Di bawah rumah semi-rusak di pinggiran Jakarta, ada ruangan tanpa jendela yang dindingnya dipenuhi kertas-kertas kode program berjamur. Layar monitor 14 inci berkedip-kedip, memantulkan wajah Arkan, 19 tahun, yang matanya berkaca-kaca oleh coding marathon 32 jam. Tangannya mengetik seperti kesurupan, sementara di atas kepalanya, langkah-langkah berat ayahnya bergemuruh—botol bir kosong berguling-guling, diselingi sumpah serapah tentang "anak tak berguna yang cuma main komputer". Tapi Arkan tak peduli. Di layar, logo ICONPLAY—platform game online buatannya—berdenyut merah seperti jantung buatan. Satu klik lagi, pikirnya. Tapi tiba-tiba...