Hutan Lembayung Dipa – Bagian Selatan, Sebelum Tengah Malam
Kabut lembut melayang di atas tanah lembab. Cahaya bulan nyaris tertutup oleh awan hitam. Dari celah pepohonan, cahaya obor dan jeritan pertempuran masih menggema di antara dahan dan akar tua.
Panglima Agung Jayasatya berdiri di atas bongkahan batu besar yang sudah dipenuhi noda darah. Zirah baja biru terang yang ia kenakan memantulkan kilat petir dari kejauhan, ukiran naga di dadanya seakan hidup—bergetar bersama dadanya yang naik turun. Di bawahnya, ratusan prajurit Batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti mulai terdesak, tertatih menahan gelombang Pasukan Bayawira Utara: Manusia raksasa, Balaraksa, Jin Kepala Hewan, Punggrang, dan pendekar manusia Bayawira yang menyerbu tanpa henti.
Jayasatya memejamkan mata. Darah mengucur di pelipis. Pedangnya ia tancapkan ke tanah, lalu bersila di tengah medan, meski panah dan tombak terbang di sekitarnya.
Bisikan mantra samar terdengar dari mulutnya—seperti suara petuah leluhur dari gunung yang sunyi. Dalam sekejap, aura putih membuncah dari tubuhnya, bergulung seperti kabut yang hidup.
MAUNG BODAS bangkit dari dalam dirinya. Sosok harimau putih raksasa berkilau biru pucat muncul di belakangnya, lalu menyatu perlahan ke dalam tubuh Jayasatya—transformasi dimulai.
Kuku dan jari menjadi cakar harimau, wajahnya berubah setengah manusia setengah harimau, dengan mata kuning menyala, dan kuping harimau muncul mencuat dari rambutnya. Ekor putih bergoyang pelan dari balik jubah spiritual yang kini menyelimuti tubuh baja miliknya. Cahaya putih dan biru muda berputar di sekelilingnya, membuat sosoknya tampak seperti siluman dari dunia purba.
Suara Jayasatya berubah berat, bergema:
“Maung Bodas... bawa aku pada murka leluhur.”
Begitu ia membuka mata—semua pasukan berhenti.
Seluruh pasukan Bayawira Utara terpaku. Gerakan mereka tertahan seketika oleh intimidasi aura buas Jayasatya. Bahkan balaraksa yang besar mendadak ragu, jin kepala hewan bergetar, dan punggrang mulai mundur perlahan.
Sementara itu, pasukan Trikandha dan Bayusekti—yang nyaris patah—merasa dadanya dihangatkan. Aura putih menyelimuti mereka semua, mengisi mereka dengan keberanian baru. Mata mereka bersinar.
Tanpa aba-aba—Jayasatya menghilang dari pandangan.
Dalam sepersekian detik ia muncul di tengah gerombolan musuh.
Cakarnya mencabik leher jin kepala buaya, pedangnya menebas pundak manusia raksasa, membelah tubuhnya dalam sekali tebas. Jeritan pecah, darah menyembur.
Jayasatya mengaum keras.
Suara auman mengguncang hutan, membuat dedaunan gugur. Aura kebuasan menyebar lebih jauh.
Pasukan Bayawira mulai terpecah dan panik.
Punggrang melarikan diri, Balaraksa mengangkat senjata ragu-ragu, dan para pendekar manusia mulai mundur selangkah demi selangkah. Namun Jayasatya tidak memberi ampun.
Ia menerjang pasukan yang tersisa, menebas, mencakar, menendang, membuat formasi musuh terpecah. Beberapa manusia Bayawira yang mencoba menyerah, tetap dihajar. Jayasatya kini telah dibutakan oleh amarah atas perusakan tanahnya.
“Kalian membakar desa-desa kami. Kalian menyiksa rakyatku. Tak ada ampun malam ini…”
Trikandha dan Bayusekti kini membentuk barisan kembali, menyerang dengan rapih dan penuh semangat. Mereka menyerbu dari kiri dan kanan, mengepung sisa-sisa Bayawira yang kini kocar-kacir.
Di antara reruntuhan dan pohon tumbang, terlihat bendera Bayawira Utara jatuh, terinjak kaki para prajurit Mandalagiri yang mengejar dengan pekik kemenangan.
Scene ditutup dengan Jayasatya berdiri di atas tubuh seekor Balaraksa, dadanya bergemuruh, mata kuningnya masih menyala. Dari belakang, malam pekat menyongsong, dan hutan Lembayung Dipa kembali sunyi... hanya menyisakan kabut, darah, dan semangat yang tak padam.
Hutan Lembayung Dipa – Tim Timur, Sebelum Tengah Malam
Kabut lembut masih menggantung rendah di sela pepohonan tinggi. Namun di bagian timur hutan, udara terasa berbeda—berdenyut, panas, dan penuh aura spiritual membara. Tanah hangus oleh ledakan energi, pepohonan tercabik, dan empat tubuh bersenjata tergeletak tak bernyawa dengan asap hitam mengepul dari kepala mereka.
Empat Taring Hitam telah tumbang—makhluk tak bernyawa yang dulu manusia, kini berubah menjadi mesin pembunuh tak bersuara akibat kutukan darah Ular Welinga Dasa. Armor gelap mereka retak, topeng ular berkepala dua remuk.
Kapten Kirana Wismandanta berdiri di tengah medan, nafasnya berat tapi sorot matanya tetap tenang dan waspada. Kepalan tangan kanannya masih bergetar, sisa energi spiritualnya perlahan mereda. Di belakangnya, tubuh salah satu Taring Hitam hancur bagian kepala—hasil pukulan Khodam Panembahan Senopati yang bersatu dengan raganya.
Tak jauh dari situ, Darsa Nagawikrama—berlutut, tubuhnya berkeringat, tangan kirinya masih menggenggam pedangnya Sahya, dan matanya menatap kosong ke tubuh musuh yang ia habisi. Ia baru saja kembali dari wujud transformasi Khodam, sosok manusia siluman kucing hitam dengan telinga mencuat dan mata ungu menyala.
Sebelumnya, Darsa mengejar keempat Taring Hitam sendirian, terbawa emosi dan masuk ke dalam area jebakan kegelapan. Hanya karena tarikan paksa dari Kapten Kirana, ia lolos dari kehancuran jiwa.
Kirana (dengan nada dingin, nada suara dalam dan menekan):
"Kau hampir membinasakan dirimu, Darsa. Mereka menjeratmu bukan untuk bertarung, tapi untuk menghisapmu. Kau tahu itu?"
Darsa menunduk dalam, lalu perlahan membungkuk hormat.
Darsa (lirih, menyesal):
"Maafkan saya, Kapten. Aswangga... sulit dikendalikan saat marah. Tapi saya... saya bisa mengendalikannya sekarang."
Kirana menatapnya tajam beberapa saat, lalu menghela napas panjang dan menepuk pundaknya.
Kirana:
"Jangan ulangi. Kau bagian dari tim ini, bukan pemburu liar."
Di sisi lain, Zadran terduduk dengan bahu terangkat, pedang peraknya menancap di tanah. Bahunya naik-turun, napasnya berat. Di sekelilingnya, darah musuh mengering cepat, dan topeng Taring Hitam yang ia penggal masih menatap kosong dari tanah.
Madyan Reksadipa rebahan tanpa malu di atas daun-daun lebat, cambuk Kundhala Brahmi ia gulung di sebelahnya. Petir kecil masih mengalir di permukaan kulit cambuk, menciptakan suara "crack…crack…" lirih yang mengganggu sunyi.
Madyan (setengah bicara, setengah ngeluh):
"Kalau semua Taring Hitam kuat begini, aku harap kita cuma dapat satu gelombang. Jangan bilang ada dua…"
Zadran tertawa kecil, lemah. Kirana mendekati mereka berdua, lalu memberi tanda tangan melingkar di udara—kode untuk istirahat terbatas.
