Pagi itu, sinar matahari menembus pucuk-pucuk daun, memantulkan cahaya ke permukaan laguna, berkilau seperti serpihan kaca. Naïalithe perlahan membuka matanya, kelopak bulu matanya berkedip pelan, menghirup aroma air asin bercampur angin lembut. Di sampingnya, Feral sudah duduk menyandar pada batu, menatap permukaan air yang memantulkan langit biru. Saat menyadari Naïalithe terjaga, ia menoleh dengan senyum kecil yang begitu tenang, matanya menyipit hangat.
"Pagi," ucapnya lembut, suaranya serak karena baru bangun, namun terdengar akrab, seolah menyambut dunia bersama.
Naïalithe hanya memandang, sedikit mengerjap, lalu tersenyum malu, ekornya perlahan mengibas pelan di dalam air, menciptakan riak kecil. Ia mendekat, menyandarkan kepalanya pelan di pundak Feral tanpa berkata apa-apa, hanya menikmati hening yang terasa begitu penuh.
Setelah beberapa saat menikmati keheningan, Feral perlahan bangkit, mengacak rambutnya yang masih sedikit kusut.
“Aku ingin membersihkan diri dulu,” katanya sambil menyengir kecil, melirik ke arah air jernih laguna.
Naïalithe hanya mengangguk pelan, menatapnya seolah berkata pergilah, matanya mengikuti langkah Feral yang turun ke tepian air, mencuci muka, meraup air ke tubuhnya, hingga rambutnya basah dan segar kembali.
Tak lama, Feral kembali dengan pakaian agak basah, rambutnya menetes pelan, dan langkahnya ringan. Tapi matanya langsung membelalak kecil saat melihat sebuah surprise di atas batu datar dekat tempat mereka duduk semalam.
“Eh… ini?” gumamnya pelan, terpesona.
Di atas batu itu, tertata beberapa potong rumput laut segar, kerang kecil berisi potongan buah liar, dan dua ekor ikan kecil yang sudah bersih, diletakkan rapi di daun besar. Naïalithe duduk tak jauh dari situ, menatapnya dengan wajah berbinar malu, tangan kecilnya menyembunyikan senyum di balik bibir.
Feral tertawa pelan, mendekat sambil jongkok di hadapannya. “Kamu yang menyiapkan ini semua?” tanyanya, suaranya terbungkus haru.
Naïalithe mengangguk perlahan, matanya jernih dan bersinar bangga, ekornya mengibas pelan di atas batu, seperti menunggu pujian.
Feral menyentuh bahu Naïalithe, menunduk sedikit untuk sejajar dengan wajahnya. “Terima kasih, Naïa. Ini sarapan termewah yang pernah aku lihat.” Senyumnya mengembang, tulus dan hangat.
Naïalithe hanya menatapnya lama, lalu perlahan ikut tersenyum, matanya mengecil lembut, seolah seluruh dunia cukup diisi senyum itu saja. Feral duduk di samping Naïalithe, membiarkan lututnya bersentuhan dengan ekor lembut itu, lalu meraih sepotong buah dari daun.
“Yuk, makan bersama,” katanya, nadanya setengah bercanda, setengah penuh syukur.
Naïalithe memiringkan kepala, menatap Feral dengan mata bening yang menanyakan: Aku juga?
Feral tertawa pelan, mengangguk meyakinkan. Ia mengambil mangkuk berisi potongan buah dan menyodorkannya ke Naïalithe.
“Untuk kamu,” katanya pelan.
Naïalithe menerima dengan hati-hati, jemari kecilnya menyentuh kulit tangannya sebentar, lalu menariknya cepat. Ia menatap isinya, kemudian perlahan membawa buah itu ke bibirnya, mencoba satu gigitan kecil.
Feral memperhatikan setiap gerakannya, matanya hangat, senyumnya tak hilang. Ia ikut makan di sebelahnya, kadang diam-diam melirik, kadang sengaja mencondongkan kepala untuk memastikan Naïalithe menikmati semuanya.
“Enak?” tanya Feral akhirnya, suaranya serak halus.
Naïalithe hanya menoleh padanya—tatapan polos, mata bundar, senyum samar. Tak perlu kata-kata. Feral tahu jawabannya.
Dan di bawah bayang-bayang tebing, dengan suara ombak yang pelan memecah, mereka makan bersama. Tak ada kata, hanya kebersamaan yang diam-diam mengisi celah kosong di hati masing-masing.
Sampai akhirnya, Feral menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Naïalithe, “Aku senang kamu di sini,” bisiknya pelan, hampir seperti rahasia.
Naïalithe memejamkan mata sejenak, membiarkan kehangatan itu meresap, membiarkan dirinya percaya: untuk sekali ini, ia boleh menjadi bagian dari dunia yang ia jaga, bukan hanya penontonnya.
Di bawah rindangnya pohon kelapa yang menjulang tinggi, Feral berdiri menatap ke atas, alisnya berkerut, senyumnya tipis penuh tekad.
“Tunggu di sini, ya,” katanya pelan, separuh pada Naïalithe, separuh pada dirinya sendiri.
