan untuk menantang takhta. Tanpa Klan Hua, siapa yang akan membendung Klan Xiao? Jika Xiao Chiye sanggup bertahan dalam diam selama lima tahun penuh di Qudu dan menciptakan keajaiban dari kumpulan prajurit rendahan di Pasukan Kekaisaran, bayangkan jika ia diberi lima tahun lagi di Libei. Ia pasti akan menjadi ancaman paling mematikan bagi mereka!

“Saudara Kaisar.” Li Jianheng terpaku. “Bagaimana mungkin kami bisa melakukan itu? Saudara Kaisar!”

“Copot kekuasaan wilayah-wilayah dan kurangi jumlah pasukan mereka,” ujar sang kaisar dengan suara lemah. “Jika perlu… bunuh… bunuh…”

Bunuh dia.

Saat Li Jianheng melihat sang kaisar memejamkan mata, ia meraung dalam duka. Hingga detik terakhir hayatnya, Kaisar Xiande tak pernah melepaskan genggaman tangannya; kepahitan dan kemuraman yang bertengger di antara alisnya tak pernah surut selama ia hidup.

Ia telah duduk di atas takhta selama sembilan tahun, namun tak sekalipun ia mengambil keputusan tanpa persetujuan dari permaisuri janda. Bahkan soal makanan, pakaian, pengeluaran, hingga perempuan mana yang akan menemaninya malam itu—semuanya harus melalui persetujuan beliau. Tindakan paling berani yang pernah ia ambil dalam hidupnya adalah menjalin komunikasi rahasia dengan Qidong dan menarik Xi Gu’an ke pihaknya untuk membuka, di Tanah Perburuan Nanlin, jalan yang tampaknya mulus menuju takhta bagi saudaranya, Li Jianheng.

Begitu kabar wafatnya sang kaisar tersebar, rombongan panjang yang tengah menuju ibu kota pun berhenti, dan jerit tangis duka pun memecah udara. Para pejabat membungkuk bersimpuh. Di barisan terdepan, Hai Liangyi menangis meraung-raung. Isak tangisnya yang pilu memanggil, “Yang Mulia!”, menjadi penghormatan terakhir bagi Kaisar Xiande.

Lonceng pemakaman di Qudu berdentang tanpa henti, dan seluruh negeri berkabung.

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Permaisuri janda Hua duduk di kursinya, menyuapi burung beo milik Kaisar Xiande dengan sendok kayu. Ketika suara lonceng menggema, burung beo itu menjerit, “Jianyun! Jianyun! Jianyun telah kembali!”

Mutiara timur yang menjuntai dari telinga sang permaisuri janda bergoyang pelan saat ia mengangguk. “Jianyun telah kembali.”

Burung beo itu kembali menjerit, “Permaisuri janda! Permaisuri janda!”

Permaisuri janda Hua tetap tak bergerak, kecuali gerakan ritmis dari sendok di tangannya. Duduk dalam bayang-bayang senja yang menyerong, helai-helai putih di rambutnya sudah tak bisa ditutupi lagi, dan garis-garis halus di sudut matanya menyerupai retakan di permukaan porselen antik yang berharga.

Burung beo itu menjerit beberapa kali lagi sebelum akhirnya jatuh terguling dari tenggerannya, selamanya diam. Permaisuri janda meletakkan sendoknya dan duduk tenang hingga dentang lonceng tak terdengar lagi.

“Di mana Selir Istana Wei? Kenapa ia begitu lama?”

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Seiring wafatnya Kaisar Xiande, kepulangan Xiao Chiye ke ibu kota diwarnai kesibukan yang membuatnya nyaris tak sempat bernapas. Selama beberapa hari, ia berlutut bersama ratusan pejabat lainnya; saat akhirnya ia bisa berbaring, tubuhnya benar-benar kelelahan.

Namun meski kelelahan, ia tetap harus mandi. Saat Xiao Chiye mengelap tubuhnya, ia melihat luka-luka di bahu dan lengannya telah mengeras membentuk keropeng. Ia mengenakan jubah bersih dan keluar untuk bertanya pada Chen Yang, “Di mana dia?”

Kali ini, Chen Yang tahu siapa yang dimaksud. “Pasukan Seragam Bordir sedang direorganisasi, jadi dia sedang dalam proses pendaftaran ulang selama beberapa hari terakhir. Ia hampir tak pernah pulang.”

“Yang kutanyakan,” ujar Xiao Chiye, “adalah Ji Lei. Siapa yang sedang kau bicarakan?”

Chen Yang menggaruk kepalanya, malu. “Oh, Ji Lei. Ia telah ditahan. Mungkin akan dihukum pancung setelah kaisar baru naik takhta. Tapi, Tuanku… bukankah Anda sendiri yang menjebloskannya ke penjara beberapa hari lalu?”

Xiao Chiye mengenakan satu lapis jubah lagi dan berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku lupa.”

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Shen Zechuan, Ge Qingqing, dan Xiao-Wu tengah menyantap mi di sebuah kedai pinggir jalan. Mereka baru setengah makan ketika Xiao-Wu tiba-tiba mendongak dan menatap lurus ke depan.

Shen Zechuan menoleh dan melihat Xiao Chiye melemparkan beberapa keping perak kepada penjaja. Ia mengangkat jubahnya lalu duduk di samping Shen Zechuan seraya berkata, “Dua mangkuk mi.”

Xiao-Wu segera menghabiskan makanannya. Sambil memegang mangkuk, ia menggeser duduknya ke meja lain seperti seekor puyuh yang ketakutan. Di bawah sorot mata Xiao Chiye, Ge Qingqing turut membawa mangkuknya dan bergabung dengannya.

