Bab 14 - Jejak Pertama di Arcarnia

Rombongan karavan perlahan melintasi gerbang perbatasan Arcarnia. Gerbang itu berdiri megah, terbuat dari batu putih dengan ukiran naga raksasa yang seolah hidup. Jejak sihir berkilau melayang di udara, membuat suasana tampak kayak dunia fantasi beneran.

Aku mendongak, mata membulat.

"Wow... Ini mah kayak dunia dongeng," gumamku.

Sepanjang jalan, lampu-lampu sihir menyala terang tanpa minyak. Pedagang mendorong gerobak melayang setinggi mata kaki berkat bantalan sihir, dan alat-alat aneh berdesain elegan terpajang di toko-toko. Dibandingkan Negava, Arcarnia beneran kayak dunia masa depan.

Ketua karavan, seorang pria paruh baya berjubah sederhana, mendekat sambil senyum.

"Anak muda, kalian mau lanjut sama rombongan ke distrik niaga, atau keliling sendiri?"

Antony noleh ke arahku.

"Kita jalan-jalan aja kali, Pan. Biar lebih bebas."

Aku langsung ngangguk semangat. Kami pamitan dari rombongan pedagang, lalu menyelinap masuk ke keramaian kota kecil yang jadi pintu gerbang wilayah Arcarnia.

Saking terpukau, aku jalan sambil terus mendongak, ngelihatin jendela-jendela toko sihir yang penuh barang-barang aneh.

Sampai akhirnya—

Duk!

Aku tersandung batu kecil di jalan. Tubuhku oleng ke depan, hampir jatuh, tapi berhasil jaga keseimbangan dengan gerakan setengah salto... yang malah bikin beberapa pejalan kaki melongo.

"Hahaha... dasar bego," Antony ngakak sambil ngebantuin aku berdiri.

Gila, malu-maluin banget.

Kami lanjut cari penginapan sederhana buat makan siang. Menunya lumayan mewah: sup daging, roti hangat, sama semangkuk salad hijau segar.

Tapi di tengah suapan ketiga, aku tiba-tiba berhenti.

"Eh... gelang gue mana?"

Aku langsung cek lengan kiri. Gelang aneh pemberian Volvir—yang punya fungsi sihir minor dan cukup mencolok—hilang entah ke mana.

Antony ngangkat alis.

"Kamu kehilangan waktu salto itu kayaknya."

Kami buru-buru balik ke tempat kejadian, nyari sepanjang jalan. Di tengah pencarian, mataku nangkep sesuatu.

Seorang bocah lelaki lusuh—mungkin belasan tahun—pake baju compang-camping... lagi pamerin gelangku ke teman-temannya sambil sesumbar.

"Ini barang mahal loh! Dapet nemu di jalan! Keren kan?!"

Aku sama Antony saling tatap.

"Pan... Itu gelang lu."

Aku narik napas panjang, mendekat pelan-pelan. Bocah itu nggak sadar sampai aku berdiri pas di depannya.

"Hai," sapaku dengan senyum... yang entah kenapa terasa menyeramkan.

Bocah itu langsung nelan ludah.

Alih-alih marah, aku malah ngeluarin benda bundar kecil dari kantong—Renggo Bathroom Portable, produk andalanku.

"Daripada ribet, kamu butuh ini nggak?" kataku sambil tetep senyum licik. "Kamar mandi portable. Bisa pup di mana aja. Diskon spesial, karena kamu... pelanggan pertama hari ini."

Bocah itu gemeteran.

"Be... berapa harganya...?"

Aku pura-pura mikir.

"Bayar seikhlasnya."

Tapi mata gue... udah kayak serigala kelaparan liatin domba.

Tanpa mikir panjang, bocah itu ngerogoh kantongnya dan nyerahin semua koin peraknya—cukup buat makan enak empat hari.

"Bagus," kataku, sambil ambil lagi gelangku pakai tangan satunya. "Terima kasih atas kerjasamanya."

Antony hampir pingsan ketawa.

Bocah itu kabur sambil meluk Renggo Bathroom Portable, mungkin trauma seumur hidup.

"Pan, lu... Salesman iblis," kata Antony sambil nahan perut.

Dengan perasaan puas, kami lanjut perjalanan. Dari kejauhan, dinding raksasa Kota Arcans—ibukota Arcarnia—mulai keliatan. Menjulang tinggi dengan menara-menara sihir berkilauan.

Aku mandangin cakrawala, perasaan campur aduk.

Petualangan di dunia baru ini... baru aja dimulai.

"Selamat datang di Arcarnia, Pan," gumamku pelan.

Langit sore menyambut dengan warna oranye keemasan.