Naïalithe hanya menatap, kepalanya miring, ekor membelit santai di pasir. Ia mengikuti gerak Feral yang merogoh tali tua dari tasnya, lalu mulai melilitkannya ke batang pohon.
Dengan kelincahan seorang pelaut, Feral mulai memanjat, kakinya menjejak tali yang terikat kuat, tangannya meraih lebih tinggi. Langkah demi langkah, mendekati puncak, napasnya teratur, otot lengannya mengencang diterpa matahari. Naïalithe mengamati dari bawah, matanya berbinar, seolah menyimpan decak kagum yang tak terucap. Ekor peraknya bergetar pelan, mengangkat pasir, tatapannya tak lepas. Ketika akhirnya Feral mencapai gugusan kelapa, ia menjulurkan tangan, memutar satu buah hingga terlepas. Kelapa itu jatuh, menghantam pasir di dekat Naïalithe, membuat si duyung kecil terlonjak kaget, lalu tertawa tanpa suara.
“Dapat satu!” seru Feral dari atas, matanya menyipit menantang matahari. Naïalithe hanya mengangguk cepat, senyumnya polos, tatapannya penuh antusias.
Feral turun perlahan, kakinya terayun, tangannya menggenggam tali hingga mendarat mulus. Ia menyeka keringat di pelipis, lalu mengangkat kelapa ke arah Naïalithe.
“Untukmu.”
Naïalithe mendekat, meraba permukaan kelapa itu dengan jemari basah, tatapan matanya… seperti menemukan harta karun.
Begitu kelapa itu tergenggam di tangan Feral, ia mengambil pisau kecil dari sabuknya, mengupas perlahan seratnya, mengukir penutupnya hingga terbuka. Aroma segar segera menyeruak, manis dan dingin dari dalam cangkang.
“Ini,” ucap Feral pelan, menyodorkan kelapa itu ke Naïalithe. Si duyung menatap, ragu sejenak, lalu mendekat, mengendus pelan seperti anak kecil menemukan sesuatu yang baru.
Feral tertawa kecil, lalu menuntunnya, “Minumlah.”
Naïalithe menunduk, bibirnya menyentuh pinggir kelapa… dan setetes air pertama mengalir ke lidahnya. Matanya tiba-tiba membesar, tatapannya menyala, jemarinya mencengkeram kelapa itu dengan takjub.
“Ah,” suara kecil lolos tanpa sadar dari bibirnya, senyumnya merekah perlahan, begitu polos, begitu murni, seakan rasa manis air itu adalah keajaiban pertama dalam hidupnya.
Feral hanya menatapnya, senyum hangat di wajahnya, matanya menelusuri tiap reaksi lugu yang Naïalithe tunjukkan.
“Kau menyukainya?” bisiknya.
Naïalithe mengangguk cepat, ekornya bergeser pelan di pasir, seperti menari. Lalu, ia menyerahkan kelapa itu kembali ke Feral, seolah ingin berbagi.
Feral tersenyum makin lebar, meminum seteguk dari tempat yang sama, lalu mengedipkan sebelah matanya.
Dan di antara mereka, ada sesuatu yang tak terucap: sebuah kedekatan, pelan-pelan tumbuh, tanpa butuh kata.
Feral berdiri di tepi laguna, ranselnya tersampir di punggung. Ia menoleh pada Naïalithe yang duduk santai di batu, kakinya—atau lebih tepatnya ekornya—menjulur ke air.
“Aku mau jalan-jalan ke hutan sebentar,” katanya, lembut. “Kau tunggu di sini, ya?”
Naïalithe mengerjapkan mata, menatapnya tanpa menjawab. Lalu, perlahan, ia menggeleng. Ekornya bergeser pelan di atas batu, mendekat ke pinggir air. Ia menatap Feral lama, lalu menunjuk dirinya sendiri, menunjuk Feral, lalu menunjuk ke depan—mengajak.
Feral menghela napas pelan, lalu tersenyum, mengacungkan dua jarinya seolah menyerah.
“Baiklah, kau ikut.”
Dan berangkatlah mereka. Feral melangkah di jalan setapak yang membelah hutan, sementara Naïalithe berenang pelan mengikuti aliran sungai kecil yang meliuk di sampingnya. Kadang ia menyelam, muncul lagi, menatap Feral sambil tersenyum dari balik semak, seperti bayangan yang menyusup di antara daun.
Feral sesekali berhenti, menunggu, lalu melambaikan tangan. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, meski tahu jawaban itu takkan diucapkan. Naïalithe hanya membalas dengan anggukan kecil, air menetes dari rambutnya, matanya berbinar seperti permata basah.
Mereka berjalan berdampingan, masing-masing di dunianya—daratan dan air, tapi tetap tak terpisahkan. Kadang Feral mencondongkan badan, mengulurkan tangan ke sungai, dan Naïalithe menjulurkan jarinya untuk menyentuhnya, seolah ingin memastikan jarak itu tak pernah terlalu jauh.
Dan saat matahari makin naik, hutan di sekitar mereka terasa seperti panggung rahasia; hanya mereka berdua, saling mencari, saling menemukan, di jalur yang sama-sama asing namun perlahan akrab.
