Aku terbangun saat langit masih gelap, cahaya subuh baru mengendap pelan di sela-sela jendela kecil mess. Seperti biasa, aku memulai hariku dengan ritual suci—mandi dan boker dengan damai di Renggo Bathroom. Rasanya sulit dijelaskan... sebuah ketenangan yang bahkan sihir pun gak bisa kalahin.
Setelah ritual selesai, aku sarapan ringan. Roti keras, sedikit daging asin, dan air putih. Nggak ada yang spesial, tapi cukup buat bikin perut nggak bernyanyi sepanjang latihan.
Hari ini adalah hari pertamaku latihan resmi sebagai penjaga. Meski beberapa hari terakhir aku lebih sibuk mikirin makanan dan kamar mandi, sekarang pikiranku lebih jernih. Dan baru kusadari... sejak kapan aku bisa ngerti bahasa orang-orang sini, ya?
Pertama kali sadar itu pas ngobrol sama Volvir. Tapi saat itu aku kira cuma karena dia orang aneh yang ngerti bahasa asing. Tapi makin ke sini, aku bisa ngobrol sama siapa pun. Tanpa kamus. Tanpa subtitle. Kayak... otakku disuntik Google Translate versi premium.
"Aku bakal tanya ke Volvir nanti," gumamku pelan sambil ngerenggangin otot-otot.
Latihan hari ini cukup bikin tubuhku bugar, meski belum ada yang bisa nandingin gaya latihanku di dunia lama. Yang lain? Mereka ngos-ngosan kayak habis lari keliling dunia tiga kali. Bahkan ada yang sempat jatuh pingsan gara-gara latihan fisik tanpa sihir bantu. Katanya sih, “biasanya pakai penguat otot level dasar.” Tapi aku? Cuek aja.
Buatku, latihan fisik tanpa bantuan mana itu hal paling dasar. Mau jadi penjaga tapi manja? Pulang aja, bro.
Latihan selesai menjelang tengah hari. Keringat ngucur kayak air kran bocor, tapi rasanya puas. Aku duduk di pinggir lapangan, ngelap wajah pakai handuk lusuh yang entah dari siapa awalnya. Di sekelilingku, para penjaga lain terkapar. Ada yang tiduran sambil ngegas napas, ada juga yang duduk nunduk sambil mijet betis.
“Gila lu, Pan,” suara Kori terdengar dari belakang. “Lu latihan kayak monster. Kita aja udah pada modar.”
Aku nyengir. “Latihan begini mah ringan, bro. Dulu gue pernah disuruh lari bawa karung beras naik gunung.”
Kori melotot. “Lu ikut sekte apa sih dulu?”
Gue ketawa kecil. Tapi di balik canda, otakku masih mikirin soal bahasa tadi pagi. Jadi begitu selesai pendinginan, gue langsung cabut ke rumah Volvir.
---
Rumah Volvir masih seperti biasa: berantakan tapi nyaman. Dia lagi ngaduk sesuatu di panci besar waktu gue dateng. Bau rempah-rempah nyebar ke mana-mana.
“Lu mau masak atau nyihir manusia, Vir?” gue nyeletuk.
Volvir nggak noleh, cuma ngangkat tangan dan bilang, “Kalau lu dateng buat minta makanan, sabar. Belum matang.”
“Enggak, gue mau nanya soal sesuatu.”
“Apa lagi? Kamar mandi versi portable?”
“Serius, Vir. Lu inget nggak, sejak kapan gue bisa ngerti bahasa sini?”
Volvir berhenti ngaduk, lalu pelan-pelan noleh. Tatapannya... agak serius.
“Hmm... menarik. Harusnya sih lu nggak bisa. Tapi lu bisa, ya?”
Gue angguk. “Gue kira karena lo doang. Tapi sekarang, semua orang bisa gue ngerti. Gue juga bisa ngomong, padahal enggak pernah belajar bahasanya.”
