Bab 7 - Keraguan yang Terjawab

Setiap malam, aku duduk sendiri di belakang mess. Bintang-bintang di sini lebih terang dari di duniaku. Dan entah mengapa, di balik ketenangan itu, ada rasa menggantung. Seperti... aku seharusnya tidak berada di tempat ini terlalu lama.

Beberapa hari terakhir, perasaan itu makin kuat. Aku mulai gelisah. Bukan karena latihan atau tugas yang monoton, tapi karena... aku merasa diam di tempat. Tubuhku berkembang, iya. Tapi hatiku? Bimbang.

Aku coba cerita ke Volvir. Kami duduk di dapurnya yang hangat, ditemani semangkuk sup jamur panas.

"Lo ngerasa kayak gitu karena insting lo kuat," katanya sambil mengaduk sup. "Dunia ini memang belum tenang. Banyak yang bergerak di balik layar. Dan lo... lo bukan orang biasa."

Aku hanya diam, menatap uap dari mangkukku.

"Lagian," lanjutnya, "kalau lo terus di sini, bakat lo bisa tumpul."

"Lo nyuruh gue cabut?" tanyaku pelan.

"Bukan nyuruh. Cuma... jangan takut buat pergi. Dunia ini luas, Pan."

Besoknya, aku mampir ke rumah Pak Renggo. Kami duduk di teras sambil minum teh herbal kesukaannya.

"Lu kelihatan resah," kata Pak Renggo, lirih.

Aku mengangguk. "Kayaknya udah waktunya gue pergi, Master."

Dia menghela napas panjang. "Kalau memang waktunya, pergi aja. Tapi jangan lupakan ajaran pentingku."

Aku tersenyum kecil. "Teknik Suci Pembuatan Kamar Mandi?"

"Betul," dia tertawa pelan. "Itu akan jadi penyelamat hidupmu lebih dari yang lo kira."

Kami tertawa bersama. Tapi ada rasa getir di dadaku. Rasanya seperti akan meninggalkan rumah.

Sampai suatu sore, datanglah sebuah rombongan pedagang keliling dari wilayah Acarnia. Salah satu dari mereka, pria tua dengan topi lebar dan janggut abu-abu, bercerita saat kami sedang menurunkan peti dagangan di pelataran desa.

“Kerajaan pusat akhirnya berhasil memanggil sang Pahlawan,” katanya sambil menyeruput minuman keras lokal. “Katanya sih bocah remaja dari dunia lain. Munculnya disertai cahaya besar. Ramalan lama ternyata benar.”

Aku membeku. Kalimat itu seperti batu besar yang dijatuhkan ke kepalaku.

Pahlawan dari dunia lain. Remaja. Ramalan.

Kupandangi langit barat yang mulai kemerahan. Suara pedagang lain, tawa anak kecil, angin yang meniupkan bau kayu bakar… semua menghilang sesaat dari kesadaranku.

Jadi... memang benar. Dunia ini sedang memulai sesuatu yang besar.

Aku menghela napas panjang.

“Kalau begitu,” bisikku pelan, “aku juga harus mulai melangkah.”