***
Remoria. Pulau yang tak tercatat dalam peta, tak terucap dalam doa, hanya berbisik lewat gelombang laut yang sunyi. Mereka yang menemukannya bukan karena arah, melainkan karena kehilangan; bukan karena harapan, tetapi karena penyesalan.
Pulau itu berdiri seperti lengkung punggung dunia, hutan tropis membalutnya seperti rambut hijau lebat, dan di tengahnya—candi Remoria, menjulang dari bebatuan karang, diselimuti lumut dan bayangan. Di sanalah, mereka yang memikul dosa besar berakhir menjadi batu. Arca-arca menghiasi pelataran candi, menatap laut tanpa mata, tersenyum tanpa bibir, tubuh mereka membeku dalam pose yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu artinya. Mereka bukan dihukum untuk dihilangkan; mereka dijadikan saksi, tanda bahwa bahkan kesalahan terbesar pun bisa dikenang… atau diampuni.
Di tebing-tebingnya, ombak memukul pelan. Ada jalan turun menuju laut dalam, di mana mereka yang menyerah kepada dunia perlahan berjalan ke air. Mereka tak melompat, tak meloncat—mereka tenggelam perlahan, seperti kembali ke asal, membiarkan laut menelan mereka tanpa jejak. Tak ada jeritan, hanya sunyi yang merayap, menyelimuti.
Dan di bawah permukaan laut, mengalir arus hangat yang tak pernah berhenti. Ia bergerak, tak melawan, tak berputar—selalu satu arah. Itulah arus para penuntun, jiwa-jiwa yang memilih untuk memperbaiki. Mereka menjelma dalam gerakan air, membimbing, menjaga. Di malam hari, saat angin mengirim nyanyian laut ke pantai, itu suara mereka—melantun dalam bahasa yang hanya dipahami oleh bangsa Nereid. Suara yang menenangkan, sekaligus mengingatkan: bahwa pulau ini bukan tempat pelarian, melainkan pengampunan.
Remoria tak dikenal oleh banyak orang. Mungkin tak pernah diingat. Tapi bagi mereka yang tersesat, yang mencari akhir atau awal, Remoria menunggu, diam-diam, di antara gelombang dan kabut.
***
Setelah beberapa lama menyusuri hutan bersama Naïalithe, Feral merasakan keheningan yang semakin menebal. Pepohonan tinggi menjulang, melindungi mereka dari teriknya matahari, namun angin yang semilir terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Udara semakin berat, penuh dengan wangi tanah basah dan aroma tanaman yang tumbuh subur di sekitar mereka. Feral memandang Naïalithe yang berenang dengan ringan.
“Naïa,” ucapnya pelan, “Kita sudah berjalan jauh, ya?”
Naïalithe hanya memberi anggukan ringan, matanya menyapu sekitar. Di antara langkah-langkah mereka, Feral mulai merasakan perubahan. Tanah di bawah kakinya terasa lebih lembut, dan udara yang sebelumnya hangat kini membawa sesuatu yang lebih asing, seakan ada energi yang tak terungkapkan di udara.
Tiba-tiba, langkah Feral terhenti. Di depan mereka, terbentang sebuah ruang terbuka, tempat di mana batu-batu besar, sebagian berlumut, sebagian sudah membentuk arca-arca tak berwajah, berdiri tegak menantang waktu. Arca-arca ini, meskipun telah lapuk oleh hujan dan angin, tetap memberikan kesan yang tak bisa didefinisikan. Seolah setiap batu tersebut memiliki cerita yang terlupakan. Feral mendekat, tangannya menyentuh permukaan salah satu arca, dan seketika sebuah sensasi aneh menyelimutinya.
Itu bukan hanya batu. Batu itu hidup, seolah menyimpan kisahnya yang tak terucapkan. Ia menarik nafas dalam, merasakan bagaimana dunia di sekelilingnya mulai mengubah warna, mulai menenangkan dan mengungkapkan sesuatu yang lebih besar.
Tanpa disadari, langkahnya bergerak maju, mengarah ke aliran sungai dangkal yang mengalir tenang di bawah kaki mereka. Airnya hangat, seolah menyambut kedatangan mereka. Di depan, sungai tersebut menuntun Feral dan Naïalithe ke sebuah area terbuka yang lebih besar. Pada akhirnya, mereka tiba di sebuah candi yang tertutup sebagian oleh pepohonan.
Feral berdiri diam di depan candi tersebut, otaknya berputar seiring dengan gelombang perasaan yang datang tiba-tiba. Ada sesuatu yang sangat familiar di tempat ini—bukan hanya sekedar candi atau arca yang mengelilinginya. Tapi sebuah tempat yang penuh dengan sejarah, penuh dengan jiwa-jiwa yang telah meninggalkan dunia mereka.
Sebelum dia sempat mengucapkan apa pun, Naïalithe di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang dalam. Feral menoleh padanya, dan dalam diam mereka saling memahami. Itu adalah pulau yang tidak dikenal oleh kebanyakan orang. Pulau pengampunan. Remoria.