Shen Zechuan mengaduk-aduk mi di dalam mangkuk. “Aku sudah kenyang.”

“Habiskan.” Xiao Chiye mengeluarkan sepasang sumpit dan mengetukkannya ke arah Shen Zechuan. “Takut melihatku? Lihat betapa tergesa-gesanya kau hendak pergi.”

“Tentu saja.” Shen Zechuan perlahan menyuapkan suapan terakhirnya. “Siapa pun yang pernah ditindih pasti akan takut.”

“Kau juga berlari cukup cepat tempo hari, saat kita melindungi kaisar baru.” Mangkuk mi Xiao Chiye datang, dan ia menuangkan cuka ke dalamnya. “Itu kesempatan besar untuk memperoleh promosi. Mengapa kau melarikan diri?”

“Aku tidak melakukan apa pun,” ujar Shen Zechuan sembari meniup kuah mi sebelum menyeruputnya, “jadi tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal.”

Xiao Chiye menyantap minya dalam diam. Ketika mangkuknya hampir habis, ia berkata, “Kalau dipikir-pikir, malam itu kau pasti berjongkok di belakangku cukup lama, bukan? Menimbang-nimbang siapa yang akan kau pilih? Mengapa tidak bertindak sesuai situasi? Kalau Xi Gu’an berhasil merebut Qudu, kau akan menusukku dari belakang. Tapi kalau dia gagal, kau akan mengulurkan tangan. Menunggu waktu yang tepat, hanya menanti aku jatuh sebelum akhirnya bergerak.”

“Kalau begitu, kau memang beruntung.” Shen Zechuan menoleh padanya sambil tersenyum. “Kau masih hidup.”

“Jangan-jangan kaulah yang menembakkan anak panah itu padaku?” gumam Xiao Chiye. “Kalau aku tidak dalam posisi yang begitu terjepit, bagaimana mungkin kau bisa menonjolkan betapa besar ‘budi baikmu’ itu?”

“Aku bahkan belum menuntut balasan apa pun. Mengapa kau langsung menganggap aku menyimpan niat jahat padamu?”

“Justru karena kau tidak menuntut balasan.” Xiao Chiye masih tampak lapar. Ia meletakkan sumpitnya dan berkata, “Hari itu kau tidak berani muncul di hadapan Pangeran Chu. Apakah karena kau takut pada Ji Lei, atau karena takut Hua Siqian membuka mulut dan membocorkan sesuatu?”

Shen Zechuan menumpuk koin-koin tembaganya rapi di atas meja, lalu mendekat dan berbisik ke arah Xiao Chiye, “Salah. Aku takut padamu.”

“Takut padaku?” Xiao Chiye mengulanginya.

“Takut pada yang keras itu.”

Suara dan riuh kedai di sekitar Xiao Chiye seakan menjauh. Yang tersisa di telinganya hanyalah hembusan hangat dan kata-kata bernada ambigu itu. Ia baru sadar bahwa hari ini Shen Zechuan mengenakan kerah tinggi yang menutup rapat lehernya, membuatnya tak bisa lagi melayangkan pandangan penuh nafsu seperti sebelumnya. Wajahnya berubah-ubah menampilkan berbagai ekspresi; akhirnya, ia menatap Shen Zechuan dan menggeram melalui gigi yang terkatup, “Kau tidak perlu khawatir.”

“Er-gongzi sekarang sudah cukup umur.” Shen Zechuan meluruskan duduknya. “Sudah saatnya kau mencari istri.”

“Kau tahu apa?” sahut Xiao Chiye. “Er-gongzi-mu ini jauh lebih berpengalaman dari yang kau kira.” Melihat Shen Zechuan bangkit hendak pergi, Xiao Chiye segera meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke tempat duduk. “Kau selalu pergi sebelum aku selesai bicara. Itu melanggar aturan.”

“Dan kau selalu menyentuhku setiap kali ada kesempatan,” kata Shen Zechuan. “Coba katakan lagi, aturan yang mana?”

Xiao Chiye melepaskan pergelangannya. “Aku akan membalas jasamu.”

“Panggil aku ‘Tuan’ dan mungkin akan kuanggap lunas.”

“Tapi ada satu hal yang masih kau hutangkan padaku. Kau tentu tak ingin aku terus-menerus menagih cincin ibu jari itu, bukan?”

Tanpa sepatah kata pun, Shen Zechuan melemparkan cincin ibu jari dari tulang itu kepadanya.

Xiao Chiye menangkapnya dan menatapnya penuh curiga. “Apa maksud dari trik ini? Langsung mengembalikannya begitu kuminta?”

“Beginilah caranya orang jujur menyelesaikan urusan,” ujar Shen Zechuan. “Langsung dan tanpa basa-basi.”

Pada titik ini, tak ada lagi yang perlu dikatakan.

Xiao Chiye menatap Shen Zechuan yang berdiri dari kursinya. Ia membolak-balik cincin ibu jari itu di antara jarinya, merasa bahwa semuanya terjadi terlalu mudah.

“Mau pulang?” tanya Xiao Chiye dari belakangnya.

“Aku bertugas besok.”

“Pasukan Seragam Bordir sedang dirombak; tugas apa?” tanya Xiao Chiye. “Musim dingin di Qudu sangat keras. Jaga dirimu.”

“Orang sepertiku hanya mengikuti arus.” Shen Zechuan berbalik. “Bukan aku yang perlu dijaga.”

Xiao Chiye mengusap buku jarinya. “Sekalian sampaikan salamku pada Ji Gang-shifu.”

Shen Zechuan berhenti sejenak, lalu berbalik menatap Xiao Chiye.

Sambil memasang cincin ibu jari, Xiao Chiye tersenyum dengan santai. “Jadi, Lanzhou, mau bermain denganku?”