Air hujan menyapu genteng rumah tua milik mendiang Nenek. Gladys duduk di kursi kayu dekat jendela besar, memeluk secangkir teh hangat yang uapnya perlahan menghilang. Udara terasa dingin, tetapi menenangkan.
Suara langkah kaki terdengar dari arah dapur.
“Tehnya pasti sudah dingin, ya, Non?” Seorang wanita menghadirkan nampan berisi teh panas dan kue kering di hadapan Gladys.
Gladys tersenyum tipis. “Masih hangat kok, Mbak.”
“Jangan duduk kelamaan di dekat jendela, Non. Nanti masuk angin.” Wanita yang kerap dipanggil ‘Mbak’ tersebut—pembantu rumah—berkata, meletakkan secangkir teh manis yang mengepul di meja, lalu berjalan meninggalkan Gladys seorang diri.
Gadis itu menatap titik-titik air yang menempel di jendela. Ia menarik napas panjang. Di sudut ruangan, beberapa kardus berisi barang-barang tua telah ia rapikan sejak pagi. Barang-barang yang Papa bilang, “tidak penting tapi jangan dibuang dulu.” Ia hanya mengangguk waktu itu, tidak sempat bertanya lebih jauh. Pandangannya perlahan tertuju kepada tangga menuju lantai bawah tanah.
Itu gudang, ya? Belum pernah aku beresin, batin Gladys. Dengan tenang, ia perlahan menuruni anak tangga. Setiap pijakan kakinya membangkitkan desah kayu tua yang berderit lirih, seolah tangga itu tengah membisikkan kisah-kisah lama yang terpatri dalam seratnya. Pegangan yang mulai usang disentuhnya dengan kelembutan, jari-jarinya menelusuri alur-alur halus yang penuh dengan debu.
Gladys tiba di ujung tangga, membuat dirinya diam di hadapan sebuah pintu kayu yang besar dan kokoh. Ia mendorongnya pelan, memperlihatkan suatu ruangan yang gelap. Hanya sebuah lampu kuning yang menerangi. Udara lembap langsung menyambut—aroma debu lama dan kayu lapuk.
Dua cangkir porselen bermotif klasik berdiri berdampingan di atas meja kayu dengan ukiran bunga—satu retak, satunya lagi penuh debu.
Di sekelilingnya, kursi-kursi tua berjejer tak rapi. Sandaran-sandarannya melengkung lembut, dan beberapa di antaranya tertutup kain putih tipis yang mulai menguning. Langkah kaki di lantai kayu tua menggema pelan, seperti membangunkan ruang itu dari tidur panjangnya.
Rak besar menempel di dinding kanan, menjulang hampir setinggi langit-langit. Penuh sesak oleh buku-buku tua, peta, dan berkas. Beberapa buku berdiri tegak, yang lain sudah miring atau bertumpuk asal. Sampulnya pudar—kulit, kain, kertas tua—dengan judul dalam bahasa yang nyaris tak bisa terbaca.
Jemari lentik anak muda itu menyusuri satu demi satu buku yang tersusun, berdebu. Hingga ia menyadari bagian rak yang terlihat bersih, seolah sering disentuh atau dijaga. Di sana berjejer buku-buku puisi, dengan sampul tipis dan lembut, warna pastel yang telah memudar seperti lukisan lama.
Apa yang harus diberesin? Apa aku harus bawa barang-barang yang menurut aku penting?
Mata Gladys menyapu seluruh sudut ruangan, menebak-nebak.
Mengambil satu dus kotak, Gladys mulai mengumpulkan barang-barang kecil. Ia memasukkan apa pun yang menurutnya masih berguna dan bisa dipakai: lukisan kecil, alat makan, taplak meja, sisir kayu. Ada jam pasir juga! Keren, ini bisa menjadi hiasan yang menarik, Gladys pikir ia akan menyimpannya.
Sepuluh menit berlalu. Ia masih asyik memasukkan segala jenis barang yang ia temukan menarik ke dalam dus, hingga Papa memanggilnya.
“Gla.” Terdengar suara yang sedikit bergema dari lantai atas. “Gladys.” Panggilan itu terdengar semakin jelas.
“Nah, di sini kamu, Gla.” Papa berdiri di ambang pintu. Gladys tak bicara banyak.
“Udah terisi berapa dus? Jangan masukin terlalu banyak barang, heh. Cukup yang penting-penting aja,” ujar Papa.
“Iya, iya.” Gladys mengambil satu kotak dus lain. Papa datang hanya untuk mengomel, Gladys mengangkat bahu.
“Eh, satu lagi, Gla. Buku-buku yang ada di rak, jangan dibuang. Simpan di dus itu.” Telunjuk Papa tertuju pada kotak besar di sebelah kursi.