Perlahan, suara riak air terdengar di sekitar mereka, mengalir dari aliran sungai yang hangat, menambah kekhusyukan yang semakin terasa. Feral merasakan sebuah beban terangkat dari pundaknya, meskipun tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Segala yang telah terjadi di pulau ini—pertemuan mereka, perjalanan mereka—seolah ada kekuatan yang lebih besar yang membimbing mereka.
Naïalithe menatap Feral, dan akhirnya suara lembutnya menyapanya, “Ini... Remoria. Aku... aku berada di pulau Remoria.” matanya mengamati candi yang ada di depannya. Sebuah tempat yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Feral mengingatkan dirinya sendiri—mungkin ini adalah alasan kenapa ia terdampar di sini. Untuk mencari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya. Dan Naïalithe, makhluk yang begitu misterius dan indah, adalah bagian dari perjalanan itu.
"Remoria..." gumamnya, seolah mengerti sepenuhnya makna di balik nama itu.
***
Langit mendung, laut bergejolak. Petir menyambar di kejauhan, menyulut bayangan hitam di geladak kapal.
Feral berlari, napasnya tercekat, pedang basah di genggaman. Teriakan, tembakan, denting baja saling bertemu. Bau mesiu, darah, dan kayu terbakar bercampur di udara.
Seorang bajak laut musuh berusaha bangkit—Feral menebas tanpa ragu. Darah memercik, tubuh itu jatuh.
“MAJUU!!!” teriak kaptennya di belakang. Teman-temannya mengamuk, bagai badai tanpa ampun. Mereka menyerbu ke dalam kapal, memecahkan pintu, menjatuhkan musuh satu per satu.
Jeritan. Doa. Tawa kejam.
Geladak itu merah.
Feral berhenti sejenak, memandang sekeliling. Tubuh-tubuh bergelimpangan, beberapa masih menggeliat. Temannya menancapkan pisau ke dada mereka, memastikan.
“Feral!” seru salah satu rekannya. “Kita bersihkan semua!”
Feral menelan ludah, matanya kabur oleh asap. Dan saat itu—pintu kabin utama terbuka.
Seorang perempuan muncul, rambut acak-acakan, gaun putih robek, mata bengkak. Dia berlari, terhuyung, memeluk tubuh suaminya yang tergeletak di bawah kaki Feral.
“Tidak…” bisiknya, suaranya pecah. “Tidak… bangun…” Dia menangis, memukul dada suaminya yang dingin. Air matanya jatuh ke wajah lelaki itu.
Feral mundur satu langkah, terdiam. Perempuan itu mendongak—tatapannya langsung ke mata Feral.
Tatapan yang menusuk.
Tatapan yang mengutuk.
“Kau…” suaranya pecah. “Kau… yang membunuhnya…”
Dia bangkit perlahan, tangannya terangkat ke langit, menjerit:
“Kalian semua akan merasakannya! Kalian semua! Kutukan ini akan mengikuti kalian!”
Teman Feral mendekat, pedang terhunus. “Dia akan membocorkan tempat kita. Bunuh.”
“Tidak,” kata Feral pelan. “Dia hanya… dia hanya…”
Tapi sebelum kalimat itu selesai, pedang rekannya menebas leher perempuan itu.
Darah hangat menyembur, membasahi lantai.
Tubuh itu jatuh… tepat di samping suaminya.
Dan malam kembali sunyi.
Feral mematung. Tangannya masih menggenggam pedang, tapi hatinya terasa kosong.
Tatapan itu, sumpah itu… menancap di benaknya.
***
Feral mundur satu langkah, lalu dua, dadanya sesak.
“Aku…” suaranya bergetar. “Aku cuma… aku cuma mengikuti perintah…” Suara itu gaung, memantul di dinding-dinding batu. Tidak ada yang menjawab.
Hanya ombak yang pelan, mengelus pasir seolah menenangkan… atau menghapus jejak.
Dia berlutut, jari-jarinya mencengkeram tanah.
“Maaf…” katanya lirih. “Maaf…”
“MAAFFFF…!!” teriaknya lebih keras, tapi suaranya tenggelam, ditelan angin laut.
Air mata yang lama ditahan akhirnya jatuh. Membasahi pipi, jatuh ke pasir, menghilang.
Tangannya menutup wajah, bahunya bergetar.
“Kenapa…” bisiknya. “Kenapa aku harus ada di sini…?” Seolah semua jalannya dituntun kembali ke dosa itu. Seolah pulau ini… bukan pengampunan, tapi pengingat.
Dia menoleh ke sekeliling, arca-arca lain memandangnya dalam diam.
Laut mendesir, suara arus hangat mengelilinginya… mendekat… memeluk… atau mengikat?
Feral menunduk, tak tahu lagi pada siapa harus berlutut, pada siapa harus minta maaf.
Karena satu-satunya orang yang layak mendengar permintaan maafnya… sudah tiada lagi di dunia.
Dan arca-arca itu tetap memandangnya… seolah menunggu gilirannya.
Di dalam gua, Feral duduk membelakangi pintu masuk. Punggungnya bersandar ke dinding, bahunya turun, kepalanya tertunduk.
Nafasnya pelan, tapi berat, seolah setiap helaan mengangkat beban yang tak pernah berkurang.