Kirana:
"Ambil waktu istirahat sebentar. Setelah itu, kita lanjut ke Jantung Hutan. Sumber kekuatan mereka bukan di sini."
Langit di atas mulai dipenuhi awan hitam, dan udara makin berat seolah mendekati pusat badai. Namun untuk sesaat, di tengah medan penuh asap, kemenangan kecil diraih oleh Tim Timur. Mereka mungkin bukan pasukan besar, namun kekuatan dalam mereka menggetarkan bayangan gelap yang bersemayam di hutan.
Scene ditutup dengan Kirana berdiri tegak mengawasi langit, Darsa diam dalam meditasi, dan Zadran bersama Madyan yang tertawa kecil meski tubuh mereka dipenuhi luka dan lelah—tanda bahwa pertempuran berikutnya akan lebih besar.
Jantung Hutan Lembayung Dipa — Pertarungan Jasana vs Kandhara Mangkara
Langit gelap pekat di atas hutan, hanya diterangi bulan bundar yang mulai naik ke puncaknya. Di bawahnya, di jantung Hutan Lembayung Dipa, dua sosok pendekar berdiri saling berhadapan, tubuh mereka dilapisi aura spiritual yang bergemuruh: satu menyala hijau dan putih keemasan, satunya lagi berdenyut hitam pekat bercampur semburat cahaya merah darah.
Jasana Mandira, tubuhnya dilingkupi Aura Putih Ardhana yang menenangkan dan menyerap serangan lawan, sementara di sekeliling tangannya, Aura Biru-Gaharu Wiratmaja mendidih dalam bentuk nyala api spiritual yang siap menyerang.
Di hadapannya, berdiri Kandhara Mangkara, menjulang dengan tubuh raksasa berotot. Dua kapak besar telah berpindah dari punggung ke kedua tangannya. Aura gelap yang menjulang membentuk kabut menyerupai wajah menganga. Di belakangnya, bayangan raksasa LEAK bergelombang di udara, taringnya mencuat keluar, matanya bersinar merah.
Di udara, di atas mereka, dua makhluk khodam tengah bertarung. LEAK berputar dengan gaya sihir hitam, melemparkan bola energi kegelapan ke arah LEMBUSWANA, yang terbang gagah dengan tiga mata bersinar biru dan sayap perunggunya menciptakan gelombang api ghaib biru setiap kali mengepak.
Pertarungan Darat
Clang! Cletarrr!
Kandhara menebas dengan salah satu kapaknya dari atas, Jasana menangkis dengan Lungguh Darma, percikan aura saling bertabrakan menciptakan ledakan kecil. Mereka bergerak cepat, membelah akar, melompat melewati pohon-pohon purba.
Kandhara (menyeringai dingin, suara dalam dan berat):
"Khodammu... tak biasa, Jasana Mandira. Memakai dua entitas sekaligus? Hm. Menarik... Tapi berbahaya."
Jasana (sambil berputar menangkis):
"Dan Khodammu... Leak itu... menciptakan tekanan seperti langit gelap. Tapi mengapa kulihat cahaya juga dalam auramu?"
Kandhara:
"Karena kegelapan sejati... hanya berarti bila pernah mencicipi terang."
Mereka kembali beradu. Jasana mengayunkan Gaya Langkah Mandala, menggabungkan teknik pedang dan gerakan silat, sementara Kandhara mengandalkan teknik dua kapak gaya berat, membelah tanah dan membuat celah retakan di bawah mereka.
Pertarungan Khodam di Udara
LEAK berputar di udara, lalu melesat turun seperti bayangan hitam dengan lidah menjulur tajam, melemparkan semburan sihir hitam ke arah Lembuswana.
LEMBUSWANA membentangkan sayap, menyelimuti langit sekejap, lalu mengepakkan kekuatan api ghaib biru, menahan serangan tersebut dan memutar balik energi kegelapan.
LEAK (suara berat, serak, dalam bahasa kuno ghaib):
"Api ghaib milikmu... menyakitkan. Tapi gelapku bukan hanya kegelapan—ia adalah ingatan dari kehancuran."
LEMBUSWANA (suara lantang dan agung):
"Aku adalah penjaga cahaya dalam kegelapan terdalam. Aku terlahir dari tekad, bukan kebencian. Tapi aku akan memotongmu jika kau terus mengusik penyeimbang dunia."
Serangan keduanya kembali berbenturan. Satu langit meledak dalam kabut hitam, yang lainnya terbakar dengan lidah api biru menari. Petir spiritual menghantam pepohonan, dan tanah gemetar oleh benturan supranatural.
Kembali ke Darat
Jasana berputar dengan teknik 'Guritna Darma', mengayunkan Lungguh Darma ke depan, menghasilkan gelombang aura hijau yang meledak memaksa Kandhara mundur dua langkah. Tapi Kandhara tidak goyah, ia melompat dan memutar kedua kapaknya dalam teknik 'Dwi Cakra Runtuh', menebas dari dua arah berlawanan, memaksa Jasana melompat mundur.
Keduanya kembali berdiri, berjarak hanya beberapa langkah. Nafas mereka berat, tapi mata mereka tetap membara.
Jasana (datar):
"Pertarungan ini belum selesai."
Kandhara (menajamkan tatapan):
"Justru baru saja dimulai."
SCENE DITUTUP
Bulan purnama naik tinggi, menyoroti dua sosok pejuang dan dua makhluk gaib yang masih bertarung di atas langit hutan. Suara malam hening sejenak, seolah semesta ikut menahan napas.
Pertarungan antara Jasana dan Kandhara… belum akan berhenti malam ini.
Masih di Jantung Hutan Lembayung Dipa – Arah Timur Laut, Sedikit ke Kanan dari Pertarungan Jasana vs Kandhara
Kabut mulai menebal di bawah langit berbulan penuh. Di atas pepohonan tertinggi, sosok hitam melayang perlahan dengan aura mengerikan berwarna ungu kehitaman. Itu adalah…
Kapten Mahadewa Rakunti
Ia telah berada dalam Transformasi Kebangkitan Spiritual. Sosoknya kini menyerupai vampire agung, dengan kulit pucat bersinar redup, mata merah menyala, dan jubah berkibar seperti kabut malam. Dari punggungnya, sayap kelelawar hitam pekat terbentang, dan di tangannya tergenggam Kalaweda, tongkat tengkorak kelelawar yang bersinar kehijauan.
Misi Mahadewa: Menghadapi Welinga Dasa
Seekor ular raksasa, Welinga Dasa, muncul dari balik pepohonan rawa. Sisik-sisiknya berkilau hitam keperakan, dan matanya menyala seperti bara dari dunia jin. Lidah bercabangnya menjulur tajam, mengendus aura Mahadewa di udara.
Kapten Mahadewa terbang rendah, memancing sang ular menjauh dari inti pertempuran. Ia seperti kelelawar malam yang mengelilingi mangsanya. Saat dirasa cukup jauh dari pusat hutan, ia berhenti di sebatang pohon besar yang menjulang tinggi, berdiri tegak di atas cabang lebar, sayapnya mengepak pelan.
Mahadewa (dalam batin, suara tenang dan dalam):
“Kemari, makhluk penguasa rawa… Kuajak kau menari… dalam irama kehendakku.”
Welinga Dasa mengejar dengan gerakan melingkar, merayap naik ke batang pohon bagaikan ular memburu kelelawar. Kepalanya mendongak, lidahnya menyentuh udara dingin.