“Semua bukunya, Pa?” Gladys memastikan.
“Iya, kecuali novel atau dongeng. Tapi kalau kamu mau bawa juga, gapapa,” jelas Papa. “Papa balik lagi ke kamar, ya.”
Gladys mengangguk. “Iya.”
Menurut apa yang dikatakan Papa, Gladys membawa semua buku-buku yang ada di rak. Ia mengambil beberapa novel yang menurutnya menarik. Gadis itu bertumpu pada jari-jari kakinya, tak cukup tinggi untuk mengambil kumpulan puisi di rak atas.
Duh. Tinggi banget, sih, batinnya.
Gladys menoleh ke sana kemari, mencoba mencari sesuatu untuk ia bertumpu, nihil. Tidak mungkin kalau ia berdiri di kursi antik milik Nenek—itu pasti mahal. Kalau rusak, gimana?
Yah, mungkin kalau sambil lompat bisa ngebantu?
Hop!
Percobaan pertama.
Hop!
Percobaan kedua, masih belum berhasil.
Hop!
Percobaan ketiga. Yes! Akhirnya berhasil.
Gladys menggenggam satu buku, tapi—
BRAK!
Ia jatuh tertunduk. Buku yang tadi ia raih terlempar, bersamaan dengan dirinya sendiri. Gladys mencoba bangun.
BRAK! BRAK!
Buku-buku lain ikut terjatuh, menimpanya.
Gladys kembali tergeletak di lantai. “Aduh…” rintihnya.
Sakit… Telapak tangannya dengan lembut mengelus kepalanya, berharap bisa menghilangkan rasa sakit. Nyebelin banget, sih. Kenapa harus pakai acara jatuh segala?
Gladys berdiri, membereskan lantai yang dipenuhi buku. ‘Kalau kepala aku bengkak gimana dong? Mana bukunya pada tebal lagi. Tapi kayaknya enggak bakal, sih…’ pikir Gladys sembari memasukkannya ke dalam kotak dus.
“Gla, suara apa itu?!” Terdengar teriakan Papa dari lantai atas.
“Enggak, Pa! Cuma barang jatuh!” balas Gladys.
“Hati-hati. Sebentar lagi kita pulang!”
“Iya!” ia menjawab, tersenyum tipis.
Gadis itu membungkuk, mengambil satu buku yang tergeletak di lantai—walau masih merintih kesakitan. ‘Buku ini pasti yang paling tebal.’ Gladys menebak, mengelus dan membaca sampul buku.
“Se-ran-dji.” Gladys mengeja judul yang tertulis, warnanya emas mengilap. “Yah, paling cuma novel biasa,” ia pikir.
Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama. Suara lembut dari kertas tua menyapa telinganya, seperti tanda bahwa benda ini telah lama menunggu untuk disentuh kembali. Warna kekuningan dan sudut-sudut yang mulai aus menyiratkan usianya—jelas lebih tua darinya.
Tak perlu penjelasan panjang. Siapa pun yang melihatnya akan langsung tahu bahwa buku ini telah melewati banyak waktu.
Serandji, karajaan anu teu aya duana. Hirup nikmat jeung makmur salami lamina. Opat kasaktian jadi hiji, tameng pajaga ti kajatuhan. Serandji, tanah anu nu teu bisa ditandingan nanaon.
Gladys terdiam, matanya terpaku pada paragraf yang baru saja ia baca. Hening menyelimuti ruangan, seakan kata-kata di halaman itu menyerap seluruh suara. Puluhan tanda tanya berkelebat di benaknya, berdesakan tanpa jawaban pasti. Apa ini beneran sekedar novel?
Ia menggigit ujung bibirnya pelan, mencoba menebak-nebak setiap kemungkinan yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
Bahasa Sunda memenuhi lembar demi lembar. Sebagian dalam aksara Sunda yang rapat dan rapi, sebagian lagi berupa simbol atau mungkin aksara asing yang belum pernah ia lihat.
“Non?” Suara yang tak asing terdengar dari atas tangga, membuat Gladys tersentak pelan. Hening yang semula menguasai ruang kini pecah, begitu pula dengan pikirannya.
Ia menoleh ke arah sumber suara.
“Sudah beres belum? Bapak udah nungguin Non di atas.”
“Sebentar lagi!” sahutnya cepat, nada suaranya berusaha terdengar tenang meski ada kegugupan yang samar.
Pandangan Gladys kembali tertuju pada buku di tangannya. Ia menatapnya sejenak, lalu dengan hati-hati menyelipkannya ke dalam tas kecil yang sedari tadi dibawanya.
Gladys bangkit perlahan, menepuk-nepuk debu dari bajunya. Melirik ruangan itu untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya melangkah pergi.