Di luar, Naïalithe mengintip diam-diam. Matanya melebar, penuh ragu. Ekornya melingkar pelan di pasir basah. Dia tidak mengerti semua luka itu. Tapi dia tahu… ada sesuatu yang membuat Feral menjauh, terdiam, hilang dari senyum biasanya.
Naïalithe menggenggam dadanya sendiri, menunduk, memikirkan sesuatu.
Lalu perlahan, dia membuka mulut.
Suara lembutnya mengalun…
Pelan, seperti bisikan ombak dari kejauhan.
Nada-nadanya sederhana, rapuh, tapi hangat.
Di dalam gua, Feral tak bereaksi di awal. Tapi lambat laun, kepalanya menoleh pelan, matanya kosong menatap keluar. Suara itu merembes masuk, menenangkan… seperti arus hangat Remoria yang memeluknya diam-diam.
Kelopak matanya perlahan berat. Nafasnya mulai teratur. Lagu itu seperti menenun selimut tak terlihat, membungkus semua lelah dan luka yang tak bisa ia ucapkan.
Hingga akhirnya…
Kepalanya bersandar ke dinding.
Matanya terpejam.
Nafasnya terlelap.
Naïalithe masih di mulut gua, tersenyum kecil. Dia menutup suaranya perlahan.
Dan dengan hati-hati, dia merayap mendekat, hanya duduk diam di dekat pintu, menjadi penjaga sunyi untuk mimpi Feral malam itu.
Malam sunyi itu perlahan retak. Dari aliran sungai kecil di luar gua, cahaya aneh mulai menguar, seperti kilau bintang jatuh ke dalam air.
Naïalithe membuka mata. Matanya terbelalak saat melihat air di hadapannya berubah perlahan—dari biru bening menjadi emas cair, mengalir tenang tapi menyimpan sesuatu yang mengerikan.
Dan dari permukaan itu, sesosok bentuk mulai muncul. Tidak sepenuhnya nyata, tidak sepenuhnya bayangan. Wajahnya membentuk dari riak-riak air, matanya kosong tapi menembus.
Suara itu datang, serak dan tenang, seperti gelombang dalam mimpi buruk.
“Bukankah ini saat yang tepat… untuk memberinya pengampunan?”
“Jangan mentang-mentang dia memberimu banyak hadiah… kamu jadi lupa sama hadiahku.”
“Crius… dan Hourglass…”
Suara itu menggema, pelan tapi menusuk. Naïalithe menunduk, bahunya gemetar. Tangannya mengepal, menahan sesuatu yang membuncah di dadanya.
“Tidak…” bisiknya, air matanya jatuh tanpa suara.
“Tidak…” lebih keras.
Dan tiba-tiba—tangannya menghantam permukaan air emas itu. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Air itu terpecah, riaknya liar, seolah langit pun berguncang.
“TIDAK!! TIDAK!! TIDAK!!” teriaknya di antara isak, memukul-mukul air yang tak bisa dilukai.
Wajahnya basah, antara air sungai dan air mata.
Di dalam gua, Feral terjaga. Kepalanya terangkat, matanya buram menatap cahaya keemasan yang memantul ke dinding. Suara tangisan itu menghantarnya kembali ke kesadaran.
“Naïa…?” suaranya pelan, terkejut. Ia bangkit, melangkah cepat ke mulut gua, dan mendapati sosok Naïalithe bersimpuh di tepian, tubuhnya berguncang, memukul air seperti mencoba menghancurkan pantulan yang tak bisa hilang.
Feral mendekat, hatinya terhimpit oleh pemandangan itu. Dan di atas air emas, wajah Quartzquarry perlahan menghilang, tenggelam ke dalam riak, meninggalkan hanya bisikan samar…
“Jangan lupa… hadiahku…”
Feral mendekat perlahan, menembus dinginnya malam dan hangatnya air emas yang mulai surut.
Ia jongkok di samping Naïalithe, tangannya terulur ragu, sebelum akhirnya menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
“Hei… aku di sini.” Suara Feral pelan, hampir berbisik, seperti takut merusak keheningan. “Maaf… kamu sendirian, ya?”
Naïalithe diam, tubuhnya masih gemetar, wajahnya basah menempel di dada Feral. Feral mengelus perlahan punggungnya, merasa perih melihat betapa rapuh makhluk kecil ini.
“Aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi, Naïa.”
“Aku janji.”
Ia mengeratkan pelukannya, mengira kesedihan Naïalithe hanya karena kesepian…
Padahal di dalam hati Naïalithe, pertempuran jauh lebih besar sedang bergemuruh—antara cinta dan kutukan, antara keinginan untuk tetap di sisi Feral… dan tugas yang harus ia jalankan.
Naïalithe perlahan mengangkat tangannya, memeluk balik tubuh Feral dengan lemah.
Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini terasa hangat di kulitnya sendiri.
“Feral…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Tapi Feral hanya tersenyum kecil, mengira Naïalithe memanggilnya dengan manja.
“Tidak apa-apa,” ucapnya lembut. “Aku di sini. Aku di sini.”
Dan malam itu, mereka saling mendekap, tanpa tahu berapa lama waktu yang tersisa sebelum segalanya berubah.