Teknik Manipulasi Pikiran
Mahadewa memejamkan mata sebentar, komat-kamit dalam bahasa Kuno, lidahnya fasih mengalun dalam mantra kendali. Saat membuka mata, kedua bola matanya bersinar merah pekat dan menyala terang di kegelapan.
Mahadewa (berbisik dalam bahasa gaib):
“Aksaranta… Welinga… Pakungrawa… Wahya… Madyakara…”
Welinga Dasa terhuyung sejenak di cabang pohon, tubuhnya melingkar tak stabil. Aura merah dari mata Mahadewa memancar menembus kepala sang ular, seolah menciptakan pantulan dirinya dalam pikiran sang makhluk.
Ular raksasa itu menggelinjang... melawan... berdesis keras... namun perlahan, matanya mulai meredup… lalu berubah menjadi merah seperti tuannya.
Ular Tertunduk
Welinga Dasa, yang tadi menggigit angin dan meneror alam, kini merunduk perlahan, menjulurkan lidah dan menyentuhkan kepalanya ke dahan tempat Mahadewa berdiri. Ia kini tunduk… patuh.
Mahadewa melayang turun, mendarat tenang di kepala sang ular, berdiri tegap dengan Kalaweda yang disandarkan di bahunya.
Mahadewa Rakunti (senyum tipis, suara halus namun terdengar sampai jauh):
“Tidak semua kegelapan perlu dibunuh. Ada yang cukup dituntun.”
Ia menunduk sedikit, menatap mata baru sang ular yang kini berwarna merah.
Mahadewa:
“Mulai malam ini… kau adalah bagian dari kehendakku. Kita tidak lagi bertarung, Welinga… Kita mengawal arah yang sama.”
Bayungkara, gerombolan kelelawar berkilau ungu, tiba-tiba berputar di sekeliling Mahadewa dari balik bayang-bayang pepohonan, berputar-putar dalam formasi angin malam, seperti menyambut makhluk baru dalam kawanan mereka.
Ular raksasa itu kini melata perlahan mengikuti Mahadewa yang berjalan di antara pepohonan, seperti peliharaan jin yang baru dijinakkan. Aura ungu kehitaman membentang di belakang mereka, menandakan bahwa malam ini… bukan hanya para manusia yang bertarung, tapi para makhluk gaib pun telah memilih tuannya.
Di Atas Cabang-Cabang Pohon Raksasa – Masih di Jantung Hutan Lembayung Dipa, tapi Sedikit Menjauh ke Utara-Timur
Langit malam tersibak oleh ranting dan dedaunan. Di atas cabang-cabang pohon raksasa yang menjulang, dua bayangan bergerak cepat, laksana bayang-bayang kelam yang bertarung dalam senyap. Bunyi benturan logam dan deru napas saling berpadu, menggema di antara batang tua yang menyimpan rahasia alam gaib.
Pertarungan di Udara
Inggrita Maranile, wajahnya tertutup topeng tengkorak iblis separuh, menebas cepat dengan katana bergagang merah. Rambut hitam keunguannya berkibar saat ia melompat dari satu cabang ke cabang lain. Di belakangnya, dua keris kecil—Asmaragata dan Kalamantri—berputar-putar di udara, menyerang Arwana dari berbagai arah.
Arwana, yang kini menjadi Wakil Kapten Bayawira Utara, bergerak cekatan, menangkis serangan dengan pedang hitam kebiruan miliknya. Tapi tatapan matanya—yang penuh siasat dan licik—terus menilai gerakan Inggrita, menunggu celah.
Sementara itu, Roh Onna Bushi, khodam samurai wanita bersenjata, menebas dari sisi kiri. Namun serangannya dihalangi oleh bayangan ular hitam yang menjulur dari tubuh Arwana—bayangan warisan darah Welinga Dasa.
Dialog di Tengah Pertarungan
Arwana (dengan nafas berat, kesal):
“Ternyata kau belum kehilangan tajimu, Inggrita... Tapi jangan lupa... kau bukan lagi bagian dari kami.”
Inggrita (datar, tajam):
“Aku tidak pernah menjadi milik kegelapan. Kau yang menjual dirimu pada darah ular dari Tiraksara.”
Arwana (menyeringai):
“Aku lebih kuat sekarang. Dan malam ini... kau hanya kenangan dari masa lalu.”
Siasat Licik Arwana
Inggrita terus menekan. Arwana terdesak. Tapi dalam sekejap, Arwana melemparkan benda kecil berisi debu halus ke udara—debu itu mengandung serpihan racun mimpi dari rawa Tiraksara.
Inggrita terkejut dan menangkis, namun dalam momen itu Arwana melempar tali hitam halus dari lengan bajunya, mengarah ke gagang katana Inggrita dan menariknya paksa. Dua keris juga terpental oleh bayangan ular yang menyergap dari belakang.
Topeng Inggrita terlepas, dan wajahnya yang cantik dan tegas kini tampak dengan sorot mata memerah.
Arwana (mengejek):
“Lihat wajah lamamu, Inggrita… bahkan topeng pun tak bisa menyembunyikan kelemahanmu.”
Ia menghunuskan tangan ke dalam kantong kecil dan menghentakkan benda kecil yang melepaskan kabut halus beraroma bius dari alam jin. Kabut itu perlahan menyelimuti Inggrita yang kini tanpa senjata.
Inggrita Jatuh
Inggrita mencoba bertahan, tapi tubuhnya melemah, matanya buram. Roh Onna Bushi pun perlahan pudar, tidak mampu menjaga kesadaran tuannya.
Inggrita (lemah, berbisik):
“Kau... licik, Arwana...”
Tubuhnya jatuh dari cabang, namun Arwana menangkapnya tepat waktu. Ia menahan tubuh Inggrita, lalu mengikatnya dengan tali-tali hitam dari benang gaib yang ia keluarkan dari lengan bajunya.
Arwana Tertawa dan Rencana Jahat
Arwana (tertawa terbahak-bahak):
“Hahaha! Dulu kau Cukup disegani di Kalangan Bayawira tapi sayang sekali… kini kau persembahan Kami!”
Ia menatap tubuh Inggrita yang tak sadarkan diri, lalu bersiul panjang.
Arwana:
“Kandhara akan senang. Persembahan dari masa lalu, untuk Tiraksara... sudah di tanganku.”
Ia menggendong tubuh Inggrita yang terikat, lalu melompat turun dari cabang ke cabang, membawa tubuh mantan rekannya menuju arah barat laut, ke Gerbang Kabut Tiraksara—tempat di mana makhluk-makhluk jin tingkat satu menanti tumbal.
Bayangan Arwana dan Inggrita lenyap dalam kabut gelap. Daun-daun kering berguguran. Di langit, kelelawar-kelelawar malam berputar, seolah menjadi saksi atas pengkhianatan dan kebangkitan niat jahat yang baru dimulai.
Barat Laut Hutan Lembayung Dipa
Serangan Siluman Bayangan
Di bawah redupnya cahaya rembulan yang hanya sedikit menembus rimbunnya dedaunan Hutan Lembayung Dipa, langkah-langkah cepat terdengar memecah keheningan. Tim kecil yang dipimpin Kapten Kalandra Wisanggeni baru saja menumbangkan ancaman maut: Welinga Dasa, ular raksasa berilusi dari rawa Tiraksara.
Tubuh sang ular masih hangus berasap, kepala besarnya telah terpenggal sempurna—hasil tebasan bersih dari pedang katana gagang hitam milik Kalandra. Aroma darah makhluk jin bercampur kabut dingin masih terasa di udara.
Namun di tengah langkah mereka menuju jantung hutan...
Kalandra tiba-tiba menghentikan larinya.
Nandika, Brahma, dan Ratri yang mengikutinya dari belakang pun refleks berhenti, siaga.
“Ada apa, Kapten?” tanya Nandika, menggenggam erat Tombak Selampa, matanya awas.