Volvir jalan ke meja, ngeluarin satu buku tua dari rak. Tebalnya kayak kamus hukum. “Ini mungkin jawabannya. Dulu pernah ada legenda soal manusia dari dunia lain. Katanya, kalau dia ditarik paksa, maka dunia ini menyesuaikan bahasa mereka. Kayak sihir penyesuaian bahasa otomatis.”
Gue garuk-garuk kepala. “Jadi, dunia ini yang belajar bahasa gue?”
“Kurang lebih. Tapi... kalau kayak gitu, berarti lu beneran spesial, Pan.”
“Ya iyalah,” gue nyengir. “Gue emang spesial.”
Setelah rasa penasaran soal bahasa terjawab, hidupku kembali ke jalurnya: latihan, tugas, makan, tidur, dan ulangi. Beberapa hari pertama masih bisa dinikmati. Tubuh mulai beradaptasi, teknik juga makin tajam. Tapi makin lama…
“Gue kayak mesin nih,” gumamku sambil menyapu halaman markas.
Hari ini tugasku… membersihkan gudang senjata. Kemarin aku disuruh menjaga kambing milik bangsawan yang takut maling. Besok? Entahlah, mungkin disuruh menghitung kerikil di jalan.
Bukan karena tugasnya berat, tapi monoton dan tidak memberiku tantangan. Aku masuk jadi penjaga dengan pikiran bahwa ini bisa jadi batu loncatan. Tapi sekarang justru terasa seperti petugas administratif.
“Pan! Kalo udah, bantuin angkut air dari sungai ya!” teriak Kori dari kejauhan.
Aku hanya mengangkat tangan tanpa menoleh. “Iya iya.”
Namun di sela-sela rutinitas membosankan itu, ada satu hal yang membuat hari-hariku lebih berwarna: kunjungan ke rumah Pak Renggo.
Entah sejak kapan, kami jadi akrab. Mungkin karena aku terlalu sering nongkrong di rumahnya. Pak Renggo itu tipikal orang tua yang terlihat cuek, tapi perhatian. Kami sering diskusi tentang banyak hal, terutama soal hidup nyaman di dunia yang belum terlalu modern ini.
“Lu tuh aneh,” kata Pak Renggo sambil menyeduh teh herbalnya. “Orang-orang di sini ribut soal pedang dan sihir, lu malah ngotot soal kamar mandi.”
“Prioritas, Master,” jawabku santai. “Kebersihan pangkal ketenangan batin.”
Akhirnya, mungkin karena luluh atau kasihan, Pak Renggo mengajarkanku teknik sihir tanah dan air khusus yang ia ciptakan sendiri: Teknik Suci Pembuatan Kamar Mandi.
“Ini bukan sekadar sihir,” katanya serius. “Ini seni. Ini warisan. Ini... kenyamanan.”
Aku menyimak seperti murid terbaik dalam kelas filsafat. Cara mengatur aliran air, mengatur pembuangan, mengukir batu untuk membentuk dinding... semua diajarkan dengan penuh semangat. Dan ketika pertama kali aku berhasil membangun kamar mandi sendiri di dekat mess, aku berdiri di depannya sambil terharu.
“Namanya… Renggo Bathroom,” bisikku pelan.
Sejak hari itu, aku merasa punya bekal untuk bertahan di dunia ini, apapun yang terjadi. Karena di mana pun aku berada, aku bisa menciptakan tempat suci untuk refleksi dan pelepasan beban—secara harfiah.
Setiap malam, aku duduk sendiri di belakang mess. Bintang-bintang di sini lebih terang dari di duniaku. Dan entah mengapa, di balik ketenangan itu, ada rasa menggantung. Seperti... aku seharusnya tidak berada di tempat ini terlalu lama.
“Latihan doang gak cukup,” gumamku. “Gue butuh berkembang, bukan cuma jadi satpam part time.”
Aku mulai menyusun rencana. Tabungan mulai cukup. Fisik pun perlahan kembali ke kondisi puncak. Dunia ini terlalu luas untuk dihabiskan di satu titik saja.
Dan akhirnya… keputusan itu mulai mengendap pelan-pelan di benakku.