Keesokan harinya, matahari menembus gua dengan cahaya lembut, seperti menyapa dua jiwa yang terdampar.
Feral perlahan membuka mata, merasakan hangatnya kepala Naïalithe yang bersandar di lengannya. Ia tak bergerak, hanya menatap diam, seolah tak ingin membangunkan makhluk mungil itu.
Saat Naïalithe membuka mata perlahan, mata mereka bertemu dalam hening. Tak ada kata, hanya tatapan… sebuah pemahaman tanpa suara.
Feral tersenyum kecil, mengusap lembut rambut basah Naïalithe.
“Kamu tidur nyenyak?” tanyanya pelan.
Naïalithe hanya menunduk, lalu mengangguk pelan… tangannya menarik jari Feral ke arahnya, menggenggam erat.
Hari itu, mereka keluar dari gua bersama. Feral duduk di bebatuan, mengukir sesuatu dengan pisau kecilnya. Naïalithe duduk di samping, memerhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.
Tiba-tiba, Naïalithe mengambil ranting dan ikut mengukir di pasir. Awalnya asal, tapi perlahan, Feral mengajarkan huruf-huruf padanya…
Mereka tertawa, saling menunjuk hasil coretan yang aneh tapi lucu.
Menjelang siang, Feral menggali lubang kecil dan menyalakan api. Naïalithe, yang duduk memeluk lutut, tersenyum melihat kepiawaiannya.
Sesekali, Feral melemparkan senyum ke arah Naïalithe, dan gadis duyung itu membalasnya dengan ekornya yang menggoyang pelan… seperti menari di atas air.
Malamnya, mereka duduk di tepi laguna, menatap bintang-bintang.
Feral menunjuk satu bintang terang. “Itu, namanya Altair. Kalau kamu lihat ke sana, aku juga bakal lihat ke sana. Jadi kita tidak pernah benar-benar jauh.”
Naïalithe menatap bintang itu lama, lalu menunduk, senyum kecil mengembang di bibirnya. Ia menyender ke bahu Feral, dan untuk pertama kalinya… Feral merasakan dunia yang begitu sunyi, tapi hatinya begitu penuh.
“Kamu itu selalu membuatku lupa kalau aku terdampar.”
Naïalithe tersenyum polos, terus menggenggam tangan Feral dengan kedua tangannya, lalu menarik tangan Feral ke dadanya—seakan berkata, “Aku juga tidak mau kamu pergi.”
Feral terdiam sebentar, lalu mengusap kepala Naïalithe pelan.
“Terima kasih, Naïa… aku beruntung bisa ketemu kamu.”
Malam berhembus lembut, membawa nyanyian laut, dan dua jiwa yang tak sama… perlahan menemukan rumahnya satu sama lain.
***
Feral, dengan otot yang menegang, menggenggam kapak dan mengayunkannya dengan kekuatan yang luar biasa. Suara dentingan kapak yang menebas pohon itu beradu dengan suara alam sekitar—angin yang berdesir, daun yang bergoyang, dan suara deburan ombak di kejauhan. Setiap kali Feral menebas, keringat menetes deras di dahinya, membasahi kulitnya yang terbakar matahari. Namun ia tidak berhenti. Matanya penuh tekad, tangannya menggenggam erat gagang kapak, dan tubuhnya terus bergerak. Lalu, pada akhirnya, tubuhnya menyerah. Feral terengah-engah, keringatnya mengalir deras, dan tubuhnya terasa lelah setelah berjam-jam bekerja. Ia duduk, tak mampu lagi berdiri tegak.
Naïalithe yang semula diam di kejauhan, dengan cepat mendekat. Tatapannya cemas, matanya yang besar penuh perhatian. Tanpa kata, ia menunduk, perlahan menarik kepala Feral ke pangkuannya. Genggaman tangannya lembut, seolah meminta Feral untuk beristirahat sejenak.
Feral hanya tersenyum tipis, merasakan kehangatan Naïalithe yang lembut di dekatnya. Ia merasa sedikit malu, namun hatinya begitu tenang di tengah kelelahan yang mendera.
Naïalithe merasakan ketegangan di tubuh Feral, lalu mulai menyanyikan lagu lembut, nyanyian dari laut yang dia pelajari dari bangsa Nereid. Suaranya mengalun, melengking dalam keheningan. Feral menutup matanya, merasa seolah-olah seluruh tubuhnya terbenam dalam suara Naïalithe yang menenangkan.
Tanpa sadar, senyum mengembang di wajah Feral.
“Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik,” katanya sambil tertawa pelan, menikmati melodi yang berputar di udara.
Naïalithe melanjutkan nyanyiannya, menjaga Feral tetap terbaring di pangkuannya. Feral mendengarkan dengan penuh ketenangan, tubuhnya yang lelah merasa seolah lebur di bawah sentuhan lembut suara itu. Tak ada lagi rasa sakit atau lelah—hanya ada kedamaian yang datang begitu natural. Ketika lagu itu berakhir, suasana kembali hening. Feral perlahan membuka matanya dan menatap Naïalithe yang sedang menatapnya dengan penuh perhatian.
"Terima kasih," bisiknya, suaranya lembut namun dalam.