Kalandra memejamkan matanya sejenak—tangannya meraih saku jubah dalamnya, mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk koin bundar dari logam hitam. Di permukaannya, aura merah samar berdenyut pelan… lemah… seperti nyala nyaris padam.
“Inggrita...” gumam Kalandra lirih, suaranya tajam seperti retakan es.
“Alat pelacakku menunjukkan... dia dalam bahaya.”
Sekejap suasana menjadi hening. Bahkan suara burung malam pun terasa menghilang. Ratri Nindyanari memejamkan mata, mencoba meraba gaung roh—namun wajahnya menegang.
“Aku tidak bisa mendengar jiwanya dengan jelas... Seolah... dia diseret ke dunia lain... tempat roh tidak bisa menyentuh.”
Tanpa ragu, Kalandra berbalik arah.
“Lanjutkan ke Jantung hutan. Kalian bertiga cukup kuat untuk sampai ke sana. Aku akan mengikuti jejak Inggrita... sebelum terlambat.”
“Kapten—!” Brahma mencoba menghalangi, namun tatapan hitam dingin Kalandra membuatnya mundur.
“Tidak ada waktu. Jika aku gagal... kalian tahu apa yang harus dilakukan.”
Dengan itu, tubuh Kalandra lenyap dalam ilusi kabut—seperti bayangan yang menguap.
Cut Scene – Di Dekat Gerbang Kabut Tiraksara
Di sisi lain hutan, di sebuah jalan kecil yang ditelan kabut kelabu…
Arwana, wakil kapten Bayawira Utara, tampak berjalan cepat membawa Inggrita yang tak sadarkan diri.
Tubuh Inggrita terikat oleh untaian tali hitam berkilau—tali dari akar Tiraksara, yang berdenyut seperti makhluk hidup. Wajahnya pucat, namun napasnya masih ada.
Arwana berjalan dengan tatapan dingin ke arah sebuah gerbang batu besar yang diselimuti kabut tebal. Gerbang Kabut Tiraksara, batas menuju ruang transisi antara dunia manusia dan alam Jin tingkat satu.
“Persembahan ini... akan membangkitkan kekuatan yang bahkan Bayu Geni pun tak akan bisa pahami,” gumam Arwana, sembari merapatkan jubahnya.
Dari darah Welinga Dasa yang mengering di sisi pedangnya, gelombang energi kegelapan merambat ke tanah, membentuk simbol-simbol aneh di rerumputan. Kabut di depan gerbang mulai berputar, seperti menyambut persembahan.
Cut Scene Penutup – Kalandra Muncul
Dari balik rerimbunan, jauh di atas pohon, Kalandra Wisanggeni memandang pemandangan itu. Satu tangannya memegang katana, satu lagi mencengkeram koin pelacak yang kini hampir mati.
Angin di sekitarnya berputar perlahan. Di pundaknya, bayangan gagak-gagak coklat gelap mulai muncul, satu per satu—Kala Cakra Ranti, khodamnya, bangkit dari ketenangan.
“Jika kalian menyentuh dia... maka kabut Tiraksara akan mencicipi rasa kematian.”
Matanya menajam, dan tubuhnya lenyap dari pandangan—bergerak menuju pengejaran.
Pertarungan Kalandra vs Arwana di Gerbang Kabut Tiraksara
Hutan Lembayung Dipa – Tepian Alam Jin
Kabut tebal melingkupi tanah, berputar liar seakan dipanggil oleh kekuatan gaib. Gerbang Kabut Tiraksara berdiri angkuh, dipenuhi ukiran makhluk-makhluk jin yang seolah hidup dan menggerakkan mata mereka.
Inggrita, masih terikat dan tak sadarkan diri, tergeletak di atas batu persembahan yang ditumbuhi akar-akar jin hitam berdenyut.
Arwana, berdiri di hadapannya. Ujung pedangnya menyentuh tanah, dan dari ujungnya merembes darah hitam kebiruan. Aura kegelapan dari darah Welinga Dasa berdenyut di sekujur tubuhnya. Matanya mulai bersinar merah samar, sisik-sisik kecil mulai muncul di sepanjang lehernya.
“Satu persembahan, dan kekuatan Tiraksara akan menjadi milik Bayawira untuk selamanya…”
“Kau terlambat, Kalandra.”
Dari atas dahan, sosok Kalandra Wisanggeni muncul perlahan. Seperti kabut yang mengukir bentuk, tubuhnya menapak di udara lalu turun ke tanah. Katana hitamnya terhunus.
“Kau salah langkah, Arwana. Kau bukan sekadar mengkhianati Inggrita… tapi kau menantang batas antara dunia manusia dan dunia jin.”
“Itu... tak bisa dimaafkan.”
⚔️ Pertarungan Dimulai ⚔️
Arwana mengayunkan pedangnya lebih dulu—gerakannya cepat, membelah udara dengan kekuatan ringan namun bertenaga kegelapan. Tanah di sekitarnya terbelah, dan kabut tersedot ke arah ayunannya, membentuk tebasan seperti ular menyergap.
Kalandra bergerak menghindar, tubuhnya seolah pecah menjadi bayangan-bayangan. Ilusi dan gerakan murni ninja saling bertaut.
Tubrukan pertama membuat udara bergetar. Pedang Arwana menyambar kosong, namun Kalandra muncul di belakangnya—katana menghujam.
CLANG!!
Sebuah tameng kegelapan dari sisik jin melindungi Arwana, membuat serangan itu terpental.
“Kau pikir bisa menyelamatkannya hanya dengan siasat bayanganmu?”
Arwana mendesis, dan tiba-tiba tubuhnya mulai berubah.
Kulitnya memucat, sisik mengeras di sepanjang punggung dan lengan. Taring tumbuh di rahangnya, dan matanya kini seperti mata Welinga Dasa—menyala merah bara. Punggungnya merekah, menumbuhkan ekor bersisik gelap.
Arwana berubah... menjadi separuh manusia separuh ular.
“Kekuatan ini... dari darah sang raja ular... akan menelanmu mentah-mentah!”
Serangan berikutnya begitu cepat dan brutal. Pedang Arwana kini menyisakan jejak hitam seperti racun di udara. Ia berputar, menyembur kabut hitam seperti napas ular, mencoba mengelabui penglihatan Kalandra.
Kalandra mundur beberapa langkah. Napasnya tenang. Ia menunduk, menusukkan pedangnya ke tanah...
Lalu suara lirih terdengar:
“Kala Cakra Ranti... bangkitlah.”
Dari langit yang membeku, gagak-gagak coklat kehitaman muncul dalam jumlah besar, berputar mengelilingi tubuh Kalandra. Kabut tersibak, angin menderu.
Burung-burung itu terbang seperti pusaran badai dan—dalam satu momen kilatan cahaya—merasuk ke tubuh Kalandra.
Tubuhnya mulai berubah. Setelan formalnya tercabik perlahan digantikan oleh zirah lengkap samurai berwarna kelabu gelap beraksen ungu tua. Bahunya bersayap besi, dada dilindungi pelat berukir mantra ilusi, dan di wajahnya muncul Topeng Menpo—topeng setengah wajah menyerupai iblis yang menyeringai.
Kalandra Wisanggeni kini menjelma menjadi wujud spiritual tertingginya—Sang Penegak Bayang-Bayang.
Gagak-gagak masih beterbangan mengelilinginya seperti kabut bersayap.
“Jin tidak akan menyentuh tanah ini... selama aku masih berdiri.”
Katana-nya bersinar gelap, namun tepi bilahnya berpendar seperti bayangan yang hidup. Dengan satu gerakan cepat, ia menghilang dari pandangan dan muncul di atas Arwana, tebasan vertikal menyambar keras.
