Bab 11 – Jejak Langkah dan Desir Angin

Pagi masih menggeliat. Kabut sisa malam menempel malas di ujung-ujung rerumputan. Aku membuka mata perlahan, membiarkan dunia di sekitarku kembali fokus. Tak ada jeritan, tak ada suara benturan senjata—hanya nyanyian burung dan hembusan angin yang menyusup masuk ke sela-sela tenda robekku yang seadanya.

Aku duduk perlahan, tubuh ini protes setelah semalaman tidur di atas tanah keras. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menatap langit yang mulai cerah. Hari ini, aku masih hidup.

Antony datang menghampiri dengan langkah tenang, membawa dua potong roti dan sebotol air. Ia menyerahkannya padaku tanpa banyak bicara.

"Terima kasih, Kapten," ucapku sambil menerima semuanya. Perut ini memang perlu bahan bakar setelah semalam penuh kekacauan.

“Panggil saja Antony. Tapi tetap jaga formalitas kalau di depan yang lain,” katanya sembari duduk di sampingku.

Aku mengangguk. “Baik, Kapten.”

Kami diam sejenak. Hanya suara burung dan daun yang berdesir menemani. Antony akhirnya membuka suara.

“Aku mengamati gerakanmu saat menghadapi Fearbear itu. Gaya bertarungmu... berbeda dari yang biasa kulihat.”

Aku menoleh sedikit ke arahnya. “Saya terbiasa menggunakan tongkat kayu, Kapten. Latihan di dunia saya dulu lebih menekankan kendali tubuh daripada kekuatan sihir.”

“Menarik,” gumamnya, menatap ke arah pepohonan. “Dan saat kau kehilangan senjata, kau tetap tenang. Itu membedakanmu dari banyak prajurit.”

Aku tersenyum tipis. “Sempat goyah juga sih, Kapten. Itu pertama kalinya saya bertarung lawan makhluk buas. Tapi begitu lihat potongan tombak itu... entah kenapa insting lama langsung nyala lagi.”

Antony menatapku dalam. “Kau bisa jadi lebih dari sekadar penjaga. Tapi untuk sekarang, tetaplah hidup. Tim ini butuhmu.”

“Saya akan laksanakan sebaik mungkin, Kapten.”

Ia berdiri dan menepuk pundakku ringan. “Istirahatlah sebentar. Kita masih punya perjalanan panjang.”

Kami tertawa ringan. Hangat, tapi tetap waspada. Bekas medan perang memang tak pernah sepenuhnya tenang.

---

Kami melanjutkan perjalanan setelah semuanya siap. Jalanan sunyi, tapi hutan di kiri kanan mulai menyajikan bayangan damai. Beberapa reruntuhan batu tua mencuat dari balik semak belukar.

“Tempat ini punya cerita ya,” gumamku.

“Katanya dulu bekas kuil,” jawab salah satu pengawal dari belakang, “Sekarang sih cuma puing. Tapi ada yang bilang... kadang makhluk aneh kelihatan di sekitar sini.”

Aku hanya mengangguk, mengingat lagi cerita Volvir tentang reruntuhan kuno yang menyimpan jejak-jejak misteri.

---

Setelah menempuh hampir setengah hari perjalanan, kami tiba di kota tujuan—sebuah kota perbatasan kecil. Sederhana tapi ramai. Pedagang, penjaga, dan warga hilir mudik, seperti dunia luar tak pernah mengusik.

Antony langsung melapor ke petugas kota. Aku memutuskan untuk berjalan sedikit, membaur, mengamati.

Malamnya, aku naik ke atap penginapan, duduk sendiri menatap langit malam yang bertabur bintang.

Pikiran melayang ke pertarungan kemarin. Tentang Fearbear. Tentang tekanan yang kurasa saat pertama kali melawan sesuatu yang bukan manusia.

Kuhela napas panjang. “Gue harus lebih siap dari ini.”

Dan entah kenapa, aku malah senyum-senyum sendiri saat ingat kejadian semalam.

---

Waktu itu, aku jalan agak jauh dari perkemahan. Niatnya? Ya apalagi—bikin kamar mandi. Ritual suci sebelum tidur. Dengan bahan seadanya, aku rakit versi portable dari kamar mandi idaman: Renggo Bathroom. Selesai, gue mandi dengan penuh kekhusyukan, sambil mengagumi betapa jeniusnya rancangan Master Renggo.

Gue pikir, gak ada yang lihat.

Ternyata salah.

Pagi ini, pas duduk santai di depan penginapan…

“Hei, Kak Opan,” suara dari belakang. Salah satu pengawal muda mendekat sambil garuk-garuk kepala. Mukanya agak malu-malu.

“Gue… semalam gak sengaja… ngeliat lo bikin itu… kamar mandi.”

Aku menatapnya pelan. Pandanganku otomatis berubah datar. Dia langsung gugup.

“Gue pengen juga dong… dibikinin satu. Gue bayar, serius. Tapi—pake label itu ya. Renggo Bathroom. Keren soalnya.”

Aku menghela napas panjang. “Master... lo bener-bener licik.”