Naïalithe hanya tersenyum, wajahnya bersinar dengan senyum tulus yang membuat hati Feral berdebar lebih kencang. Mereka berdua hanya terdiam, menikmati keheningan yang nyaman. Dunia terasa lebih sederhana, lebih indah, dalam momen ini.
Malam itu, langit Remoria bertabur bintang, berpendar seperti pasir emas yang ditebarkan di atas kain hitam. Di bibir pantai, Feral dan Naïalithe berbaring berdampingan di atas pasir yang masih hangat menyimpan jejak siang. Feral menatap langit, satu tangannya di belakang kepala, dan satu lagi… terulur pelan, jari-jarinya hampir menyentuh ekor Naïalithe yang terlipat di sampingnya.
“Aku tidak menyangka, ternyata… begini rasanya damai,” gumam Feral pelan. Dia menoleh, menemukan mata Naïalithe yang berbinar mengikuti sorot bintang. “Kalau dulu aku ditanya, aku ingin apa … mungkin aku akan jawab: petualangan tanpa akhir. Laut tanpa batas.” Ia tertawa kecil. “Tapi sekarang… rasanya aku cuma mau… tetap di sini.”
Naïalithe menoleh, alisnya terangkat sedikit. Ia menyentuh dada Feral pelan dengan telapak tangan, seolah menanyakan ‘kenapa?’ tanpa kata.
Feral tersenyum. “Karena kamu di sini.” Ucapannya nyaris hanya bisikan. "Kalau kamu… ada di sisiku, aku tidak butuh laut tak bertepi, tak butuh harta karun. Kamu cukup."
Naïalithe sipu, ekornya bergoyang pelan seperti melukis pasir. Dia mendekatkan kepalanya ke bahu Feral, matanya tetap mengarah ke langit. Feral tertawa pelan, lalu menunjuk ke gugusan bintang di atas mereka.
“Lihat itu… katanya itu bentuk siren,” katanya. “Lucu, ya? Mirip kamu.”
Naïalithe meliriknya cepat, lalu menunduk, malu-malu, sebelum akhirnya mengangguk kecil. Mereka tertawa bersama, pelan, di antara desau angin laut dan suara aliran sungai kecil yang menenangkan.
“Besok… mungkin aku bakal bangun lebih pagi, coba tebang satu-dua pohon lagi buat bikin rumah kecil,” ucap Feral sambil menatap langit. “Mungkin membuat tempat berteduh yang lebih layak. Siapa tahu… kita bisa tinggal lebih lama di sini.”
Naïalithe menoleh, tersenyum samar, meski ada cahaya sendu di matanya yang hanya dia tahu artinya. Ia menggenggam tangan Feral, menggenggam erat seolah ingin memastikan: untuk malam ini… mereka punya dunia berdua.
Feral menarik napas panjang, lalu menghela.
“Naïa… pernah tidak, kamu kepikiran… apa sebenarnya arti rumah?” tanyanya tiba-tiba, matanya masih menatap bintang.
Naïalithe menoleh pelan, mendekat, lalu menyandarkan kepalanya ke lengan Feral. Ia menggeleng kecil.
“Dulu aku pikir rumah itu… kapal,” lanjut Feral pelan. “Tempat aku kembali setelah pelayaran. Tapi sekarang… aku rasa rumah itu… tempat di mana aku bisa berhenti mencari.” Ia menoleh, menatap mata Naïalithe yang berkilat lembut. “Dan aku udah berhenti mencari, Naïa. Aku udah menemukannya.”
Naïalithe menatapnya lama, lalu pelan-pelan, tangannya meraih pipi Feral, menyentuhnya hati-hati seperti menyentuh sesuatu yang berharga. Ia tidak bicara, hanya mengangguk… bibirnya mengukir senyum kecil, matanya hangat, tapi ada sedikit kilau air di sudutnya.
Feral tersenyum tipis. “Kamu mengerti ya, meski kamu tidak berkata apa-apa.”
Naïalithe menunduk, tersipu, lalu… dengan pelan, dia menunjuk langit. Jari-jarinya menggambar pola samar di udara, seperti menunjukkan gugusan bintang lain.
“Itu… apa?” tanya Feral, mengikuti arahnya.
Naïalithe menggambar bentuk hati di udara, matanya berkedip pelan.
Feral terdiam… lalu tertawa pelan, hangat.
“Kamu ini… membuatku semakin tidak ingin meninggalkan pulau ini.” Ia menarik Naïalithe ke pelukannya. “Besok… besok kita cari lagi tempat-tempat indah di pulau ini, ya?”
Naïalithe mengangguk cepat, matanya berbinar seperti anak kecil.
Dan malam itu… mereka tertidur dalam pelukan bintang, dalam diam yang tak butuh kata, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
***
Di bawah langit biru yang beringsut perlahan menjadi cerah, Feral memanggil Naïalithe mendekat, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Aku mau menunjukkan sesuatu,” ujarnya pelan.
Naïalithe mendekat dengan mata berbinar, kepalanya sedikit miring, menatap penuh rasa ingin tahu. Feral menunjuk sebuah ayunan sederhana yang tergantung dari dahan pohon dengan tali dan balok kayu seadanya.
