Bab 9 - Serangan di Tengah Perjalanan

Langit pagi masih gelap saat kami berangkat. Para pedagang mendorong gerobak berisi kain, rempah, dan alat-alat logam. Aku berjalan di sisi kiri rombongan, mengenakan pakaian terang agar tak menyerap panas saat siang nanti. Beberapa penjaga lain ada di depan dan belakang, semua bersenjata lengkap. Pedang, tombak, bahkan dua orang mage yang katanya bisa sihir es dan api.

Aku? Masih tangan kosong. Seperti biasa.

Awalnya perjalanan terasa damai. Tapi sekitar tengah hari, saat matahari menggantung tepat di atas kepala, suasana berubah. Dari kejauhan, terdengar suara jeritan kuda. Lalu debu mengepul.

"Serangan!" teriak salah satu penjaga depan.

Sekelompok bandit muncul dari balik semak dan batu besar. Mereka menyerbu cepat, senjatanya berkilat di bawah sinar matahari.

Aku langsung maju, memukul satu dari mereka dengan telak. Dia terlempar ke belakang, jatuh tak sadarkan diri. Beberapa penjaga lain bertarung sengit. Mage mulai melontarkan sihir, menciptakan tembok es dan lidah api yang membakar semak.

Namun, belum sempat situasi terkendali, terdengar raungan dari dalam hutan.

Seekor binatang besar menerobos keluar.

Bentuknya seperti campuran antara beruang dan babi hutan. Tubuhnya berbulu kasar, taring besar mencuat dari mulutnya, dan matanya merah menyala. Di belakangnya, dua ekor lagi menyusul. Para penjaga langsung panik.

"Itu... Ferabear!" teriak salah satu dari mereka. "Kabur! Itu hewan buas peringkat C!"

Bandit dan penjaga sama-sama kocar-kacir.

Aku berdiri mematung. Ini... bukan manusia. Bukan sesuatu yang bisa kuhajar pakai pukulan biasa. Nafas hewan itu berat, mengembuskan aroma darah dan tanah basah.

Aku menelan ludah. Tangan mengepal, tapi tubuh tak sekuat biasanya. Ini pertama kalinya aku menghadapi makhluk seperti ini.

Salah satu Ferabear mengamuk, mencabik gerobak, membuat kuda lari tunggang langgang.

Sial... aku harus bertindak.

Aku menghindar dari cakar pertama, lalu menendang ke sisi lehernya—tak terlalu efektif. Yang lain datang menyusul, membuat tanah bergetar tiap langkahnya. Aku mulai kewalahan. Luka kecil sudah ada di lengan kiri. Napasku mulai berat.

Di tengah kekacauan, aku melihat sesuatu di tanah.

Potongan tombak. Ujungnya patah, tapi gagangnya masih cukup panjang.

Kupungut benda itu. Ringan. Seimbang. Spontan, aku teringat sesuatu.

—Flashback: Aku dulu sering latihan pakai toya di dunia lama. Tongkat kayu biasa. Senjata fleksibel, tapi mematikan di tangan yang tepat.

Aku memutar gagang tombak itu. Rasanya familiar.

Satu Ferabear menyerbu. Dengan gerakan refleks, aku menangkis cakar kanannya, lalu menusuk ke lehernya—tepat di bagian lunak di bawah rahangnya. Makhluk itu mengaum, lalu ambruk.

Darahnya mengucur deras. Tapi aku tetap tenang.

Satu lagi datang, dan aku sudah siap. Kali ini aku memutar tombak, menghindar ke sisi, lalu menghantam kakinya hingga terpeleset. Sekali putaran lagi, aku hantamkan gagang ke kepalanya.

Ferabear kedua tumbang.

Para penjaga mulai tersadar dan bangkit semangat. Bandit yang tersisa lari terbirit-birit. Mage kembali menembakkan sihir, kali ini ke Ferabear terakhir.

Aku berdiri, napas ngos-ngosan, gagang tombak patah di tangan.

Darah mengalir dari luka kecil, tapi aku hanya tersenyum tipis.

"Bukan manusia pun... tetap bisa kulawan," gumamku.