Arwana menangkis, tapi hantaman itu membuat tanah di bawahnya retak dan meledak. Mereka saling bertarung, bayangan dan racun, ilusi dan kegelapan. Masing-masing mengeluarkan kekuatan spiritual dan jin dari dua kutub berbeda.
Gerbang Kabut Tiraksara berguncang.
Akar-akar jin menggeliat. Langit di atas mereka berubah warna.
Namun satu hal pasti...
Pertarungan ini belum berakhir.
Dan bentrokan antara bayangan dan kegelapan akan segera mencapai puncaknya.
Bayangan Terakhir di Gerbang Tiraksara
Ledakan sihir gelap mewarnai langit di atas Gerbang Kabut Tiraksara. Arwana, dalam wujud abominasi ular-jin, melayang rendah dengan tubuh setengah manusia setengah ular yang membengkak, dipenuhi sisik-sisik keras keperakan. Urat hitam berdenyut di leher dan dahinya, menunjukkan betapa dalam ia telah membiarkan dirinya menjadi wadah kegelapan.
Namun di hadapannya, Kalandra Wisanggeni berdiri tegak.
Zirah lengkapnya berkilau samar, disinari oleh aura gagak-gagak roh yang berputar membentuk formasi pusaran di langit. Topeng menpo-nya memantulkan siluet Arwana dalam ekspresi tanpa ampun.
“Kau… bukan manusia lagi, Arwana,” gumam Kalandra datar.
“Kau telah menjual jiwamu pada Tiraksara… dan ini adalah harga yang harus kau bayar.”
Arwana meraung.
Tubuhnya menjulang, tangan kanannya membentuk tombak gelap dari darah Welinga Dasa. Ia meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, namun…
CRACK!!
Kalandra bergerak secepat bayangan. Dalam satu tebasan ke samping—SRAAAAK!—tangan kanan Arwana terlempar ke udara, disusul raungan menyayat penuh amarah dan kesakitan. Darah hitam menyembur liar, menguap sebelum menyentuh tanah.
Arwana berusaha bertahan, melompat mundur, namun Kalandra mengejarnya tanpa ragu. Tebasan kedua, diagonal—memotong kaki kirinya hingga terlepas!
“GAAAAARGHHH!!”
Arwana kini terseok, tubuh raksasanya mendesis, menjalar di tanah dengan ekor panjang, mengerang dalam wujud menjijikkan.
Namun Kalandra tak berhenti. Dalam gerakan berputar yang presisi dan brutal—ia menebas seluruh tubuh Arwana berkali-kali. Serangan cepat, mengiris, menusuk, menghancurkan jaringan kegelapan di balik tubuh sang penghianat.
Tubuh Arwana ambruk, tinggal potongan sisa.
Namun sebelum jatuh menyentuh tanah…
Kalandra mengayunkan katana hitamnya terakhir kali.
SLASH!
Kepala Arwana terpenggal.
Terbang melintasi udara lalu jatuh keras di antara akar dan kabut.
Tubuhnya langsung melepaskan aura hitam—energi jin Tiraksara yang kini bebas—menguap menjerit sebelum menghilang di udara.
Keheningan...
Tapi tidak lama.
Gerbang Kabut Tiraksara di belakang mulai menghisap sesuatu. Sebuah tangan ghaib hitam merayap dari balik gerbang dan menjulur ke tubuh Inggrita, yang masih tak sadarkan diri di atas batu persembahan.
Tangan itu mulai menarik tubuhnya perlahan…
Namun Kalandra langsung bertindak.
SWOOSH!
Katana hitamnya menebas tangan ghaib itu dalam satu gerakan kilat.
Teriakan ghaib terdengar di seluruh lembah.
Tangan itu meledak menjadi pecahan hitam berkilau. Sebuah raungan dari makhluk yang tak terlihat menggema dari balik gerbang.
Kalandra berdiri di hadapan gerbang, menatap gelap tak berbatas yang berputar di dalamnya.
Aura gagak-gagaknya meluas, membentuk formasi intimidasi.
Makhluk yang hendak merebut Inggrita langsung mundur, menghilang ke balik kabut… menyerah pada tekanan spiritual “Kala Cakra Ranti”.
Perlahan, kabut reda.
Zirah Kalandra mulai menghilang. Burung-burung gagak kembali berputar dan lenyap dalam bisikan angin. Ia kini kembali ke wujud manusianya, kelelahan namun tegak.
Kalandra melangkah cepat ke arah Inggrita. Dengan satu tebasan lembut, ia memotong tali yang mengikat tubuh wanita itu.
Tubuh Inggrita terkulai ke depan… namun sebelum jatuh, Kalandra menangkapnya.
“Inggrita…?”
Perlahan, kelopak matanya terbuka.
Pandangan mereka bertemu.
Mata merah bara milik Inggrita menatap lekat mata gelap Kalandra.
Dalam detik yang senyap… tanpa berkata, tanpa keraguan…
Inggrita mendekatkan wajahnya… lalu mencium bibir Kalandra.
Lembut.
Hangat.
Sebuah penghargaan atas nyawa yang diselamatkan, rasa yang tak pernah diungkapkan.
Kalandra, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, terlihat kehilangan kendali atas emosinya.
Tangannya mengepal, tapi tubuhnya tak menolak. Dunia di sekitar mereka seakan berhenti…
Hingga…
Gerbang Kabut Tiraksara menutup secara otomatis dengan gemuruh lembut.
Kabut menghilang.
Dan ciuman itu berakhir.
Inggrita tersenyum kecil.
“Terima kasih, Kapten…”
Kalandra terdiam.
Sedikit kikuk. Ia hendak bicara, tapi kalimatnya tercekat.
“Aku hanya… melakukan tugasku.”
Inggrita menoleh, menahan tawa.
“Dan kau melakukannya... dengan sangat manis.”
Kalandra akhirnya menarik napas dalam, berusaha kembali menjadi sosok dinginnya—namun gagal.
Ekspresi salah tingkah yang sangat langka tergambar jelas di wajahnya.
Kabut sudah lenyap. Gerbang Tiraksara telah tertutup.
Inggrita yang masih lemah mencoba berdiri, namun Kalandra dengan tenang mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.
Dengan langkah pasti, mereka berjalan menyusuri jalur menuju Jantung Hutan Lembayung Dipa, di mana misi masih menanti—namun malam ini, sebuah kisah telah berubah... dari bayangan... menjadi cahaya.
Wilayah Tenggara Hutan Lembayung Dipa – Tengah Malam
Judul Bab: “Kemenangan dalam Halimun”
Di bawah naungan pohon-pohon tua Hutan Lembayung Dipa yang menjulang seperti tiang langit, kabut malam masih tebal, namun mulai mengendur—seolah tunduk pada kekuatan yang baru saja menggetarkan tanah.
Di tengah lingkaran bekas medan tempur, tubuh besar makhluk legendaris Welinga Dasa tergeletak tak bernyawa. Ular raksasa itu kini hanya tinggal bangkai bersisik hitam keperakan yang mengeluarkan uap hitam terakhirnya. Matanya yang dahulu menyala merah seperti bara telah padam. Darahnya, cairan kegelapan, meresap pelan ke dalam tanah.
Serangan gabungan mereka:
Dwijanaga, pedang bermata dua milik Pradipa Karna, yang mengikat Khodam Wyvern,
Tapak Maruta, khodam api berbentuk banteng menyala milik Bagas Prayoga,
Dan Mahagni Samudra, pusaran sihir api milik Wiryajati Arkamara,
…telah menjadi kombinasi dahsyat yang mematahkan tubuh dan sihir kelam Welinga Dasa.
Kini, para pejuang dari Tim Tenggara duduk atau merebahkan diri di antara puing dan bekas luka tanah.