“Aku membuat ini dari sisa balok kayu. Mau coba?” tanyanya, nada suaranya setengah bangga, setengah malu.
Naïalithe menatap ayunan itu, lalu menatap Feral, sebelum perlahan mengangguk. Feral tertawa pelan, lalu mendekat dan—tanpa peringatan—mengangkat tubuh Naïalithe dalam pelukannya, seolah ia tak lebih berat dari segenggam air. Naïalithe terkejut, tangannya refleks memeluk bahu Feral, ekornya melengkung pelan di udara.
“Tenang, aku tidak bakal menjatuhkanmu,” gumam Feral, suaranya rendah, nyaris seperti angin. Dengan hati-hati, ia menurunkan Naïalithe ke atas balok kayu, memastikan ia duduk dengan nyaman. “Nah. Pegang talinya, ya.”
Naïalithe memegang erat tali ayunan itu, matanya berkilat-kilat, ekornya bergoyang pelan. Feral mulai mendorong perlahan, membuat ayunan itu berayun pelan. Naïalithe tertawa tanpa suara, kepalanya menoleh ke Feral dengan binar kebahagiaan yang jernih.
Feral ikut tertawa. Ia berjalan ke samping ayunan, mendekat—lalu mencoba duduk di samping Naïalithe. Tapi saat tubuhnya mulai menekan kayu itu… terdengar “krak…”
Keduanya terdiam. Naïalithe menatap ke atas, ke tali yang mulai menegang. Feral juga ikut mendongak, senyumnya perlahan menghilang.
“krak… krak…” suara tali semakin nyaring.
“Feral…?” bisik Naïalithe, matanya membesar.
“Uh-oh—”
“AAAA—”
BRUK.
Mereka jatuh bersama ke pasir, debu halus beterbangan. Feral mendarat dengan punggung terlebih dahulu, Naïalithe terjerembab setengah menimpa dada Feral.
Hening sesaat… lalu tawa pecah di antara mereka berdua.
Naïalithe menutupi mulutnya sambil tertawa tanpa suara, bahunya bergetar, sementara Feral tergelak sambil menatap langit.
“Baiklah … aku lupa kalau ayunan ini cuma kuat untuk satu orang…” katanya sambil tertawa.
Naïalithe mengangguk cepat, masih menahan tawa. Lalu, sambil masih duduk di atas Feral, ia menunjuk kepala Feral yang kini penuh pasir. Feral mengernyit bingung, sebelum tertawa lagi.
“Ya ampun, serius? Banyak sekali?”
Ia duduk bersila, membungkukkan kepala ke arah Naïalithe. Dengan tangan pelan, Naïalithe memunguti butiran pasir dari rambut Feral, jemarinya hati-hati menyibak helai-helai rambut. Feral memejamkan mata, menikmati kehangatan sentuhan itu, bibirnya tersenyum kecil.
Setelah lama duduk bersisian di pasir, suara tawa mereka mulai mereda, hanya digantikan hembusan angin yang lembut menyisir rambut. Feral menoleh pelan ke arah Naïalithe, mata itu berpendar samar diterpa cahaya matahari.
“Aku…” Feral membuka mulut, suaranya pelan, agak ragu. Ia menarik napas, lalu tersenyum, senyum yang hangat, yang tulus. “Aku mau menunjukkan sesuatu lagi.”
Naïalithe mengerjap, menatap Feral penuh tanda tanya. Kepalanya sedikit miring, seperti burung kecil yang mendengarkan bisikan angin.
Feral merogoh kantong bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu yang kecil, berkilat samar. Ia membukanya perlahan di telapak tangan—sebuah gelang kawat sederhana, dilingkari beberapa kerang kecil dan manik-manik dari batu yang ia temukan di pantai.
“Aku membuat ini… untukmu,” katanya pelan. “Memang tidak seberapa. Tapi… aku mau kamu punya sesuatu dariku.”
Naïalithe menatap gelang itu lama. Matanya melembut, bibirnya membuka sedikit seolah ingin mengucap sesuatu, namun suara tak pernah keluar. Ia hanya memandang Feral—panjang, dalam, penuh rasa yang tak terucap.
Feral tersenyum kecil, lalu perlahan meraih tangan Naïalithe dan melingkarkan gelang itu di pergelangan tangannya.
“Nah. Sekarang kamu resmi jadi… temanku.” Feral tertawa pelan, suaranya nyaris pecah oleh kehangatan. “Atau lebih dari itu, entahlah.”
Naïalithe menunduk, menatap gelang di pergelangan tangannya, lalu menatap Feral lagi. Matanya berkaca-kaca—bukan sedih, tapi terharu, seperti laut yang menampung seluruh cahaya bulan di permukaannya. Perlahan, ia menggenggam tangan Feral yang masih menyentuh pergelangannya, memeluknya dengan jemari mungilnya.
Dan tanpa suara, hanya lewat tatapan itu, Naïalithe seolah berkata: “Terima kasih. Aku senang. Aku… juga.”
Feral menghela napas lega, tertawa kecil. “Bagus… aku senang kamu suka.”
Di hari itu, gelang kecil itu bersinar samar, seolah ikut menorehkan janjinya di antara bintang-bintang.