Pradipa Karna berdiri dengan tangan memegang gagang pedangnya yang menancap di tanah. Di belakangnya, sosok Wyvern khodam-nya melayang turun perlahan dan menghilang menjadi cahaya hijau kebiruan, diserap kembali ke dalam pedang Dwijanaga. Ia menatap ke arah para anggotanya.
“Tarik napas. Minum. Makan. Kita belum selesai, tapi... untuk sekarang, istirahatlah.”
Suaranya datar tapi tegas, penuh kehormatan seorang kapten tempur sejati.
Bagas Prayoga, masih duduk di atas akar pohon besar, menghapus keringat dari pelipisnya. Sarung tangan Tapak Maruta di tangannya masih memancarkan rona kemerahan yang pelan-pelan mereda. Ia memandang sekeliling, lalu menoleh pada Pratiwi yang tengah terduduk lemas sambil memegangi bahunya yang memar.
“Hei,” ucap Bagas sembari menghampiri dan menyodorkan kantung air, “Minum dulu. Tadi kamu hampir ditelan buntut ular itu.”
Pratiwi Manggala menerima kantung air itu dengan tangan gemetar.
“Terima kasih, Bagas…” suaranya lemah, tapi senyumnya tetap hidup. “Tapi aku masih bisa melempar keris satu atau dua lagi kalau perlu…”
Bagas tertawa pendek. “Keris kamu udah habis semua tadi. Tadi aku lihat kamu lempar sampai pakai sisir.”
Pratiwi mendengus kecil, lalu bersandar ke batang pohon dan menutup matanya sejenak. Rambutnya yang basah oleh peluh menempel di pelipisnya, tapi wajahnya tenang dalam cahaya bulan yang remang.
Sementara itu, Wiryajati Arkamara duduk bersila, tangannya menyentuh tanah.
Uap merah tipis masih melingkari tongkat sihirnya. Napasnya berat. Di hadapannya, tumpukan ransum tempur sudah dibuka dan ia makan tanpa banyak bicara—suapan cepat dan tenang, seperti kebiasaan dari banyak tahun pelatihan keras.
“Mana api… di situ letihnya sirna…” bisiknya, mengulang mantra internal untuk menstabilkan sirkulasi sihir dalam tubuhnya.
Aura di sekelilingnya mereda. Energi api yang semula liar kini merapat menjadi tenang, menyatu kembali dengan napasnya.
Angin mulai bertiup perlahan dari arah timur.
Semilir halimun mengalir di sela-sela pepohonan, membawa aroma tanah dan daun yang terbakar sebagian.
Pradipa Karna memandang ke langit.
Bintang-bintang mulai terlihat.
Di kejauhan, suara-suara binatang hutan yang sempat menghilang kini kembali. Alam seolah menyambut keheningan yang datang.
“Welinga Dasa telah tumbang,” gumamnya lirih.
“Tapi... malam belum sepenuhnya usai.”
Ia menoleh ke arah pasukannya—Bagas yang duduk bersila, Pratiwi yang terlelap sebentar di bawah selendangnya sendiri, dan Wiryajati yang kini berdiri menancapkan tongkatnya di tanah.
Mereka semua telah memberi yang terbaik.
Dan mereka tahu… inilah akhir dari bagian mereka.
Namun juga permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
Scene ditutup dengan bayangan tubuh-tubuh lelah yang duduk melingkar, memulihkan diri.
Di atas mereka, ranting-ranting pohon raksasa bergetar pelan oleh angin, membawa pesan sunyi:
Perang di Hutan Lembayung Dipa… akan segera mencapai akhirnya.
Jantung Hutan Lembayung Dipa — Markas Bayawira Utara “Benturan Para Raksasa, Cahaya di Tengah Kegelapan”
Kabut mulai menipis, namun hawa kegelapan masih menyesaki udara Jantung Hutan Lembayung Dipa.
Langit malam di atas pohon-pohon raksasa berpendar merah kelam, seolah menjadi saksi bisu peperangan antar dunia. Di kejauhan, terdengar gelegar sihir dan deru raungan khodam—pertempuran besar masih berlangsung.
Di tengah medan pertempuran utama, tubuh Wira Raksadana terhuyung. Napasnya memburu. Seragam pelatihan tempurnya sobek di beberapa bagian, mantel merah bata-nya telah terbakar sebagian.
Di hadapannya, berdiri sosok raksasa dari alam jin:
Raksadipa Wanitraloka — setinggi dua pohon besar, bertaring besar, mengenakan zirah ringan penuh retakan, dan menggenggam gada batu sebesar pohon.
Tanah di sekitar mereka penuh lubang dan puing akibat benturan gada dan pedang.
“Hahaha! Bocah manusia, kau pikir bisa melawanku hanya dengan keberanian belaka?”
Suara Raksadipa menggema berat seperti suara petir dari dalam tanah.
“Kau hanya semut yang nekad menantang gunung!”
Wira Raksadana tak menjawab. Ia hanya menahan laju napasnya sambil mengatur posisi bertahan. Pedangnya—panjang dan bersinar perak—telah retak di ujung. Namun matanya… masih menyala penuh tekad.
“Aku tidak perlu menjadi gunung…
Aku hanya perlu menjadi badai yang menghantammu dari dalam.”
Raksadipa meraung, mengayunkan gada besarnya. Wira Raksadana melompat ke samping, namun terpeleset di tanah yang basah darah dan lumpur. Gada batu itu meluncur dari atas—tepat ke arah kepalanya!
Namun seberkas kilatan muncul di antara keduanya.
BRAK!!
Dua bilah pedang saling menyilang. Brahma Anggacandra telah tiba.
“Jangan kau sentuh satu pun dari mereka, makhluk keparat!”
Gada batu tertahan oleh kekuatan Brahma, tapi tanah di bawah kaki pemuda itu retak hebat akibat benturan. Wira segera menggelinding menjauh, menyelamatkan diri.
Brahma menatap Raksadipa tanpa gentar, tubuhnya bersinar lembut oleh lapisan tenaga dalam.
Kedua pedangnya bergemetar, namun tidak menyerah.
Sementara itu, di beberapa ratus meter ke arah timur, dua sosok berdiri di atas dahan tinggi, memandang ke sebuah lingkaran energi ghaib raksasa yang menyala terang di tengah hutan.
Pertarungan Jasana vs Kandhara Mangkara tengah berlangsung.
Aura Lembuswana dan Leak saling bertabrakan seperti dua planet dalam kehancuran.
Nandika Sutasmi dan Ratri Nindyanari berdiri di kejauhan, tak bisa mendekat karena tekanan energi luar biasa dari dua khodam tingkat tinggi itu.
Nandika menggeleng pelan. “Aku belum pernah melihat benturan energi seperti ini… Khodam Jasana… bentuknya makin jelas. Lembuswana-nya seperti benar-benar bangkit.”
Ratri menyipitkan mata peraknya yang bersinar samar. Ia menempelkan telapak tangan ke tongkat sihirnya.
“Yang lebih mengerikan dari kebangkitan… adalah jika dua jiwa seperti mereka—Jasana dan Kandhara—sudah menyatu sepenuhnya dengan khodam mereka… Maka bukan lagi pertarungan dua manusia.”
“Tapi dua **tatanan kekuatan yang tidak lagi terikat dunia manusia.”
Suaranya pelan, namun tajam seperti mantra kutukan.
“Kalau salah satu kalah, jiwanya bisa pecah.”
Nandika mengatupkan rahangnya.
Matanya tertuju pada Jasana yang kini berdiri tegak, pedang "Lungguh Darma" menyala merah darah, sementara aura Wiratmaja, khodam Lembuswananya, membentuk wujud raksasa bersayap api biru di belakangnya.
Leak, khodam Kandhara, kini berada di udara, tubuhnya menjerit panjang dengan lidah seperti cambuk dan tangan-tangan bayangan muncul dari tubuhnya menyerang ke segala arah.
Langit malam memanas.
Hujan cahaya dari pertarungan sihir dan khodam menyinari hutan, menerangi wajah-wajah mereka yang menyaksikan dari jauh.
“Pertarungan ini… belum akan berakhir sebelum malam benar-benar memakan fajar,” bisik Ratri.
Scene ditutup dengan dua fokus:
1. Brahma menahan gada Raksadipa sambil berseru kepada Wira Raksadana, “Bangkit, Wira! Kita belum kalah!”
Di belakang mereka, Nandika mulai bersiap menurunkan tombaknya, tatapan terfokus.
2. Di langit di atas mereka, Leak dan Wiratmaja bertarung di angkasa, sementara Jasana dan Kandhara saling bertarung di daratan dengan sorotan mata yang tidak bergeming—dua pemilik kekuatan yang tak lagi sepenuhnya manusia.
"Empat Penjaga Cahaya – Runtuhnya Raksadipa Wanitraloka”
Ledakan tanah mengguncang akar-akar pohon raksasa. Gada batu Raksadipa Wanitraloka menghantam tanah hingga membentuk kawah. Serangan membabi buta itu nyaris membuat hutan runtuh.
Namun empat sosok kini berdiri kokoh di hadapannya.
Wira Raksadana, Brahma Anggacandra, Nandika Sutasmi, dan Ratri Nindyanari.
Wira Raksadana berdiri di garis depan, tubuhnya tegak dengan pedang Mandalagiri terangkat tinggi.
“Jangan beri dia ruang! Kita serang bersamaan!”
Raksadipa meraung keras, suaranya memekakkan telinga, "Kalian semua hanya semut berani, yang akan hancur di bawah tapakku!!"
Ia melompat dengan kekuatan menggetarkan bumi, mengangkat gada batu ke atas—menuju Wira!
TAP!!
Dalam sepersekian detik, Brahma sudah di sisi Wira, menyilang dua pedangnya di depan tubuh mereka. Benturan menggelegar, membuat tanah pecah dan debu mengepul. Namun keduanya bertahan!
"Sekarang!" teriak Brahma.
Dari arah kanan, Nandika melesat cepat. Tombak Selampa miliknya menyala kehijauan, dan dari baliknya muncul bayangan seekor Merak Biru, Khodam Sakalingga.
Dengan lompatan silat yang indah, Nandika melayang di udara dan melemparkan tombak jarak jauh ke arah sendi bahu kiri Raksadipa—TEBASAN ANGIN BERPUTAR menyertai tusukan itu.
"Selendangi angin!" desisnya.
Serangan itu menghentikan gerak Raksadipa, menyebabkan lengannya kehilangan kekuatan sesaat.
Dari arah belakang, suara bisikan muncul.
“Cahaya dan Bayang… Buka Jalan.”
Itulah Ratri Nindyanari, berdiri dengan mata tertutup dan tongkat sihirnya menyala terang keperakan. Roh-roh dari dunia arwah berkerumun di sekelilingnya, membentuk lingkaran mantra.
Tongkatnya menghantam tanah, dan sebuah segel sihir bercahaya meledak ke langit, menjatuhkan pilar cahaya dan bayangan yang melumpuhkan tubuh raksasa itu dalam sepersekian detik.
Raksadipa Wanitraloka mengaum keras—tubuhnya setengah lumpuh, matanya membelalak tak percaya.
Momen terakhir.
Wira melompat tinggi, pedangnya menyala oleh tenaga dalamnya yang dipusatkan penuh.
"Pedang Mandalagiri — TEBASAN CAHAYA LANGIT!!"
Pedang itu mengiris lurus dari dada hingga ke lutut Raksadipa, menembus zirah ringan dan menghancurkan sihir pelindungnya.
Raksadipa Wanitraloka tumbang, tubuhnya menimpa tanah keras—menggetarkan seluruh kawasan hutan.
RAAAKKKHHHH!!!
Gada batu raksasa terlepas dari tangannya, dan diam. Tak bergerak lagi.
Keempat pejuang itu terdiam.
Tubuh mereka penuh luka dan debu, napas mereka berat. Brahma duduk bersila, pedangnya ditancapkan ke tanah. Wira terduduk dengan tangan di lutut. Nandika berjongkok sambil mengatur napas. Ratri menopang tubuhnya dengan tongkat, matanya kembali terbuka.
Pandangan mereka kini tertuju jauh ke langit timur...
Cahaya kehijauan dan bayangan merah pekat masih saling menghantam di atas pohon-pohon raksasa. Pertarungan antara Jasana dan Kandhara Mangkara masih berlangsung, dua khodam agung saling melibas dengan kekuatan yang mengguncang langit dan bumi.
“Kita tak bisa ikut campur…” ucap Nandika, suaranya parau.
“Itu bukan medan kita. Bisa-bisa kita justru membebani Jasana…”
Ratri menutup matanya kembali, kedua tangannya mengepal di atas tongkat.
“Yang bisa kita lakukan sekarang… hanya berdoa.”
Keempat pejuang duduk dalam lingkaran, kelelahan, tubuh mereka disinari cahaya samar dari pertarungan yang masih membara di kejauhan.
Hening.
Semilir angin membawa daun-daun yang gugur… dan doa yang diam-diam mereka bisikkan untuk kemenangan sahabat mereka.
“Kuatlah, Jasana… karena kami tak bisa menjangkaumu di sana.”
“Kebangkitan Roh-Roh Tertinggi — Jasana vs Kandhara”
Hening sempat turun, hanya suara dedaunan bergetar dan tanah retak. Di antara kepulan kabut dan ranting-ranting raksasa yang tumbang, Kandhara Mangkara berdiri menjulang, kedua kapak besarnya disarungkan di punggung. Sorot matanya tajam seperti pisau malam. Dari tubuhnya memancar aura hitam dan putih yang berputar, seperti pusaran dua dunia.
“Sudah cukup main-main,” ucap Kandhara dingin.
“Kini, aku akan memanggil kekuatan yang sejati…”
Ia melompat ke belakang, lalu berdiri dalam posisi ritual. Tanah bergetar. Langit menghitam.
Bayangan raksasa Leak—sosok seram bermata merah menyala, lidah panjang menjulur, dan gigi runcing menganga—muncul dari balik tubuhnya dan merasuk langsung ke dalam dirinya.
Terdengar suara raungan aneh dan gaib.
“Lapisan Lelangit-Rasa… SATU dengan tubuhku.”
Aura mengerikan menyelimuti tubuh Kandhara. Sebuah jubah ghaib membentuk dirinya seperti perisai perang agung. Bentuknya seperti jubah raja kegelapan, berlapis sisik hitam pekat dan corak sinar putih menyala di batas-batasnya. Wajahnya berubah, terlihat seperti topeng Leak, menyeramkan namun penuh kendali.
Jasana terkejut, naluri bertarungnya langsung membuatnya melompat menjauh. Dari pedangnya terdengar suara lirih khodamnya.
Wiratmaja: “Jasana… kita harus lakukan juga. Ini saatnya.”
Jasana mengangguk. Kedua tangannya mencengkeram Lungguh Darma, cahaya biru dan merah mulai menyelimuti tubuhnya.
Namun belum sempat ia menyatu, Kandhara sudah melesat bagai bayangan petir.
BRASSSSHH!!
Dua tebasan menyilang dari kapaknya menghantam Jasana dan Wiratmaja dalam satu serangan brutal. Seperti terkena serangan dua dunia sekaligus, tubuh Jasana terpental keras, menghantam batang pohon besar hingga tumbang.
Wiratmaja meraung pilu!
Sosok lembuswana itu terlihat separuh terbelah dalam dunia roh, sayapnya terbakar aura hitam. Ia bergeming, lalu menghilang kembali ke dalam pedang Lungguh Darma dalam semburat cahaya biru yang redup.
“Maafkan aku… tuanku…”
Suara terakhir Wiratmaja lenyap bersama desiran api biru yang meredup.
Jasana bersimbah darah.
Ia berlutut di tanah, tubuhnya gemetar, namun sebuah aura putih dari keris Parangjati mulai menyelubungi dirinya. Ardhana—Roh Penuntun—muncul dengan tenang di balik bahunya, seperti bayangan bijak yang mengangkat tangannya.
Aura putih itu menyelubungi Jasana seperti pelindung. Saat Kandhara menyerang brutal tanpa henti, Jasana terus terpental ke sana ke mari, menghantam batang pohon, batu besar, dan akar raksasa, namun tak mati.
Setiap kali tubuhnya hendak pingsan, suara Ardhana menggema:
“Bertahanlah, Jasana. Satu jalan tersisa.”
Langit hening.
Dari balik kabut hutan yang terbakar aura pertarungan, wujud Kandhara kini terlihat lebih mengerikan. Tubuhnya membesar secara spiritual, dan dua sayap bayangan leak terentang di belakangnya. Matanya membara dua warna, dan senyum menyeramkan mengembang di wajahnya.
“Jasana… kau tak akan menang. Khodammu yang satu telah roboh. Dan aku telah menjadi satu dengan Lapisan Lelangit-Rasa.
Kini, hancurlah…”
Jasana berdiri sempoyongan.
Satu tangan mencengkeram Parangjati, satu lutut menekan tanah.
Tubuhnya penuh luka, namun sinar hijau mulai bergetar dari pori-porinya.
Ia memejamkan mata… dan memanggil sesuatu dari dalam jiwanya.
“Kalau ini harus berakhir… maka akan kuakhiri dengan semua yang kumiliki.”
Teknik Sihir Alam mulai bergetar. GURITNA DARMA… perlahan bangkit.
Aura hijau membentuk pusaran.
Ardhana berdiri di belakangnya, kedua tangannya terbuka seperti akan menyatu dengan tuannya.
Namun serangan berikutnya Kandhara telah siap menghantam—
“Kebangkitan Ardhana: Terang yang Membelah Kegelapan”
Ledakan Aura Alam dari teknik GURITNA DARMA sempat membuat langit terbelah sesaat, seolah cahaya hijau menggulung malam. Angin liar bertiup memutar, mencabik dahan, dan mengusir kabut ke segala penjuru.
Jasana berdiri di pusatnya, tubuhnya dipenuhi luka, namun sorot matanya bersinar penuh harapan… sampai suara raungan keras terdengar dari belakang.
BRAAAKKK!!
Kandhara, yang sempat tertahan oleh tekanan sihir Guritna Darma, kembali bangkit. Matanya menyala hitam dan putih, dua kapak besar di tangannya membara dengan api ghaib dari kekuatan Lapisan Lelangit-Rasa.
"Sudah cukup main-main, anak muda!"
Dengan satu langkah cepat, Kandhara melesat, tubuhnya seperti bayangan besar yang membelah waktu. Jasana baru sempat berbalik ketika—
ZAAARRR!!!
Tebasan menyilang membelah udara, Jasana terlambat menghindar. Lungguh Darma terlepas dari tangannya, terpental jauh ke semak hitam. Sebuah luka menyayat dari pundak hingga ke sisi dadanya. Namun anehnya luka itu tidak dalam, tetapi membakar dari dalam.
Api ghaib hitam menjalar seperti akar kegelapan ke dalam dada Jasana. Dia jatuh berlutut, satu tangannya menekan luka, napasnya mulai sesak.
“Ughh... a-apa ini…?”
Tubuh Jasana mulai gemetar. Aura hijau sihirnya mulai pudar. Di dalam tubuhnya, Wiratmaja telah tiada, sementara Ardhana berlutut dalam bayangan dunia roh, menatap tuannya yang hampir pingsan.
Dunia Dalam Jiwa — Percakapan Roh
Ardhana muncul, wajahnya tenang tapi tegas. Suaranya lembut namun menggema dalam batin Jasana.
“Jasana… dengarkan aku. Luka itu bukan hanya fisik. Itu korupsi jiwa dari khodam Leak… tapi masih ada jalan.”
Jasana menahan sakitnya, tubuhnya gemetar seperti pecah dari dalam.
“Ardhana… aku tak bisa… tubuhku—”
“Bersatulah denganku. Kau belum pernah mengakses bentuk tertinggi kita.
Sekarang, bukalah jiwamu sepenuhnya… biarkan terang menelan kegelapan.”
Kembali ke Medan Pertempuran
Aura Putih mendadak meledak dari tubuh Jasana. Kandhara yang hendak menyerang kembali tiba-tiba berhenti, seolah ditekan oleh kekuatan yang tak bisa dilihat mata biasa.
DUUUUUUMMM!!
Aura putih itu seperti membentuk kepompong cahaya mengelilingi Jasana. Di dalamnya, tubuh Jasana mengambang. Ardhana dalam wujud Rajapati perlahan masuk menyatu ke tubuhnya.
Seketika itu juga, ledakan cahaya membutakan seisi hutan.
Transformasi Kebangkitan Spiritual Khodam: Ardhana Tingkat Tertinggi
Dari cahaya yang membelah kabut, muncul sosok baru Jasana Mandira—berubah wujud menjadi Resi Muda dari Khayangan.
Pakaian putih panjang dengan sulaman perak menyelimuti tubuhnya. **Kulitnya bersinar lembut, mata teduh memancar ketenangan, dan di kepalanya terbentuk mahkota cahaya seperti lingkaran aura suci.
Di tangannya, keris Parangjati berubah wujud menjadi Pedang Cahaya Ardhajaya, sebuah artefak yang berbentuk pedang panjang berhiaskan naga cahaya, dengan efek menggetarkan dunia roh.
Kandhara terpaku.
Tangannya masih mencengkeram kapak, tapi tubuhnya menegang.
"Cahaya itu... mustahil... Itu—itu adalah..."
Lapisan Cahaya dalam dirinya bergetar. Leak dalam tubuhnya bergemuruh, seolah merasakan sesuatu yang bisa menetralkan eksistensinya.
Reaksi Teman-Teman
Dari balik reruntuhan pohon, tampak Nandika, Brahma, Wira, dan Ratri menyaksikan dari kejauhan. Angin berhenti. Hutan hening. Hanya cahaya putih yang menyinari tubuh Jasana seperti bintang jatuh di tengah kegelapan.
Nandika menggenggam tombaknya, matanya membelalak.
“Itu… Jasana? Tidak mungkin… bentuk itu…”
Brahma berdiri diam, kedua pedangnya di sisi tubuhnya, menunduk dengan penuh hormat.
“Dia telah bersatu… sepenuhnya, dengan Khodam Ardhana.”
Ratri, yang lebih sensitif terhadap dunia roh, berbisik dengan suara nyaris tak terdengar:
“Cahaya itu… adalah pemurni jiwa. Lawan mutlak dari kebangkitan Leak…”
Jasana membuka matanya.
Tenang. Dalam. Tak ada amarah. Tak ada keraguan.
Ia melangkah maju perlahan, aura putih menari lembut di sekeliling tubuhnya. Langkahnya seolah menekan waktu.
Kandhara menggertakkan giginya, kedua kapaknya mulai kembali menyala. Meski tubuhnya merinding, dia menolak mundur.
“Hhhh… kalau begitu, kita lihat… apakah cahaya Khayangan bisa bertahan di tengah Gua Neraka.”